TITASTORY.ID, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi mengecam keras berbagai bentuk tindakan intimidasi dan teror terhadap Yolius Yatu (korban-red) serta orang tua korban.
Sesuai rilis yang diterima media ini menerangkan, Yolius Yatu diduga merupakan korban dugaan tindak penyiksaan aparat kepolisian Polres Halmahera Utara, lantaran saat melakukan aksi demonstrasi terkait kenaikan BBM di Halmahera korban ini pun melakukan postingan foto pada story akun WhatsApp korban yang di dalamnya terdapat foto oknum pelaku yang merupakan anggota Polisi yang bertugas di Polres Halmahera Utara.
Atas kejadian yang dialami, dalam rilisnya Kontras, korban tindak penyiksaan yang telah mengajukan pelaporan dugaan tindak pidana penganiayaan ke Polda Maluku Utara. Namun pasca melakukan pelaporan pidana, korban dan keluarga korban mendapat intimidasi, dan teror dari berbagai pihak. Bentuk dugaan intimidasi dan teror tersebut adalah bahwa pada pada tanggal 27 September 2022, terdapat dua nomor tidak dikenal menghubungi korban pada hari tersebut. Nomor pertama yang menghubungi korban mengaku dari institusi kepolisian, berprofesi sebagai pengacara, dan selaku Sultan Loloda. Dalam percakapan melalui saluran telepon dengan korban, orang tidak dikenal tersebut mengintimidasi korban untuk segera mencabut laporan pidana yang telah dibuat.
Bahkan, ” ungkap Kontras tertulis, korban sempat dihina dengan kata “orang bodoh” karena tidak mau difasilitasi untuk menyelesaikan masalah melalui jalan damai. Kemudia, nomor kedua yang menghubungi korban mengaku dari anggota Polres Halmahera Utara dan menjelaskan mengenai proses penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice.
Pada tanggal 28 September 2022, sebanyak 3 (tiga) orang yang mengaku dari pejabat Kabupaten Halmahera Barat mendatangi rumah orang tua korban di Laba Besar untuk menawarkan penyelesaian kasus dengan jalan kekeluargaan. Namun, orang tua korban dengan tegas menolak tawaran damai.
Selanjutnya, pada hari Kamis 6 Oktober 2022, diketahui bahwa orang tua korban dijemput paksa oleh 2 (dua) orang yang tidak dikenal mengaku sebagai pegawai Kecamatan Kao dan orang tua dari Fidi K (orang tua salah satu terduga pelaku penyiksaan -red) menggunakan mobil Avanza warna putih dari kediaman orang tua korban menuju Tobelo. Sesampainya di sana, orang tua korban kembali dipaksa untuk menyelesaikan kasus melalui jalan damai;
Kemudian pada hari Jumat 7 Oktober 2022, Kontras mengungkapkan , dalam kurun waktu satu hari setidak-tidaknya enam kali kediaman korban dikunjungi oleh sejumlah orang yang mengaku sebagai keluarga dari pelaku. Dalam pertemuan tersebut, mereka menyampaikan apabila anak-anak mereka dipecat dari kepolisian, maka keluarga besar pelaku tidak akan tinggal diam, dan mengancam keselamatan korban;
Lanjutnya, pada Sabtu 8 Oktober 2022, sekelompok orang datang ke rumah salah satu keluarga korban di daerah Kao Bara melakukan pengancaman dengan menyatakan bahwa korban dapat dilaporkan balik oleh Kepolisian dan keluarga pelaku, dengan tuduhan pencemaran nama baik apabila pelaporan pidana korban tidak segera dicabut. Selain itu, mereka juga menyampaikan ancaman berupa adanya resiko drop out dari kampus bilamana korban terus melanjutkan laporan pidana.
Berbagai rangkaian tindakan intimidasi ini menimbulkan rasa trauma mendalam bagi korban dan keluarganya. Di samping itu, kami menilai bahwa rentetan aksi teror tersebut semakin menguatkan temuan bahwa upaya-upaya semacam ini merupakan bentuk desakan untuk menyelesaikan peristiwa pidana melalui jalan damai atau kekeluargaan. Jalan penyelesaian semacam ini tentu hanya akan menciptakan impunitas dan membuat pelaku bebas dari jerat pertanggungjawaban hukum.
Bahwa fenomena aksi teror, intimidasi, dan dorongan untuk menyelesaikan kasus secara kekeluargaan dalam kasus pidana yang melibatkan aparat kepolisian sebagai aktor pelaku kejahatan sering kami temukan dalam berbagai kasus. Beberapa di antaranya misalnya kasus penyiksaan hingga mengakibatkan meninggalnya Alm. Hermanto di Lubuklinggau, dan kasus Alm. Henry Bakari di Batam.
Kontras juga menyoroti proses hukum yang sedang berjalan terkesan sangat lamban. Sejak pelaporan dibuat pada 27 September 2022 lalu, hingga saat ini kami belum melihat perkembangan yang signifikan atas tindak lanjut dari laporan pidana tersebut. Padahal, kami menilai melalui berbagai alat bukti yang ada, terdapat bukti yang cukup untuk menindaklanjuti pelaporan dengan segera menetapkan para terduga pelaku sebagai tersangka dan melimpahkannya ke pihak Kejaksaan untuk dapat segera disidangkan. Berdasarkan uraian dan penjelasan Pihak Kontras mendesak, Kapolda Maluku Utara, memerintahkan jajarannya untuk secara cepat menyelesaikan proses penyidikan terhadap terduga pelaku dan kemudian dilimpahkan ke pihak Kejaksaan agar dapat segera dituntut dan diadili melalui mekanisme peradilan pidana. Kontras juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), untuk proaktif melakukan upaya perlindungan agar terjamin keselamatan dan terjaga keamanan korban, keluarga korban, hingga para saksi dari berbagai bentuk serangan, intimidasi, dan teror selama proses hukum berjalan baik secara fisik maupun psikis sebagaimana amanat Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Sementara itu, pihak LBH Marimoi, Fahrizal Dirhan kepada Titastory. Id saat dikonfirmasi via WhatsApp membenarkan intimidasi tersebut. Dia menerangkan kasus intimidasi ini bermula saat korban yang adalah mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Halmahera Utara terlibat aksi demo tolak kenaikan BBM.
Menurut Dirhan, korban melakukan postingan foto pada story akun WA Nya. Hal ini pun diduga tidak terima para pelaku, sehingga korban di bawa ke Polres Halmahera Utara oleh empat orang terduga penganiayaan tanggal 20 Oktober malam. Di Polres Halmahera, korban disiksa di dalam kandang anjing pelacak milik Polres Halmahera. Korban di suruh untuk meminta maaf kepada salah satu pelaku, disuruh untuk sujud tobat lima kali, melakukan pus up sebanyak lima 5 menit, disuruh berlari melintasi halaman kantor Polres sebanyak lima kali, dan meminta maaf dari seekor anjing pelacak.
Lantaran tindakan dugaan penganiayaan tersebut, korban pun melayangkan laporan ke Propam Polda Maluku Utara, namun laporan korban penganiayaan ini tidak gubris, bahkan diarahkan untuk melakukan visum. Ironisnya saat akan melakukan visum di salah satu rumah sakit pihak rumah sakit menyatakan harus ada rekomendasi dari pihak kepolisian. Korban pun kembali ke SPKT untuk membuat laporan namun disarankan untuk melakukan pelaporan pada besok hari tanggal 28 Oktober 2022.
” Itu sepintas kronologis awal dugaan penganiayaan yang dialami korban, dan dalam proses maka LBH Marimoi diminta untuk melakukan pendampingan, ” terang Dirhan.
Terang Dirhan, pelaku rupanya sempat dicari sejumlah oknum yang diduga adalah intel, bahkan sejumlah pihak juga sempat melakukan teror ke orang tua korban agar korban bisa mencabut laporan. Bahkan dalam dugaan intimidasi sejumlah keluarga pelaku pun ikut andil dan menuju ke rumah pelaku dan menegaskan jika saudara mereka yang merupakan anggota Polisi di pecat maka keluarga para pelaku tidak tinggal diam, sehingga mereka meminta masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan, namun sayangnya pihak keluarga korban menolak ajakan tersebut.
Terhadap hal itu, Dirhan menekankan akan tetap melakukan pendampingan terhadap korban, karena penganiayaan yang dilakukan sejumlah oknum polisi yang sepatunya melindungi masyarakat adalah langkah yang tidak bisa ditolerir
” Sesuai tupoksi dan kerja kami, tentunya LBH Marimo akan melakukan pendampingan hukum untuk korban, dengan inti laporan adalah terkait kode etik Propam Polda Maluku Utara dan dugaan penganiayaan di Mapolres Halmahera utara, ” jelasnya.
Dia juga menerangkan, bahwa rabu besok, Polda Maluku Utara diketahui akan menggelar perkara dan penetapan tersangka atas dugaan penganiayaan tersebut. (*TS 02)
Discussion about this post