Konferensi ICIR ke-6 di Ambon Soroti Penghayatan Kepercayaan Komunitas Adat dan Perampasan Ruang Hidup

by
24/10/2024

titastory.id, ambon – Konferensi Internasional dan Konsolidasi tentang Agama Masyarakat Adat (ICIR) ke-6 tahun 2024 yang berlangsung di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Provinsi Maluku, menjadi ajang untuk menyerap aspirasi masyarakat adat yang hingga kini masih menghadapi berbagai persoalan.

Fokus utama ICIR tahun ini adalah demokrasi keseharian, terutama terkait dengan perampasan lahan yang mengancam keberlangsungan ruang hidup masyarakat adat. Dampak yang dirasakan termasuk sulitnya akses ke sumber daya alam, hilangnya tempat ritual adat, punahnya fauna yang penting dalam upacara adat, serta hambatan dalam pengurusan administrasi kependudukan. Isu lainnya adalah akses pendidikan dan kerja yang terhambat, serta marginalisasi agama leluhur.

Keterangan gambar: Konferensi Internasional tentang demokrasi keseharian kalangan warga rentan, dalam The International Conference and Consolidation on Indigenous Religions (ICIR) ke-6 2024. Kegiatan ini berlangsung di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Rabu (23/10/2024). Sumber foto: Matoke Naunue Matoke

Acara ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari komunitas adat, penghayat kepercayaan, perempuan, akademisi, peneliti, hingga aktivis dan pemerintah.

Dr. Samsul Maarif dari CRSC Universitas Gadjah Mada dalam konferensi pers (23/10/2024) menyatakan, ICIR bertujuan untuk menggali nilai demokrasi di tingkat akar rumput yang sering diabaikan oleh politik demokrasi arus utama.

“ICIR ingin mengangkat nilai-nilai demokrasi di komunitas paling bawah sebagai bentuk respons terhadap demokrasi bangsa yang kerap didominasi kelompok tertentu,” ujar Samsul. Menurutnya, Ambon dipilih sebagai simbol demokrasi keseharian, di mana suara-suara warga yang termarginalkan perlu diutamakan.

Rani Bandawati, staf Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA), menyampaikan bahwa kerja sama antara KMA dan ICIR telah berlangsung selama tiga tahun. Menurutnya, kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk menangani isu-isu kepercayaan dan masyarakat adat, mengingat keterbatasan KMA dalam menyelesaikan persoalan ini sendirian.

“Kami berharap ICIR dapat memberikan masukan yang berguna bagi program-program Direktorat KMA, terutama dalam kabinet baru nanti,” ujarnya.

Keterangan gambar: Konferensi Internasional tentang demokrasi keseharian kalangan warga rentan, dalam The International Conference and Consolidation on Indigenous Religions (ICIR) ke-6 2024. Kegiatan ini berlangsung di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon, Rabu (23/10/2024). Sumber foto: Matoke Naunue Matoke

Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat

Aharena Matoke, perwakilan masyarakat adat Nuaulu, mengungkapkan bahwa diskriminasi terhadap masyarakat adat masih terjadi, meskipun Indonesia telah merdeka. Salah satu bentuk diskriminasi yang mencolok adalah kurangnya pengakuan terhadap agama leluhur.

“Anak-anak Nuaulu sering kali dipaksa untuk memilih agama yang diakui negara, seperti Hindu, meski kepercayaan leluhur kami sangat berbeda,” jelas Aharena. Ia juga menyebutkan bahwa diskriminasi ini meluas hingga ke lembaran hasil belajar, di mana anak-anak adat dipaksa memilih agama yang tidak mereka anut.

Perempuan Adat dan Hak Konstitusional

Dewi Kanti, Komisioner Komnas Perempuan, menyatakan bahwa ICIR juga menjadi forum penting untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, terutama perempuan adat yang kerap mengalami diskriminasi berlapis. Menurut Dewi, perempuan adat tidak hanya menghadapi diskriminasi berbasis gender, tetapi juga kerap menjadi korban dari konflik agraria dan perampasan sumber daya alam.

“Perempuan adat seringkali menjadi kekuatan penggerak perubahan, meskipun menghadapi tantangan yang besar. Kami melihat potensi besar dalam gerakan mereka untuk memperkuat peradaban bangsa ini,” ujar Dewi.

Ia juga menyoroti bahwa dalam 20 tahun terakhir, RUU Perlindungan Masyarakat Adat masih terhambat, menunjukkan kurangnya keseriusan pemerintah dalam melindungi masyarakat adat.

Dewi menekankan pentingnya dialog antara pemerintah dan masyarakat adat, terutama dalam memastikan hak-hak perempuan adat. Menurutnya, masyarakat adat adalah penjaga nilai-nilai peradaban yang harus dijaga dan dihormati.

“Jika masyarakat adat dicabut dari sistem nilai dan kebudayaan mereka, maka peradaban bangsa ini akan runtuh,” pungkasnya. Dewi juga menyerukan agar kebijakan negara lebih melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan.

Konferensi ICIR ke-6 ini menjadi momentum penting untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, terutama dalam menghadapi ancaman perampasan ruang hidup dan diskriminasi sistemik. (TS-03)

error: Content is protected !!