Jakarta, – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menolak Rancangan Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang diajukan oleh Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM. Dalam siaran pers resmi Nomor 64/HM.00/X/2025, Jumat, 31 Oktober 2025, Komnas HAM menilai draf tersebut berpotensi melemahkan lembaga independen itu, mengikis kewenangannya, dan menimbulkan konflik kepentingan di tubuh penegakan HAM nasional.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, lembaganya mencatat setidaknya 21 pasal krusial dalam rancangan revisi tersebut yang bermasalah baik dari sisi norma maupun kelembagaan, termasuk Pasal 1, 10, 79, 100, dan 109.

“Draf revisi ini bukan penguatan, tapi penghapusan fungsi-fungsi utama Komnas HAM,” ujar Anis dalam konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta.
Kewenangan Dipangkas, Fungsi Mediasi Dihapus
Menurut Anis, rancangan revisi itu secara drastis mengurangi empat tugas pokok Komnas HAM sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999: pengkajian dan penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi.
Dalam Pasal 109 rancangan terbaru, Komnas HAM bahkan tidak lagi berwenang menerima dan menangani pengaduan dugaan pelanggaran HAM, melakukan mediasi, atau pendidikan publik tentang HAM.
“Hilangnya fungsi pendidikan dan penyuluhan HAM akan menghambat pencegahan pelanggaran HAM di masyarakat. Sementara penghapusan kewenangan pengkajian peraturan akan menghilangkan fungsi korektif terhadap kebijakan negara,” tegas Anis.
Selain itu, rancangan juga memberikan pengecualian hanya pada fungsi yang berkaitan dengan regulasi dan instrumen internasional, yang dianggap tidak cukup untuk menjaga fungsi substantif Komnas HAM.
Ancaman Independensi dan Konflik Kepentingan
Komnas HAM juga menyoroti dua persoalan fundamental dalam rancangan tersebut:
- Proses Seleksi Anggota Tidak Independen.
 Pasal 100 ayat (2) huruf b rancangan revisi mengatur bahwa panitia seleksi anggota Komnas HAM akan ditetapkan oleh Presiden.
 Padahal, menurut Anis, hal itu bertentangan dengan Paris Principles, yang menegaskan bahwa lembaga HAM nasional harus mandiri, termasuk dalam proses rekrutmen anggotanya.
 “Selama ini panitia seleksi ditetapkan melalui sidang paripurna Komnas HAM sendiri, bukan oleh pemerintah,” kata Anis.
- Pemberian Kewenangan HAM kepada Kementerian HAM.
 Komnas HAM menolak keras usulan yang memberi kewenangan penanganan pelanggaran HAM kepada Kementerian Hukum dan HAM.
 “Kementerian adalah bagian dari pemerintah, yang justru sering menjadi pihak yang diadukan. Ini jelas menimbulkan konflik kepentingan,” ujar Anis.
Penguatan Semu dan Upaya Penghapusan Lembaga
Pasal 112 rancangan revisi disebut-sebut memperkuat posisi Komnas HAM karena rekomendasinya akan bersifat mengikat bagi pemerintah. Namun, Komnas HAM menilai hal itu hanyalah “penguatan semu” jika sebagian besar kewenangannya dihapus.
“Rancangan ini dapat dimaknai sebagai upaya menghapus keberadaan Komnas HAM dari kelembagaan HAM nasional,” tulis Komnas HAM dalam pernyataan resminya.
Komnas HAM mendesak Pemerintah untuk meninjau kembali rancangan tersebut secara menyeluruh. Revisi terhadap UU No. 39/1999 seharusnya difokuskan pada penguatan norma-norma HAM, perlindungan kelompok rentan, serta peningkatan akuntabilitas negara sebagai pemenuhan kewajiban HAM, bukan justru mempersempit peran lembaga independen.
“Kami sudah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) versi Komnas HAM yang menegaskan arah penguatan, bukan pelemahan. Pemerintah seharusnya membuka ruang partisipasi publik, bukan memonopoli pembahasan,” tegas Anis.
Dinamika Baru Hubungan Negara dan HAM
Langkah pemerintah ini dinilai sejumlah pengamat sebagai sinyal kemunduran dalam tata kelola hak asasi manusia di Indonesia. Selama dua dekade terakhir, Komnas HAM telah memainkan peran penting dalam menginvestigasi berbagai pelanggaran berat, dari kasus 1965, Trisakti–Semanggi, hingga Papua.
Jika draf revisi ini disahkan dalam bentuk saat ini, posisi Komnas HAM diperkirakan hanya akan menjadi lembaga administratif tanpa gigi, bergantung pada arahan politik pemerintah.
Hal ini sekaligus menimbulkan pertanyaan besar: apakah negara benar-benar ingin memperkuat perlindungan HAM, atau justru mengontrolnya?
 
            
 
                             
                             
                             
                            