Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Greenwashing Sistemik di Balik AZEC: “Kolonialisme Energi Baru yang Berbalut Transisi Hijau”

25/10/2025
Keterangan: Aksi tolak Greenwashing Sistemik di Balik AZEC,Foto: Ist

Jakarta, – Sejumlah organisasi masyarakat sipil Indonesia menolak keras inisiatif Asia Zero Emission Community(AZEC) yang dipimpin oleh Jepang. Mereka menilai proyek ini tidak lebih dari bentuk greenwashing sistemik yang memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil, sekaligus mengancam keselamatan masyarakat dan lingkungan.

Penolakan ini disampaikan oleh jaringan organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari AEER, Celios, Greenpeace Indonesia, JATAM, Trend Asia, WALHI Jakarta, dan WALHI Nasional. Dalam pernyataannya, mereka mendesak pemerintah Jepang dan Indonesia agar segera meninggalkan solusi palsu seperti co-firing batu bara dan carbon capture storage (CCS/CCUS), dan berkomitmen pada transisi energi yang cepat, adil, serta demokratis.

“AZEC bukan solusi transisi energi yang adil, melainkan bentuk baru kolonialisme energi. Ia menyamarkan kepentingan korporasi dan negara industri sebagai upaya dekarbonisasi,” kata Dwi Sawung, Manajer Kampanye Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI, Kamis, 24 Oktober 2025.

Keterangan: Pemandangan PLTU Suralaya di Cilegon, Foto: Greenpeace

Menurutnya, transisi energi sejati seharusnya dimulai dari kebutuhan masyarakat, bukan dari investasi yang mengekalkan ketimpangan dan kerusakan ekologis.

Solusi Palsu dan Kolonialisme Baru

Koalisi menilai, inisiatif AZEC yang dibungkus dengan narasi “net zero emission” justru mendorong penggunaan teknologi berisiko tinggi seperti co-firing amonia dan hidrogen, yang memperpanjang usia pembangkit batu bara. Teknologi tersebut, kata mereka, bukan solusi terhadap krisis iklim, melainkan kamuflase yang memperparah ketergantungan pada energi kotor.

“Jika AZEC serius dengan transisi energi, seharusnya mereka mendorong smart grid, energi surya dan angin, serta pensiun dini PLTU  bukan memperpanjang umur batu bara dengan co-firing dan CCS,” ujar Riski Saputra, Peneliti Lingkungan dari AEER.

Sementara itu, Al Farhat Kasman, Juru Kampanye JATAM, menyebut AZEC sebagai wajah baru dari kolonialisme ekstraktif. “Investasi yang dibawa atas nama rendah karbon justru menyembunyikan jebakan utang, perampasan ruang hidup, dan eksploitasi sumber daya seperti geothermal dan mineral kritis. Negara kembali berpihak pada pemodal, bukan rakyat,” tegasnya.

Transisi Energi Tanpa Demokrasi

Jaringan masyarakat sipil menilai pelaksanaan AZEC di Indonesia tidak transparan dan jauh dari prinsip partisipasi bermakna. Proyek-proyek yang dijalankan, kata mereka, tidak melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan justru memperbesar risiko sosial dan ekologis.

“Pendekatan AZEC keliru sejak awal. Ia mempertahankan dominasi negara dan korporasi dalam transisi energi, alih-alih memperkuat masyarakat di tapak yang paling terdampak,” kata Wishnu Utomo, Direktur Advokasi Tambang Celios.

Menurutnya, transisi energi seharusnya menjadi momentum pemulihan bagi masyarakat, bukan memperluas luka akibat proyek ekstraktif.

Senada dengan itu, Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menyebut data dari Zero Carbon Analytics menunjukkan 35 persen proyek AZEC masih berbasis bahan bakar fosil, sementara energi terbarukan hanya 11 persen.

“Portofolio AZEC jelas lebih condong ke gas fosil, LNG, dan co-firing. Ini bukan transisi energi, tapi pengulangan dari pola lama yang membuat Indonesia terjebak dalam fossil lock-in,” katanya.

Krisis Iklim dan Ketimpangan Energi

Menurut Novita Indri, Juru Kampanye Energi Trend Asia, Jepang gagal menunjukkan kepemimpinan moral dalam krisis iklim.

“Melalui AZEC, Jepang justru menggagalkan komitmen global yang disepakati bersama. Mereka masih menyalurkan pembiayaan solusi palsu ke negara ASEAN termasuk Indonesia,” ujar Novita.

Ia menegaskan, dukungan terhadap energi terbarukan harus menjadi prioritas utama, bukan justru memperluas infrastruktur energi fosil di negara berkembang.

Kekhawatiran serupa disampaikan M. Abdul Baits, dari Divisi Kajian dan GIS WALHI Jakarta. Ia menyoroti dampak langsung proyek co-firing di wilayah pembangkit besar seperti Suralaya, Lontar, dan Muara Karang.

“Skema co-firing hanya memperpanjang umur PLTU. Dampaknya warga Jakarta tetap terpapar polusi udara dan risiko penyakit akibat emisi batu bara,” ujarnya.

Desakan: Transisi Energi yang Demokratis

Koalisi masyarakat sipil menyerukan agar pemerintah Indonesia dan Jepang meninjau kembali arah AZEC dan seluruh proyek turunannya. Mereka menuntut agar seluruh kebijakan energi berbasis pada prinsip just transition—transisi yang berkeadilan sosial, ekologis, dan partisipatif.

“Transisi energi tidak bisa dibangun di atas penderitaan masyarakat dan manipulasi hijau (greenwashing). Ia harus memastikan redistribusi manfaat, perlindungan hak masyarakat adat, dan pengakuan terhadap komunitas yang telah menjaga bumi jauh sebelum jargon transisi muncul,” tutup Dwi Sawung.

AZEC atau Asia Zero Emission Community merupakan inisiatif pemerintah Jepang sejak 2023 untuk mendorong kolaborasi energi rendah karbon di Asia. Namun, banyak kalangan menilai skema ini hanya memperpanjang ketergantungan kawasan terhadap bahan bakar fosil dengan balutan teknologi “hijau”.

error: Content is protected !!