Koalisi Masyarakat Sipil : RUU TNI Masih Memberi Ruang Kembalinya Dwi Fungsi TNI dan Militerisme

by
15/03/2025
Gambar Ilutrasi.Foto : Web

titastory, Jakarta – Pengajuan revisi terhadap UU TNI mendapat kritik serta penolakan dari koalisi masyarakat sipil. Mereka menilai revisi UU ini tidak mendesak, karena UU TNI No. 34 tahun 2004 masih relevan digunakan.

Hal ini muncul setelah pemerintah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi Undang-undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) kepada parlemen pada 11 Maret 2025.

Dari DIM yang diserahkan, draft RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatnya militerisme.

Ilustrasi Tolak Dwifungsi TNI. Foto : Antara

Pemerintah dan DPR justru diminta mengubah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU No. 31 tahun 1997 agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam Konstitusi.

“Koalisi menilai, secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Menurut Usman, perluasan jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat. Hal ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI.

Untuk di kantor Kejaksaan Agung, penempatan ini tidaklah tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara, sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum.

Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu.

“Sejak awal dibentuknya Jampidmil, kami sudah mengkritisi keberadaan Jampidmil di Kejaksaan Agung yang sejatinya tidak diperlukan. Jampidmil hanya menangani perkara koneksitas, harus nya tidak perlu dipermanenkan jadi sebuah jabatan bernama Jampidmil. Untuk kepentingan koneksitas sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc gabungan tim Kejaksaan Agung dan oditur militer,” terangnya.

Sementara itu, peradilan koneksitas selama ini juga bermasalah karena seringkali menjadi sarana impunitas. Peradilan koneksitas seharusnya dihapus, karena jika militer atau sipil terlibat tindak pidana umum langsung tunduk dalam peradilan umum sehingga tidak perlu koneksitas. Dengan demikian penambahan jabatan sipil di Kejagung sebagaimana dimaksud dalam RUU TNI tidak tepat, termasuk keberadaan Jampidmil.

Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya mengatakan, seharusnya yang diperlukan bukan perluasan jabatan sipil yang diduduki oleh prajurit TNI aktif. Justru perlu disempitkan, pembatasan dan pengurangan TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI.

“Jadi jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan ditambah,” tuturnya.

Koalisi juga menilai sejak Panglima TNI menyatakan bahwa prajurit TNI aktif yang menempati jabatan sipil di luar dari 10 lembaga yang dibolehkan pasal 47 ayat (2), harus mundur dari dinas aktif kemiliteran.

“Maka kami mendesak agar seluruh prajurit TNI yang saat ini menduduki jabatan sipil di luar dari 10 lembaga yang diperbolehkan dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI tersebut, segera mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif TNI, terutama Letkol Teddy Indra Wijaya yang berulang kali melanggar ketentuan dalam UU TNI, mulai dari terlibat dalam kampanye politik praktis 2024 hingga pengangkatannya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab),” tegasnya.

Selain itu, koalisi masyarakat sipil menilai penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas seperti menangani masalah narkotika juga terlalu berlebihan. Upaya penanganan narkotika semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum.

TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya. Penanganan narkotika seharusnya lebih menekankan pada aspek medis dan penegakan hukum pun harus dilakukan secara proporsional bukan represif atau bahkan justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya.

Karena itu, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi ‘war model’ melibatkan militer di dalamnya dan bukan ‘criminal justice system model’ lagi. Ini berbahaya karena akan membuka potensi kekuasaan yang berlebihan.

Parahnya lagi, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara (kebijakan presiden dengan pertimbangan DPR sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004), tetapi akan diatur lebih lanjut dalam PP sebagaimana diatur dalam draft RUU TNI.

Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran Parlemen sebagai wakil rakyat. Selain itu, hal tersebut akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain, khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri.

Untuk itu, koalisi menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan militerisme di Indonesia.

Pernyataan kepala komunikasi presiden yang menilai tidak ada dwi fungsi dalam RUU TNI adalah keliru, tidak tepat dan tidak memahami permasalahan yang ada dalam RUU TNI.

“Koalisi menilai ketimbang membahas RUU TNI sebaiknya DPR dan pemerintah membahas bagaimana memodernisasi alutsista tanpa adanya korupsi dan bagaimana meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Modernisasi alutista tanpa adanya korupsi dan peningkatan kesejahteraan prajurit TNI jauh lebih penting dari revisi UU TNI,” ungkapnya.

Untuk diketahui Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan adalah organisasi sipil seperti Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, Amnesty International Indonesia, ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP), Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, Dejure.

Penulis : Redaksi
error: Content is protected !!