Kisah Kelompok Tani Padang Halaban Sumatera Utara, Berjuang Demi Tanah yang Bakal Digusur

by
05/03/2025
Kelompok Tani Padang Halaban di Kampung Baru, Sidomukti, Kecamatan. Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara Tengah cemas. Mereka khawatir tanah yang mereka tempati sejak dulu bakal digusur PT SMART, anak usaha PT Sinar Mas. Foto : Ist

titastory, Sumatera Utara – Kelompok Tani Padang Halaban di Kampung Baru, Sidomukti, Kec. Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara tengah diliputi rasa cemas. Mereka khawatir tanah yang mereka tempati sejak dulu bakal digusur PT SMART, anak usaha PT Sinar Mas.

Saat ini, mereka memperjuangkan 83 hektar tanah dari 137.000 hektar milik kekayaan yang dimiliki Perusahaan itu.

Misno, seorang petani menuturkan sejak pertengahan Februari, Pengadilan Negeri Rantau Prapat bersurat kepada Kapolres Labuan Batu untuk mendukung penggusuran yang akan dilakukan PT SMART.

“Terbaru, PN Rantau Prapat menerbitkan surat yang membolehkan PT SMART akan menggusur kami di Kamis, 6 Maret 2025,” kata Misno.

Kelompok Tani Padang Halaban di Kampung Baru, Sidomukti, Kec. Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara menggelar doa dan zikir. Foto : Ist

Selama 62 tahun, Misno hidup di tanah itu. Begitu pun dengan lebih dari 300 keluarga petani lainnya, yang tersebar di enam desa.

Orangtua mereka dulunya adalah transmigran yang menjadi kuli kontrak untuk perkebunan asing di masa penjajahan Belanda.

Sampai akhirnya tahun 1958-an, mereka punya Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) dan diperbolehkan memiliki lahan hingga 2 hektar Pada saat itu, kartunya dikeluarkan oleh kantor reorganisasi tanah Sumatera Timur.

“Tidak lama, di tahun 1965 tentara menyerbu desa-desa kami,” ceritanya.

Aksi penolakan atas rencana penggusuran. Foto : Ist

Di bawah kekuasaan orde baru Suharto, tentara menangkap dan menyiksa orangtua mereka karena dianggap bagian dari PKI. Pada 1968 itu perusahaan Belanda atas nama Plantagen meminta pemerintah memberikan HGU selama 30 tahun dan mencoba menggusur keluarga petani yang tersisa.

“Banyak dari teman-teman yang waktu itu berusia 8-15 tahun, dibawa ke lapangan menyaksikan penyiksaan terhadap orangtua kami,” ungkapnya.

Pemerintah desa dan aparat keamanan kala itu memanipulasi warga desa yang memiliki KTPPT. Pemerintah mengambil kartu tersebut dengan dalih akan diperpanjang.

“Padahal kartu-kartu ini dibakar supaya menghilangkan bukti kepemilikan lahan yang dipunya orangtua kami,” tuturnya.

Kemudian pada 1972 perusahaan asal Belanda itu diambil alih kepemilikannya oleh PT Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMART), anak usaha Sinar Mas Group.

Sejak saat itu, penggusuran terus dilakukan di Padang Halaban hingga para petani kehilangan enam desa dan tanah pertanian seluas 3.000 hektar yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Menurutnya, segala cara telah ditempuh untuk merebut hak atas tanah-tanah tersebut. Sejak tahun 2012, mereka berhasil menduduki 83,5 hektar.

“Di atas tanah tersebut lah hingga saat ini kami menanami palawija, yang selama ini menjadi sumber pangan bagi kami dan warga desa lainnya. Bukan kah pemerintahan Presiden Prabowo mau Indonesia swasembada pangan?,” katanya.

Penulis : Redaksi
Editor : Khairiyah 
error: Content is protected !!