titastory.id, Masohi – JARUM jam menunjukkan pukul 13.00 WIT. Langit mendung menyelimuti Kota Masohi pada Selasa siang, 3 September 2024. Gerimis tipis mulai turun, cukup untuk membuat pengendara roda dua terpaksa menepi, mencari perlindungan. Kami, tim titastory.id, ikut menepi, memilih menunda perjalanan ke Lapas Kelas IIB Masohi. Waktu makan siang dan hujan yang terus mengguyur memaksa kami berpikir ulang sebelum melanjutkan agenda penting hari itu bertemu Anthonius Latumutuany, seorang pemuda adat dari kaki Gunung Binaiya, yang kini sedang menjalani hukuman dua tahun penjara.
Anthonius, 26 tahun, merupakan warga Negeri Piliana, sebuah desa di kaki Gunung Binaiya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah. Ia ditahan sejak pertengahan 2023, setelah aksi mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di lokasi sasi adat Piliana. Pengibaran bendera itu merupakan bentuk penolakannya terhadap pemasangan patok batas oleh Badan Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). Foto bendera RMS yang berkibar di tanah adat itu kemudian viral di media sosial, membuat polisi segera meringkus Anthonius dan beberapa rekannya. Namun, hanya Anthonius yang diproses hukum, dijerat dengan pasal makar.
Pengadilan Negeri Masohi menjatuhkan vonis dua tahun penjara kepada Anthonius. Putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Ambon, meski tim kuasa hukum yang dipimpin Semuel Waileruny telah mengajukan banding. Kini, upaya hukum terakhir ditempuh melalui kasasi di Mahkamah Agung. Siang ini, kami akan bertemu Anthonius untuk mendengar langsung kisahnya di dalam penjara.
Perjuangan di Balik Jeruji
Pukul 14.00 WIT, hujan mereda, dan kami tiba di Lapas Masohi. Meskipun jam kunjungan sudah habis, berkat bantuan kuasa hukumnya, Vicktory Sahusilawane, kami diizinkan bertemu dengan Anthonius. Mengenakan kaos biru dan celana panjang, rambut keritingnya sedikit berantakan, Anthonius menyambut kami dengan senyum lebar.
Di sela-sela obrolan, Anthonius bercerita tentang kehidupan sehari-harinya di penjara. “Beta bisa berbaur dengan teman-teman di sini,” katanya, menegaskan bahwa ia mencoba menjalani hukumannya dengan tenang. Namun, ada satu hal yang terus mengganjal hatinya: sejak dua bulan terakhir, istri dan anaknya belum menjenguk. “Hari ini beta punya anak ulang tahun pertama,” ucapnya dengan senyum getir.
Anaknya, seorang bayi perempuan, lahir saat Anthonius sudah berada di balik jeruji. Selama hampir setahun, Anthonius baru satu kali bertemu dengan putrinya. “Beta cuma bisa berdoa supaya dia sehat,” kata Anthonius. Ia berharap, saat ia bebas pada Desember 2024 nanti, ia bisa kembali berkumpul bersama keluarga dan melanjutkan perjuangannya membela tanah adat.
Protes Tanpa Jalan Keluar
Pengibaran bendera RMS oleh Anthonius dan rekan-rekannya bukan tanpa alasan. Bagi masyarakat adat di Negeri Piliana, tanah mereka semakin terdesak sejak hutan di sekitar Gunung Binaiya ditetapkan sebagai Taman Nasional Manusela. Lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan masyarakat adat tak lagi bisa diakses. Masyarakat hanya bisa mengandalkan kebun mereka yang terletak di luar kawasan taman nasional.
Namun, kebun-kebun itupun kini terancam diambil alih oleh pemerintah melalui program Hutan Produksi Konversi (HPK). Pemasangan patok oleh BPKH menjadi simbol ancaman bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat.
“Bagaimana kami mau hidup kalau kebun kami diambil lagi? Kami hidup dari berkebun,” keluh Anthonius.
Protes masyarakat adat Piliana terhadap program ini telah berlangsung sejak lama. Sebanyak 10 negeri adat di Kecamatan Tehoru dan Telutih menyuarakan penolakan mereka terhadap pemasangan patok. Mereka menganggap bahwa keputusan pemerintah untuk menetapkan lahan adat sebagai kawasan HPK dilakukan tanpa sosialisasi atau dialog dengan masyarakat setempat. Tindakan ini memicu amarah warga, yang kemudian merusak patok-patok tersebut.
Anthonius memiliki harapan besar, perjuangan masyarakat adat negeri Piliana dalam melindungi tanah adat dapat membuahkan hasil.
“Beta berharap aspirasi dari raja-raja di Kecamatan Tehoru, dapat dipenuhi oleh pemerintah, karena memang tanah petuanan adat semakin sempit setelah Hutan Manusela ditetapkan sebagai Taman Nasional oleh pemerintah,”ungkapnya.
Menurutnya, pengibaran bendera RMS adalah sebagai bentuk protes, dan minta perhatian dari pemerintah, agar mengurungkan niat mencaplok lahan milik warga untuk dimasukkan dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK).
Lahan tersebut adalah kebun-kebun milik warga, karena semenjak hutan Manusela diambil alih pemerintah, masyarakat adat sudah tidak lagi bisa masuk hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat adat berkebun diatas lahan milik mereka. Namun sayangnya, setelah hutan dkuasai, kini giliran kebun milik masyarakat adat yang mau diambil melalui program HPK.
“Bagaimana kami mau hidup, kalau kebun kami kembali diambil. Kami hidup dari berkebun, lalu kalau tanah kami diambil lagi, bagaimana kami mau hidup,”keluhnya.
Anthonius menceritakan, selama di penjara, ibunya bekerja di kebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ayahnya sudah tutup usia sejak beberapa tahun lalu, sehingga ia menjadi salah satu tulang punggung keluarga.
“Beta dipenjara, jadi mama yang harus bekerja,”ungkapnya.
Harapan dari Tanah Adat
Seusai bertemu Anthonius, kami mengunjungi keluarganya di Negeri Piliana. Di rumah sederhana itu, kami disambut oleh istrinya yang tengah menggendong anak mereka. Istrinya hanya berharap suaminya bisa segera bebas dan berkumpul kembali dengan keluarga.
“Saya cuma ingin Anton bisa kembali berkumpul dengan kami,” ujarnya singkat.
Perjuangan masyarakat adat Piliana dan desa-desa lainnya belum usai. Para raja adat, yang tergabung dalam Latupati Kecamatan Tehoru dan Telutih, terus mengadvokasi penolakan mereka melalui surat resmi kepada BPKH dan audiensi dengan DPRD Kabupaten Maluku Tengah. Bernard Liliahata, Ketua Latupati Tehoru yang juga Raja Negeri Hatumete, menegaskan bahwa masyarakat adat tidak berniat melawan negara. “Kami hanya menolak kebijakan yang menyengsarakan masyarakat adat dan tidak pro-rakyat,” kata Bernard.
Bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan sumber kehidupan dan warisan leluhur yang harus dijaga. Perjuangan mereka untuk mempertahankan tanah adat, bagi Anthonius dan warga lainnya, adalah sebuah upaya untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.
Putusan Kasasi: Tidak Terbukti Makar, Anthonius Tetap Jalani 2 Tahun Penjara
Penasihat hukum Anthonius Latumutuany, Victory Sahusilawane, mengungkapkan bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan baik oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) maupun oleh terdakwa. Keputusan MA ini memperkuat vonis 2 tahun penjara yang sebelumnya dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Masohi dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Ambon.
Namun, menariknya, dalam putusan tersebut, hakim Mahkamah Agung menyatakan bahwa tindakan pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) yang dilakukan oleh Anthonius tidak termasuk dalam kategori makar. Victory Sahusilawane menyampaikan, “Anton harus tetap menjalani hukuman dua tahun penjara, karena hakim MA menolak kasasi dari terdakwa dan JPU, serta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Masohi dan Pengadilan Tinggi Ambon.”
Berdasarkan salinan putusan kasasi Nomor 842 K/Pid/2024 yang diterbitkan pada 14 Juni 2024, majelis hakim yang diketuai oleh Prof. Dr. Surya Jaya, menyatakan bahwa tindakan Anthonius mengibarkan bendera RMS, meskipun dilarang oleh pemerintah, tidak memenuhi unsur makar seperti yang diatur dalam Pasal 87 KUHP. Menurut hakim, tindakan pengibaran bendera RMS oleh Anthonius tidak termasuk sebagai perlawanan fisik atau pemberontakan bersenjata, yang merupakan elemen penting dalam kejahatan makar.
Hakim MA menegaskan bahwa Anthonius terbukti sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana mengibarkan lambang, bendera, atau simbol yang dilarang oleh Pemerintah Indonesia. Namun, perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh jaksa sebagai tindak makar.
Dengan mengacu pada berbagai undang-undang terkait, termasuk Pasal 106 KUHP, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, serta UU Mahkamah Agung, majelis hakim memutuskan untuk menolak permohonan kasasi dari JPU dan terdakwa, serta membebankan biaya perkara sebesar Rp2.500 kepada Anthonius.
Pada putusan tingkat pertama Pengadilan Negeri (PN) Masohi, majelis hakim yang diketuai oleh Bul Bul Usman Resa Syukur, didampingi dua hakim anggota, Maryo Marselino Soplantila dan Mochamad Resa, menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Anthonius Latumutuany. Anthonius dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana makar sesuai Pasal 106 KUHP, sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Menyatakan Terdakwa Anthonius Latumutuany, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana makar sebagaimana dalam dakwaan tunggal; Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan hukuman penjara selama 2 tahun, dan menetapkan masa penangkapan serta penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan Terdakwa tetap ditahan,” ujar majelis hakim saat membacakan putusan.
Putusan ini lebih ringan dari tuntutan JPU, yang menghendaki Anthonius dijatuhi hukuman 3 tahun penjara, dikurangi masa tahanan yang telah dijalani.
Pendapat Amnesty Internasional
Direktur Amnesty International, Usman Hamid, saat memberikan keterangan sebagai saksi ahli dalam sidang kasus dugaan makar dengan terdakwa Antonius Latumutuany, menyatakan bahwa tindakan pengibaran bendera RMS oleh Antonius tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana makar. Menurutnya, aksi tersebut adalah bentuk protes terhadap kebijakan Pemerintah yang memasang tanda batas Taman Nasional Manusela di wilayah milik masyarakat adat Piliana, bukan tindakan dengan niat memisahkan wilayah Indonesia.
Usman Hamid menjelaskan bahwa niat Antonius dalam mengibarkan bendera RMS adalah murni untuk memprotes Pemerintah, bukan untuk menggerakkan pemberontakan atau memisahkan wilayah negara. Oleh karena itu, menurutnya, tindakan ini seharusnya tidak diproses secara hukum, terlebih lagi jika mengacu pada ketentuan Pasal 106 KUHP yang mempersyaratkan adanya niat dan permulaan pelaksanaan untuk menyerahkan wilayah Indonesia kepada kekuasaan asing atau musuh.
Amnesty International, yang diwakili oleh Usman Hamid, juga menegaskan bahwa pengibaran bendera RMS seharusnya dianggap sebagai bagian dari hak kebebasan berekspresi dan berpendapat. Dalam keterangan yang diberikan di Pengadilan Negeri Masohi, Usman Hamid mengutip berbagai instrumen hak asasi manusia internasional, termasuk Pasal 19 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005. Hak kebebasan berekspresi, termasuk hak untuk menyuarakan pendapat politik, harus dilindungi selama dilakukan dengan damai.
Usman Hamid juga menekankan pentingnya Indonesia, sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, mematuhi komitmen internasionalnya untuk melindungi kebebasan berekspresi. Menurutnya, tindakan menghukum Antonius atas protes damai tersebut akan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh konstitusi Indonesia dan hukum internasional.
Dalam kesimpulan keterangan sebagai ahli, Usman Hamid meminta agar Pengadilan mempertimbangkan untuk membebaskan Antonius dari segala dakwaan, karena tindakannya tidak memenuhi unsur-unsur makar yang diatur dalam Pasal 106 KUHP. (tim liputan)
Discussion about this post