Kepulauan Aru di Persimpangan: Krisis Ruang Hidup Masyarakat Adat dan Nelayan Tradisional Butuh Respons Negara

16/06/2025
Kampanye Penolakan Program Penangkapan Ikan Terukur di Perairan Aru (PIT). Foto: Johan/titastory.
Oleh: Hendra Al Asad, Field Facilitator/Human Rights Officer DFW Indonesia

titastory, Kep. Aru – Kepulauan Aru, gugusan pulau di tenggara Maluku, kembali menjadi gambaran rapuh dari relasi timpang antara negara, modal, dan komunitas lokal. Konflik agraria dan maritim yang berkepanjangan di wilayah ini memperlihatkan lemahnya perlindungan struktural terhadap masyarakat adat dan nelayan tradisional. Mereka berada dalam pusaran proyek-proyek skala besar—dari perkebunan, hutan tanaman industri, hingga perdagangan karbon—yang dilegalkan lewat perizinan negara namun minim partisipasi warga.

Ancaman terhadap ruang hidup di Aru tidak datang secara frontal, melainkan terselubung dalam jargon pembangunan dan konservasi hijau. Proyek-proyek yang diklaim membawa kemajuan justru menjadi bentuk baru dari perampasan ruang dan marginalisasi. Dalam kondisi ini, negara seharusnya bertindak cepat dengan reformasi tata kelola, penghentian perizinan bermasalah, dan perlindungan hak atas ruang hidup masyarakat pesisir dan adat.

Diskusi dan nonton bareng film dokumenter Lumbung Ikan Nestapa. Foto: Johan/titastory.

Perampasan Ruang dalam Bungkus Legal

Sejak 2013, Kepulauan Aru menjadi sorotan nasional ketika PT Menara Group nyaris menguasai 500.000 hektare daratan Aru—sekitar 70 persen dari total luas wilayahnya—untuk proyek ekspansi perkebunan tebu. Perlawanan masyarakat adat berhasil menggagalkan rencana tersebut. Namun, kasus ini hanyalah awal dari siklus konflik perebutan ruang.

Pada 2021, muncul kembali konflik serupa dengan konsesi seluas 54.560 hektare yang diberikan kepada PT Wana Sejahtera Abadi berdasarkan SK Menteri LHK No. SK.81/MENLHK/SETJEN/PLA.0/1/2016. Meski masyarakat di Pulau Wokam dan Woham menolak, izin tetap berjalan dan berdampak pada empat kecamatan.

Kekhawatiran publik makin besar ketika proyek perdagangan karbon oleh Melchor Group mulai menjangkau hampir 600.000 hektare wilayah Aru. Meskipun dikemas sebagai skema konservasi, pendekatan yang minim transparansi dan partisipasi membuat proyek ini dianggap sebagai bentuk “green grabbing”—perampasan ruang dengan kedok konservasi.

Lebih jauh, status hampir seluruh daratan Aru sebagai kawasan hutan produksi konversi (berdasarkan SK Menteri LHK No. 783/MENLHK/SETJEN/PLA.0/11/2021) justru membuka pintu lebar bagi eksploitasi industri. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan serius antara regulasi yang mengakui hak masyarakat adat, seperti Perda No. 2 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat, dengan praktik di lapangan yang mengabaikan aspirasi komunitas.

Krisis di Laut: Zona Penangkapan Diserobot, BBM Mahal

Di wilayah pesisir, nelayan tradisional Aru pun menghadapi tantangan serupa. Pada Januari 2025, dua kapal berbobot lebih dari 230 GT tertangkap beroperasi ilegal di Laut Aru, menggunakan alat tangkap yang melanggar ketentuan. Padahal, dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 36 Tahun 2023 (revisi dari Permen No. 18 Tahun 2021), kapal besar dilarang beroperasi dalam radius 12 mil laut yang menjadi hak tangkap nelayan kecil.

Namun, pelanggaran seperti ini bukan insiden tunggal, melainkan gejala dari pola eksploitasi sistemik yang terus merugikan nelayan kecil. Ironisnya, nelayan tradisional di Aru tidak memiliki akses terhadap SPBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan), sehingga mereka terpaksa membeli BBM dari pengecer dengan harga tinggi, memperberat beban produksi harian mereka.

Situasi ini jelas bertentangan dengan amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Undang-undang tersebut seharusnya menjamin akses nelayan terhadap sarana produksi, kepastian usaha, dan perlindungan hukum, namun dalam praktiknya belum menjangkau Aru secara substantif.

Rangkaian konflik di darat dan laut menunjukkan akar masalah yang lebih dalam: tidak sekadar lemahnya penegakan hukum, tetapi absennya keberpihakan struktural terhadap masyarakat adat dan nelayan kecil. Perda dan undang-undang perlindungan yang sudah ada hanya tampak di atas kertas, tanpa mekanisme pelaksanaan yang kuat dan berpihak.

Pemerintah perlu melakukan langkah korektif secara menyeluruh: mulai dari moratorium dan evaluasi terhadap izin-izin di Aru, pendirian SPBN yang merata di wilayah kepulauan, hingga penindakan tegas terhadap pelanggaran zona tangkap oleh kapal industri.

Peran Strategis Pemuda Adat

Dalam menghadapi situasi ini, pemuda adat yang telah mengenyam pendidikan tinggi memegang peranan strategis. Mereka bisa menjadi jembatan antara komunitas, dunia kebijakan, dan pengetahuan ilmiah. Ilmu yang diperoleh dari kampus bukan sekadar simbol status, tapi alat untuk membangun dan memperjuangkan masa depan kampung halaman.

Mereka adalah motor perubahan yang mampu memperkuat posisi tawar masyarakat adat di tengah arus kebijakan pembangunan yang sering kali eksklusif dan elitis.

Daftar Referensi

1. Mongabay Indonesia. (2021, 12 Juli). Perusahaan aktifkan lagi izin logging 54.560 hektar di Aru, masyarakat Wokam menolak. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2021/07/12/perusahaan-aktifkan-lagi-izin-logging-54-560-hektar-di-aru-masyarakat-wokam-menolak
2. AMAN & Lakoat Kujawas. (2024). Laporan Situasi Wilayah Adat dalam Skema Perdagangan Karbon di Indonesia Timur. Jakarta: Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.
3. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2021). Keputusan Menteri LHK No. 783/MENLHK/SETJEN/PLA.0/11/2021 tentang Peta Kawasan Hutan Provinsi Maluku. Jakarta: KLHK.
4. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (DJPSDKP). (2025, Januari). Data Penangkapan Kapal Ilegal di Laut Arafura. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan.
5. Republik Indonesia. (2016). Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 65. Jakarta: Sekretariat Negara.

error: Content is protected !!