titastory.id, Jakarta – Komunitas Intelijen Indonesia perlu mengkaji dan melahirkan suatu bentuk lingkaran intelijen (intelligence cycle) baru yang bisa mengakomodasi fungsi kontra intelijen dalam kerja-kerja intelijen. Mengingat, saat ini operasi intelijen tidak hanya dikerjakan oleh aktor negara namun juga dilakukan oleh aktor non negara seperti kelompok teroris dan dunia bisnis atau swasta.
Pengamat Intelijen Universitas Indonesia, Stanislaus Riyatanta mengatakan, saat ini literatur-literatur intelijen seperti teknik sabotase dan teknik intelijen lainnya sangat mudah ditemukan. Sehingga operasi intelijen bisa dilakukan oleh aktor non negara itu.
“Kelompok-kelompok teroris bekerja dengan senyap dan mereka melakukan aksi-aksi terror yang kemudian berhasil karena dia menggunakan cara-cara intelijen,” ujar Stanislaus Riyanta dalam Seminar Tantangan dan Kompleksitas Intelijen yang diselenggarakan Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Jumat, (13/12).
Menurut dia, jika komunitas intelijen hanya menanggapi operasi intelijen dari kelompok-kelompok teroris dengan aksi intelijen maka ada kemungkinan bahwa komunitas intelijen akan kalah karena adanya perbedaan taktik atau tactical gap.
“Teroris bekerja dengan cara-cara intelijen,kita harus bekerja dengan cara kontra intelijen,” jelas dia.
Selain, kelompok teroris, komunitas bisnis atau private sector juga menggunakan cara-cara intelijen dalam operasi mereka.
“Dalam kerangka kerja bisnis misalnya, lingkaran intelijen lebih kompleks dan lebih detail dari lingkaran intelijen (intelligence tradicional) tradisional, yaitu planning, collecting, pengolahan atau collation,analysis dan dissemination.” Dunia bisnis lebih taat dan lebih menyesuaikan dengan kebutuhan,” tambah dia.
Perkembangan ilmu intelijen di private sector yang pesat ini akan membuat komnunitas intelijen ketinggalan. Perusahaan -perusahaan saat ini sudah menyadari adanya ancaman dan mereka merasa perlu melakukan deteksi dini yang menggunakan cara-cara intelijen.
Karena itulah, komunitas intelijen negara perlu memikirkan ulang lingkaran intelijen tradisional. Dikhawatirkan hanya untuk deteksi dini, tetapi tidak untuk mencegah.
“Ini menjadi diskusi yang cukup serius, tapi saya setuju bahwa tentu perlu ada pembahasan lebih lanjut untuk melakukan bagaimana pembuatan Intelligence Cycle yang lebih baik, yang mungkin menjadi satu framework antara kumpulan informasi dalam arti deteksi, kemudian dengan cegahnya,” jelas dia.
Praktisi Intelijen Dr. Aloysius Mado mengatakan, dalam praktek di badan intelijen, kontra intelijen sudah menjadi bagian roda perputaran Intelijen atau perputaran penyelidikan yang didalamnya mencakup intelligence cycle tradisional.
Setelah menjalakan, pimpinan atau manager intelijen akan menilai apakah dibutuhkan operasi lanjutan seperti operasi penyelidikan, operasi kontra intelijen atau operasi penggalangan.
“Jika disetujui, maka sponsor atau pimpinan akan memerintahkan kepada manajer untuk membuat rencana operasi,” jelas dia.
Rencana operasi inilah yang kemudian dievaluasi oleh pimpinan badan intelijen terkait dengan tugas pokok, target atau sasaran, biaya dan lokasi operasi. Jika rencana operasi yang disampaikan oleh manajer operasi disetujui, maka rencana operasi itu kemudian berubah menjadi perintah operasi. Perintah operasi ini bisa dilakukan dalam berbagai bentuk seperti operasi penyelidikan, operasi kontra intelijen atau operasi penggalangan.
Sehingga, dalam prakteknya, operasi kontra intelijen, operasi penyelidikan dan operasi penggalangan tidak masuk menjadi bagian dari lingkaran intelijen.
Karena lingkaran intelijen merupakan kegiatan rutin, sedangkan ketiga operasi ini penyelidikan, kontra intelijen dan operasi penggalangan bersifat temporal dan tidak secara rutin dilakukan. Hanya sewaktu-waktu dikerjakan sesuai dengan kebutuhan pimpinan.
“Karena operasi kontra intelijen, operasi penyelidikan dan operasi penggalangan merupakan eksekusi setelah lingkaran intelijen dilakukan,” tegas dia.
Intelligence Cycle Tidak Linear
Siklus intelijen merupakan doktrin intelijen yang harus dilakukan sesuai tahapan tanpa mengabaikan satu tahapan sesuai dengan siklus yang tidak linear .
Wakil Kepala Detasemen Khusus 88,Mabes Polri Brigjen. Pol. I Made Astawa S.IK mengatakan dalam pengalamannya, ketika mendapatkan perintah mengumpulkan data melalui UUK ke pengumpul data atau collector, siklusnya selalu sama dengan siklus intelijen tradisional.
“Jadi ada planning, kemudian collecting, pengolahan atau collation,analysis dan dissemination. Ini adalah siklus intelijen yang lengkap. Sedangkan yang singkat ada input,process dan output. Sudah menjadi system,” ujar I Made Astawa.
Dalam prakteknya, siklus itu tidak berjalan secara linear. Menurut Astawa, ketika user atau konsumen intelijen mengeluarkan rencana dan perintah harus jelas agar itu tidak terjadi perbedaan pemahaman antara perencana dan pengumpul data.
Selain itu, pengumpul data juga tidak boleh melakukan analisis. Karena ada kemungkinan mereka memasukan persepsi subyektifnya ke dalam analisis yang akan menjadi bias dari yang diperintahkan oleh user atau konsumen intelijen.
Dalam tahapan selanjutnya, ada proses timbal balik antara collector dan analis intelijen. Jika data dianggap kurang oleh analis intelijen, kolektor kembali harus melakukan pengumpulan atau pencarian data.”Jadi tidak linear,” tegas dia.(TS-01)
Discussion about this post