TitaStory,Ambon – Kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana suatu daerah secara relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan pihak lain. Dengan otonomi tersebut suatu daerah diharapkan akan lebih bertanggung-jawab terhadap masa depannya sendiri.
Umumnya kemandirian adalah perilaku mampu berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain, hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri. Untuk dapat hidup mandiri suatu Daerah membutuhkan kesempatan, dukungan, dan dorongan dari semua elemen stackholder yang ada di wilayah itu agar dapat mencapai otonomi atas wilayahnya sendiri.
Kemandirian Maluku jangan dilihat sebagai BARANG TABU yang menakutkan kita dan atau BARANG HARAM yang tidak bisa kita sentuh sehingga kita takut membicarakan hal itu. Kemandirian Maluku harus diletakan secara proporsional, obyektif dalam konstruksi pembangunan Negara ini, apakah sudah layak atau tidak. Dalam pemahaman saya Kemandirian Maluku yang diharapkan adalah bagaimana NEGARA HADIR untuk memerdekakan kehidupan Rakyat Maluku berdasarkan konsep pemeratan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan. Saya menilai bahwa pola distribusi pembangunan dan hasil-hasilnya SANGAT TIMPANG di Maluku.
Disparitas pembangunan ini jika tidak direspons secara tepat dan benar akan menimbulkan resistensi politik, sosial dan ekonomi dalam jangka panjang. Dan jika kondisi ini dibiarkan dan terpelihara, maka suatu saat nanti jika Maluku berusaha untuk MANDIRI dan MEMERDEKAKAN kehidupannya sendiri adalah suatu hal yang wajar Saya juga pernah mengatakan hal yang sama dalam satu forum politik resmi di Jakarta tanggal 10 November 2018, bahwa Jakarta jangan mengentengkan Maluku, Jakarta jangan hanya lihat KEKAYAAN MALUKU tapi juga harus memperhatikan ORANG MALUKU dan Maluku sebagai suatu Provinsi yang telah berkontribusi banyak kepada Negara ini. Ibarat SEMUT, jika terus di injak maka suatu saat akan menggigit.
Dengan sistim dan tata nilai perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang baku saat ini maka Kemandirian Maluku tidak hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah di Maluku sendiri.
Karena itu pemerintah daerah di Maluku harus memiliki kesamaan persepsi dan sikap politik pembangunan untuk mendisain rencana pembangunan Maluku dalam skala makro yang rasional, obyektif, terukur sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat dan Daerah sehingga hal ini menjadi tools (instrumen) untuk membangun posisi tawar Maluku di level nasional. Jika tidak maka akan terjadi patahan atau keretakan sosial ekonomi besar yang menimbulkan goncangan sosial, ekonomi dan politik di Maluku.
Ketergantungan pembiayaan pembangunan Maluku kepada pemerintah pusat seperti dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH) adalah indikator KEGAGALAN pemerintah Kabupaten / Kota di Maluku selama ini untuk meningkatkan kemampuan fiskal daerah masing-masing. Ketergantungan fiskal yang paling parah justru terjadi di daerah Kabupaten / Kota di Maluku. Padahal Kabupaten / Kota itu lah titik berat Otonomi Daerah (OTDA) dan Desentralisasi Fiskal di letakan, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 33 2004. Ironisnya yang paling parah lagi Kabupaten / Kota di Maluku sudah besar ketergantungan kepada transfer pusat tidak di ikuti dengan tata kelola anggaran dan keuangan daerah yang benar (KORUPSI).
Sehingga sangat keliru bahkan salah besar jika ada pihak yang bersikap SINIS terhadap rendahnya fiskal daerah Maluku dan ini bukan salah siapapun tapi semata mata karena Stackholders Politik di Maluku selama ini tidak mampu berbuat banyak.
Ini fakta dan data pembangunan di Maluku khususnya di tingkat kabupaten / kota sehingga jangan kita hanya beropini dan mendiskreditkan pihak lain sementara kita sendiri banyak salahnya. Tahun Anggaran 2019, tingkat ketergantungan 11 kabupaten / Kota di Maluku terhadap transfer pusat rata-rata (average) sebesar 80,1% sedangkan PAD nya rata-rata hanya 12,8%.
Jika selama ini sejak OTDA diberlakukan kalau kita mau saja berusaha keras untuk meningkatkan Fiskal Daerah sudah pasti ketergantungan Maluku kepada transfer pusat akan semakin kecil. Pemda di Maluku selama ini masih bersifat konvensional dalam menggali sumber pembiayaan pembangunan dan tidak kreatif dan tidak innovatif dalam menciptakan sumber pembiayaan lain di luar APBN dan APBD.
Jadi sungguh keliru kalau ada pihak yang hanya bersuara lantang tentang rendahnya fiskal daerah, padahal mereka lupa bahwa selama dalam pemerintahan mereka selama ini berapa fiskal daerah yang sudah mampu mereka ciptakan..?
Karena itu jika ada komentar masyarakat yang berbicara dan menyuarakan KEMANDIRIAN MALUKU, seharusnya hal itu bukan suatu barang keramat yang tidak dapat disentuh. Bagi saya itu sah-sah saja untuk disuarakan. Tidak mungkin ADA ASAP jika TIDAK ADA API. hanya saja kita perlu mendudukkannya secara proporsional sesuai perkembangan kehidupan bernegara di Negeri ini. Sangat tidak etis kalau ada aspirasi atau suara sebagian saudara kita yang karena berbagai alasan mendeng8ungkan Kemandirian lalu kita bersikap sinis.
Bagi saya ini sikap mereka yang berlindung dibalik kegagalan dan ketidakberdayaan mereka selama ini dalam membangun negeri raja-raja khusunya dalam upaya menaikan kemampuan fiskal daerah masing-masing.
Penulis adalah : Dosen dan Konsultan Perencanaan dan Keuangan Daerah
Discussion about this post