Keluar dari Mulut Harimau, Masuk ke Mulut Buaya: Catatan Suram AJI soal Kebebasan Pers di 2024

30/01/2025
Siaran Pers AJI berkaitan dengan kebebasan pers di Indonesia. Foto : Ed

titastory, Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia kembali merilis catatan tahunan tentang kondisi pers di Indonesia. Tahun 2024 digambarkan sebagai periode kelam bagi kebebasan pers, dengan berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis, tekanan ekonomi yang memperburuk kesejahteraan pekerja media, hingga meningkatnya praktik swasensor di ruang redaksi.

Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida, dalam konferensi pers daring pada Senin, 30 Januari 2025, mengungkapkan bahwa situasi kebebasan pers di Indonesia masih jauh dari ideal. “Keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya” menjadi tajuk utama rilis AJI kali ini, mencerminkan transisi pemerintahan yang tak memberikan sinyal perbaikan terhadap kebebasan pers.

Siaran Pers AJI Indonesia terkait kondisi kebebasan pers di Indonesia. Siaran Pers secara Darin Foto : Ed

Kekerasan terhadap Jurnalis

AJI mencatat ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Meskipun angka ini lebih rendah dibanding 2023, kualitas kekerasannya justru lebih berat, termasuk satu kasus pembunuhan jurnalis.

“Penurunan jumlah kasus tidak berarti kondisi membaik. Satu saja kekerasan terhadap jurnalis itu sudah serius dalam konteks demokrasi,” kata Nany Afrida.

Dari 73 kasus tersebut, rinciannya adalah:

1. Pembunuhan: 1 kasus
2. Kekerasan fisik: 19 kasus
3. Teror dan intimidasi: 17 kasus
4. Pelarangan liputan: 8 kasus
5. Serangan digital: 10 kasus
6. Pemanggilan oleh polisi: 3 kasus
7. Kekerasan berbasis gender: 3 kasus
8. Tuntutan hukum: 2 kasus
9. Perusakan atau penghapusan data: 5 kasus
10. Swasensor: 1 kasus

Pelaku kekerasan terhadap jurnalis pun bervariasi. Polisi mencatatkan angka tertinggi dengan 19 kasus, diikuti oleh TNI (11 kasus), kelompok warga atau ormas (11 kasus), perusahaan (5 kasus), pejabat pemerintah (4 kasus), pejabat legislatif (2 kasus), pejabat pengadilan (10 kasus), rektorat atau kampus (1 kasus), serta pelaku tidak dikenal (10 kasus).

“Khusus serangan digital, mayoritas pelakunya tidak diketahui. Ini termasuk peretasan akun media sosial, email, hingga penghapusan berita,” tambah Afrida.

Ketua AJI Indonesia, Nany Afrida dalam keterangan pers secara daring, senin (30/1). Foto : Ed

Swasensor dan Intervensi Media: Ancaman bagi Independensi Pers

AJI juga menyoroti meningkatnya swasensor di ruang redaksi. Tekanan terhadap media datang dalam berbagai bentuk, mulai dari intervensi pejabat untuk mengubah judul atau isi berita, hingga penghapusan konten yang dianggap sensitif.

“Beberapa berita yang sudah tayang tiba-tiba menghilang atau mengalami perubahan signifikan. Ini bukan sekadar editorial biasa, melainkan tekanan dari pihak tertentu,” ungkap Afrida.

Salah satu contoh yang disorot adalah perubahan judul dan penghapusan berita tentang dugaan Presiden Joko Widodo sebagai tokoh terkorup nomor dua. “Banyak media yang awalnya memuat berita ini, tetapi kemudian mendadak hilang atau diubah isinya. Ini menunjukkan adanya intervensi,” kata Afrida.

Di tengah tekanan eksternal, kondisi internal media juga menjadi perhatian. AJI menyoroti maraknya pelanggaran kode etik jurnalistik, mulai dari kaburnya batas antara berita dan iklan, hingga media yang memaksa jurnalis mencari pemasukan melalui iklan.

AJI juga mencatat bahwa banyak media tidak sensitif terhadap isu kelompok marginal dan sering kali memberitakan kasus kekerasan seksual tanpa mempertimbangkan etika jurnalistik.

“Kita masih melihat pemberitaan yang tidak berpihak pada korban kekerasan seksual, bahkan justru semakin memperkeruh situasi korban,” kata Afrida.

Rekomendasi AJI: Perlindungan Hukum hingga Revisi UU

Untuk memperbaiki kondisi pers di Indonesia, AJI memberikan lima rekomendasi utama:
1. Membangun ekosistem jurnalisme berkualitas dengan mendukung independensi media dan profesionalisme jurnalis.
2. Menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis untuk mencegah impunitas.
3. Melindungi media alternatif dan independen dari tekanan politik dan bisnis.
4. Merevisi UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja agar lebih berpihak pada kesejahteraan jurnalis.
5. Mengawasi regulasi pers seperti RUU Penyiaran, RUU Kepolisian, dan UU Hak Cipta yang berpotensi membatasi kebebasan pers.

Di tengah tahun politik dan transisi pemerintahan, kebebasan pers di Indonesia menghadapi tantangan besar. AJI menegaskan bahwa kebebasan pers bukan hanya tanggung jawab jurnalis dan media, tetapi juga masyarakat dan pemerintah yang harus menjaga ruang demokrasi tetap terbuka.

Penulis: Edison Waas
Editor : Christ Belseran
error: Content is protected !!