TitaStory,Jakarta – Perairan Natuna kembali memanas, saat ini kedua Negara yang penduduk terbesar di dunia ini terseret pusaran konflik antar Negara.
Pasukan TNI kini tengah siaga tempur setelah China mengklaim kedaulatan di perairan Kepulauan Natuna. TNI mengerahkan armada tempur ke perairan tersebut, begitupun dengan China yang mengirimkan kapal perang untuk berjaga-jaga di sana.
Andai kata China dan Indonesia berperang, kira-kira mana yang akan menang dan mana yang paling kuat?
Namun tentunya kedua Negara saling mengklaim kedaulatan di perairan tersebut hingga telah menerjunkan kekuatan militer di perairan tersebut.
Hendrik Lewerissa, anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra asal Maluku berkomentar melalui akun media sosialnya facebook menolak Indonesia berperang melawan tiongkok di perairan Natuna dan memilih jalan diplomasi damai. Hal ini karena alutista Indonesia dianggap masih kalah jauh dibandingkan dengan Tiogkok.
Berikut ini adalah cuitan status Hendrik Lewerissa, Anggota DPR RI Fraksi Gerindra asal Maluku di halaman facebooknya :
“400 tahun sebelum Masehi ada seorang Sejarawan dan Penulis terkenal dari Yunani yang benama Thucydides. Dia mengatakan bahwa yang kuat akan mengambil apa yang mereka kehendaki dan yang lemah akan mengorbankan apa yang harus dikorbankan (the strong will take what they want and the weak will suffer what they must).
Tiongkok berani mengklaim Natuna sebagai bagian dari teritorinya karena merasa dia kuat. Opsi damai yang dapat dilakukan Indonesia adalah berunding atau menempuh jalur litigasi ke Makamah Internasional (International Court of Justice). Berunding lewat jalur diplomasi sementara dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena China adalah salah satu negara sahabat.
Jika langkah ini tidak berhasil maka opsi alternatifnya adalah memperkarakan masalah laut Natuna di Makamah Internasional. Indonesia pernah menempuh langkah ini ketika bersengketa dengan Malaysia soal klaim Pulau Sipadan dan Ligitan dan Indonesia kalah, Makamah Internasional memenangkan Malaysia.
Harap dipahami bahwa Hukum Internasional bagi orang orang yang mempelajarinya diibaratkan seperti harimau tanpa taring..hanya kekuatan politik besar di dunia yang bisa memaksakan pemberlakuannya. Tapi, jika negara negara adidaya itu mengabaikan berlakunya hukum internasional apalagi negara negara yang punya hak veto di PBB, orang Maluku bilang parcuma nyong gogos e..siapa yang mau lawan dong ? Lihat saja invasi USA di Irak dan Afganistan, China di Tibet, Rusia di Crimea (Ukrania) dimana Hukum Internasional itu. Hukum adalah kerangka tetapi kekuasaan dan politik adalah otot yang menggerakan kerangka.
Tiongkok telah menunjukan taringnya kepada USA dalam kasus konflik Laut China Selatan. Tiongkok tidak peduli dengan kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang dianut USA. Setiap kapal asing termasuk yang berbendera USA yang melintasi Laut China Selatan harus memberitahukan terlebih dahulu (prior notification) kepada otiritas kelaulatan Tiongkok sebelum melintas. Jadi USA saja dilawan apalagi negara di Asean ?
Kembali ke Natuna, kalau dua opsi damai di atas sudah ditempuh dan tetap tidak digubris oleh Tiongkok ..lalu ? Apakah Indonesia akan menyatakan perang ke China ? Indonesia terlalu lemah dari sisi militer. Beberapa kapal selam kita saja tidak dilengkapi dengan torpedo dan kemampuan menyelam kapal selam kita hanya 20 jam bandingkan dengan negara tetangga Singapura yang mampu bertahan di dalam air selama 45 hari.
Radar radar kita banyak yang tidak berfungsi..Terlalu lama Indonesia mengabaikan pengembangan kekuatan militer kita karena terlalu percaya bahwa ancaman terhadapa kedaulatan bangsa tidak berasal dari luar tapi dari dalam..lah kong Natuna tuh apa ? Dalam kondisi militer kita yang seperti ini maka sangat naif jika ada komponen bangsa yang berwacana untuk menyatakan perang ke Tiongkok. Harapan dan doa bukan bagian dari strategi jika kita harus menghadapi agresi pihak asing atas kedaulatan bangsa dan negara kita.
Berundinglah sebagai sesama negara sahabat sambil memodernisasi dan memperkuat TNI kita. Sementara itu, sudah harus ada pengalihan preferensi ekonomi Indonesia yang selama 15 tahun terakhir sangat dinikmati oleh Tiongkok ke negara negara super power lainnya”. Merdeka !
Atas komentar Hendrik Lewerissa, Anggota DPR RI dari fraksi Gerindra ini menyarankan agar pemerintah RI tidak bertindak emosional dan tetap mengambil jalan diplomasi dengan Tionkok yang merupakan negara sahabat di Asia.
Kekuatan Militer Indonesia dan China
Dilansir beberapa media online Internasional tentang perairan Natuna yang memanas dari kedua Negara yakni Indonesia dan China sehingga kedua Negara telah menyatakan siaga tempur di perairan kepulauan Natuna dan sekitarnya.
Sikap itu diambil tak lepas dari gelagat China yang mengklaim berdaulat di perairan tersebut sehingga kapal-kapalnya bebas berlayar.
Guna mendukung operasi siaga tempur, TNI mengirim 3 kapal, 1 pesawat intai maritim dan 1 pesawat Boeing. Merujuk dari laman globalfirepower.com, Indonesia memiliki armada laut yang lebih besar dari itu.
Globalfirepower.com mencatat kekuatan militer Indonesia berada di peringkat 16 dunia. Persis di bawah Pakistan dan di atas Israel.
Mengenai armada laut, total ada 221 kapal yang dimiliki Indonesia per 2019 lalu. Jumlah itu terdiri dari 8 kapal fregat, 24 kapal korvet, 5 kapal selam, 139 kapal patroli dan 11 pangkalan perang laut.
Indonesia, masih merujuk catatan globalfirepower.com, tidak memiliki kapal perusak dan kapal induk yang mampu mengangkut pesawat tempur.
Indonesia memiliki personel militer sekitar 800 ribu orang. Terdiri dari 400 ribu personel aktif dan 400 ribu personel cadangan. Namun demikian, ada 108 juta penduduk yang siap perang jika keadaan mengharuskan.
Memiliki 315 tank perang, 141 artileri otomatis, 356 artileri manual, 36 proyektor misil dan 1.300 kendaraan lapis baja.
Di udara, Indonesia memiliki 41 pesawat tempur, 192 helikopter, 8 helikopter perang, serta 65 pesawat pembom dan meriam antiudara. Jika ditotal, Indonesia bakal ditunjang oleh 451 armada untuk perang udara.
Operasi militer tentu membutuhkan logistik dan bahan bakar. Mengenai hal itu, Indonesia memiliki sumber daya minyak bumi 1,66 juta barel per hari. Cadangan minyak bumi mencapai 3,23 miliar barel.
Indonesia memiliki 14 pelabuhan utama dan 673 bandara. Semua itu bisa dipakai untuk kepentingan operasi militer jika diperlukan.
Kekuatan Militer China
Berdasarkan globalfirepower.com, kekuatan militer China secara keseluruhan berada di peringkat 3 dunia. Di bawah Amerika Serikat dan Rusia, di atas India dan Prancis.
Armada laut China terdiri dari 714 kapal. Terdiri dari 1 kapal induk, 52 fregat, 33 kapal perusak, 41 korvet, 76 kapal selam serta 192 kapal patroli. Ada 33 pangkalan laut yang digunakan.
Jika perang di darat, China ditunjang 13 ribu tank, 40 kendaraan lapis baja, 2 ribu roket proyektor, 4 ribu artileri otomatis, dan 6.246 artileri manual.
Kekuatan udara China terdiri dari 1.222 pesawat tempur, 281 helikopter perang, seribu helikopter, dan 1.564 pesawat pembom serta meriam antiudara. Ditambah pesawat transportasi 193 buah.
China memiliki 2,6 juta personel militer yang terdiri dari 2,1 juta aktif dan 510 ribu personel cadangan. Sebanyak 621 juta penduduknya siap perang jika kondisi mengharuskan.
Mengenai logistik dan bahan bakar, China memiliki sumber daya minyak bumi sebanyak 10 juta barel per hari. Cadangan minyak bumi mencapai 25 miliar barel. China memiliki 16 pelabuhan utama dan 507 bandara yang siap digunakan dalam kondisi perang.
Peta kekuatan militer Indonesia dan China bisa saja lebih dari yang dipublikasikan globalfirepower.com. Walau bagaimana pun, kekuatan militer untuk menjaga pertahanan dan kedaulatan merupakan rahasia masing-masing negara.
Klaim China atas perairan Natuna
Klaim China bahwa perairan Natuna merupakan wilayah mereka menggunakan pembenaran dari peta Sembilan Garis Putus (Nine Dash Line). Menurut peta tersebut, China menguasai 90% atau hampir seluruh wilayah perairan Natuna.
Sebenarnya konflik soal Natuna antara Indonesia dengan China tidak baru-baru ini saja terjadi. Pada 2016, kapal penangkap ikan asal China ditembak dan ditangkap TNI AL karena memasuki wilayah kedaulatan NKRI.
Saat itu Beijing membuat nota protes atas sikap penembakan dan penangkapan RI atas nelayan China yang mengklaim sudah mencari ikan sejak lama di daerah tersebut. Namun Indonesia bersikukuh bahwa tindakan yang diambil sudah sesuai dengan prosedur yang benar karena China telah memasuki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) RI.
Tidak dapat dipungkiri, perairan Natuna terletak di lokasi yang strategis menghubungkan 10 negara yaitu, China, Taiwan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei dan Filipina.
Tidak hanya lokasinya yang strategis, Laut China Selatan juga memiliki kekayaan alam yang luar biasa mulai dari migas hingga hasil perikanan. Menurut kajian dari berbagai sumber EIA, WWF, UNEP, CFR, Laut China Selatan memiliki potensi cadangan minyak hingga 11 miliar barel, gas alam mencapai 190 triliun kaki kubik dan menyumbang hampir 10% kebutuhan ikan global.
Laut Natuna juga menyimpan kekayaan perikanan yang berlimpah yaitu ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), demersal (334,8 ribu ton/tahun), pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan karang (21,7 ribu ton/tahun), udang (11,9 ribu ton/tahun), cumi-cumi (2,7 ribu ton/tahun), hingga lobster (500 ton/tahun).
Apabila konflik di Natuna terus berlarut-larut, maka bukan konfrontasi fisik tak terjadi. Jika (amit-amit) konfrontasi fisik antara Indonesia dan China tak terelakkan siapakah yang lebih unggul? China atau Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu ada dimensi ukuran kekuatan yang jelas, dalam hal ini tentu kekuatan militer.
Discussion about this post