Kapitang Pattimura di Antara Tokoh Maluku Masa Kini: Refleksi 208 Tahun

15/05/2025
Penulis Sukma Patty, Kordinator Suara Muda Maluku. Foto: Ist
Oleh: Sukma Patty, SH

titastory, Ambon – Kegagahan Rakyat Maluku digambarkan dalam Tokoh Pahlawan Nasional asal Maluku Kapitang Pattimura, setiap tanggal 15 Mei secara resmi masyarakat Maluku akan memperingati dan kembali merefleksikan sosok yang lahir sekitar 208 tahun lalu ini. Sosok Karismatik nan perkasa yang menjadi cikal bakal simbol ketangguhan laki-laki Maluku, meskipun di masa kini bagi penulis Pattimura lebih mencitrakan seluruh generasi Maluku, entah pria maupun perempuan pastinya sosok yang “mengantinya” adalah anak cucu terpilih.

Membahas Kapitang Pattimura tak akan lepas dengan beragam perdebatan akan sosoknya, perbedaan pendapat ini timbul dari penelusuran jejak-jejak sejarah tertulis peninggalan kolonial ditambah sejarah lisan masyarakat. Namun yang pasti dalam perdebatan itu kita dapat menarik kesimpulan objektif bahwa Pattimura digambarkan dengan citra, karakter yang luhur, baik serta ideal terlepas dari penuturan maupun penafsiran sejarah yang beraneka ragam.

Banyaknya sejarah dan sudut pandang akan Pattimura lantas tak harus membuat kita tenggelam dengan subjektifitas, oleh sebab menulis sejarah bijaksananya bukan dikurangi melainkan dilengkapi sehingga banyaknya pencatatan dan pembuktiah secara ilmiah menjadi sebuah kekuatan. Perlu diingatkan kembali yang mengengam sejarah adalah mereka yang konsisten menuturkan, menuliskan dan merayakan.

Bagi penulis ada yang jauh lebih penting dari pada memperdebatkan mengapa, siapa, dan darimana sosok Kapitang Pattimura. Lantas bukan berarti ini menandakan apatis terhadap sejarah, dengan sadar penulis telah membaca beberapa buku yang berbeda untuk mengenal sosok Kapitang Pattimura dan seluruh tulisan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh mereka yang menulisnya. Bahkan sejarah lisan pun penulis dengarkan dari satu penutur ke penutur lainnya, dan selalu akan ada yang unik lagi nyentrik dari sejarah lisan bil lisan.

Jauh lebih penting menanyakan apakah generasi dan bangsa Maluku hari ini mewarisi karakter Kapitang Pattimura, sifat, kepribadian dan wataknya. Jika mewarisi lebih dimaknai hasil turunan genetika maka sederhananya apakah kita sudah cukup mencontohinya, sekalipun ada banyak contoh pahlawan-pahlawan hebat di luar sana namun pengambaran Maluku patutlah dicirikan dengan sang pembaharu pertama di Maluku.

Kapitang Pattimura dalam banyak penilaian selalu di contohkan sebagai tokoh pembebasan serta pemersatu Maluku, jejak histori ini bermula pada awal kelahiran Indonesia pada 1949 ada upaya untuk mempersatukan Indonesia dengan mencari tokoh pahlawan nasional bukan Jawa, ini bertujuan untuk mengikat multietnik dalam satu kesatuan Indonesia.

Monumen Tugu Kapitang Pattimura di Lapangan Segitiga Ambon. Foto: Ist

Salah satu sifat-sifat kejiwaan nan luhur dari Kapitang Pattimura adalah sosoknya begitu filosofis, prinsip nilai dan cara hidupnya menggambarkan Maluku yang autentik. Sederhana seperti beberapa petuahnya yang sarat makna, melokal dan visioner.

Petuah yang ikonik dari Kapitang Pattimura adalah “Beta mau bilang dong samua; Beta adalah beringin besar dan setiap beringin besar akan tumbang tapi beringin besar akan mengantinnya, Beta mau bilang dong samua; Beta adalah batu besar dan batu besar akan terguling tapi setiap batu besar akan menggantinya”

Kutipan di atas manifestasi dari beberapa unsur dan simbol khas Maluku, pohon beringin besar; Nunusaku (Nunu : pohon, Saku : beringin), batu besar mengambarkan simbol adat khas Maluku yang ditemukan pada batu pamali, batu teung serta juga menjadi patok batas kekuasaan, tak lupa kata “menggantinya” adalah perwujudan dari optimistik dan futuristik.

Kutipan dan petuahnya sarat akan makna mendalam, layaknya mengambarkan Maluku. Hal ini menunjukkan bahwasannya apa yang dikatakan seseorang menjelaskan tentang dirinya, pola & gaya hidup, karakternya, bahkan perjuangan hidupnya.

Penulis Sukma Patty, Kordinator Suara Muda Maluku. Foto: Ist

Tak ada bahasa atau statement politis yang ada hanya sarat filosofis, hal ini yang jarang ditemukan pada sekian banyak sosok masa kini di Maluku. Jarang kita mendapati seorang tokoh publik yang menggambarkan semangat dalam bahasa pemersatu yang filosofis khas Maluku, biasanya hanya statement dilematis apalagi menyangkut hak hidup orang banyak.

Tokoh publik dan representasi kita di beberapa leading sektor Maluku khusunya pemangku kebijakan, “mungkin saja” tidak mewarisi karakter Pattimura, karena bagi mereka perjuangan Pattimura berbeda jauh dengan mereka saat ini. Padahal perjuangan untuk mengangkat derajat Maluku masih banyak PR; masih menjadi Provinsi termiskin dengan angka pengangguran terbuka yang tinggi, lebih buruknya lagi pembangunan daerah masih banyak tertinggal akibat penyalahgunaan anggaran adalah sekian fakta.

Potret Kondisi Masyarakat Adat Maluku di Hari Pattimura yang berjuang menolak segala bentuk penjajahan gaya baru—ekspansi perusahaan tambang, kriminalisasi masyarakat adat, pengabaian hak-hak ulayat, hingga perampasan ruang hidup. Foto: titastory

Perjuangan masa kini tentunya berbeda dengan perjuangan era kolonial, tapi bara api Pattimura harus diletakkan dalam tiap hati untuk melahirkan pribadi luhur yang autentik. Jika dahulu musuh terlihat nyata mungkin kini kasat mata, tapi ketika ada ketidakberpihakan pada kepentingan rakyat maka dengan mudah rakyat berhak menentukan musuhnya.  Kebijakan yang tidak pro rakyat, perilaku dan etika amoral, arogansi dan tabiat korupsi adalah sekian banyak contoh musuh nyata masa kini.

Sosok Kapitang Pattimura di antara tokoh Maluku masa kini memang terlalu ideal untuk dibandingkan, tapi yang ingin disuguhkan adalah sebuah patokan atau barometer. Mengingatkan kembali akan jauh lebih berkesan jika berasal dari satu sejarah yang pasti, dengan demikian setiap mereka yang memaknai dan memperjuangkan Maluku adalah Beringin besar dan Batu yang Besar.

  Penulis adalah Kordinator Suara Muda Maluku
error: Content is protected !!