titastory, Lembata -Andreas Baha Ledjap menghela napas panjang. Di belakang rumahnya yang menghadap ke lereng hijau Atakore, hembusan angin membawa aroma tanah basah dan ranting pinus yang gugur. Hening yang menyelimuti kampungnya itu tengah diganggu oleh sesuatu yang menurutnya jauh lebih besar dari sekadar proyek pemerintah: ancaman terhadap hidup mereka sendiri.
“Ini bukan soal ganti rugi lahan,” kata Andreas. “Ini soal nyawa, tanah warisan, dan kehidupan generasi setelah kami.”
Andreas adalah koordinator warga Desa Atakore, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, yang kini berdiri paling depan dalam penolakan terhadap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Flores–Lembata. Proyek itu, menurutnya, datang tanpa memberi ruang dialog yang sejajar bagi masyarakat setempat. Lebih dari itu, ia mencemaskan dampaknya terhadap hutan, sumber air, dan hak adat yang selama ini diwariskan secara turun-temurun.

Forum yang Sepihak
Pada Rabu, 21 Mei 2025, Tim Satuan Tugas Penyelesaian Masalah PLTP Flores–Lembata mengadakan pertemuan di desa mereka. Forum yang disebut-sebut sebagai ruang mendengar aspirasi warga justru berlangsung tanpa ruang untuk menyampaikan suara kritis. Warga yang hendak membacakan pernyataan sikap dicegah, lalu diarahkan untuk mendengar presentasi teknis dari tim investigasi.
“Kami dianggap tidak tahu apa-apa.
Diberi penjelasan soal teknis geothermal, padahal yang kami pertaruhkan adalah air bersih, tanah adat, dan hutan yang selama ini menjadi tempat hidup,” tutur Andreas.
Ia dan rekan-rekannya akhirnya meninggalkan forum. Menurut mereka, tak ada gunanya hadir dalam pertemuan yang sudah dikendalikan oleh satu arah narasi.
“Kami menolak menjadi pendengar pasif dalam pembicaraan tentang kampung kami sendiri,” tegasnya.
Ancaman Nyata: Air, Tanah, dan Martabat
Wilayah Atakore adalah kawasan perbukitan yang menyimpan ekosistem rentan. Warga selama ini hidup dari hasil bumi, air dari sumur dan mata air kecil, serta hutan yang mereka jaga dengan ritual dan kearifan adat. Dalam rencana proyek geothermal, sebagian wilayah itu akan dieksplorasi untuk pengeboran panas bumi.
Warga khawatir pengeboran bisa mengeringkan atau mencemari sumber air bersih yang selama ini menjadi satu-satunya pasokan air. Mereka juga khawatir terhadap risiko longsor dan pergeseran tanah, sebab wilayah mereka berada di zona labil secara geologis.
“Sekali rusak, kami tidak punya tempat lain,” kata seorang ibu bernama Maria Lako, yang ikut keluar dari forum bersama Andreas.
Selain itu, kawasan yang akan menjadi lokasi proyek merupakan tanah ulayat yang dianggap sakral oleh masyarakat Atakore. Di sana, ada batu adat, tempat ritual turun temurun, serta kawasan hutan larangan yang hanya bisa dimasuki dalam musim-musim tertentu.
Tekanan Halus yang Melukai
Warga juga mengeluhkan cara pemerintah menjangkau masyarakat. Menurut Andreas, pendekatan selama ini hanya menyasar segelintir pemilik lahan atau tokoh ulayat yang bersedia bekerja sama. Sementara masyarakat luas yang terdampak langsung, termasuk perempuan dan pemuda, justru tidak pernah diajak bicara.
“Ini bukan partisipasi yang bermakna. Ini manipulasi atas nama pembangunan,” kata Andreas.
Beberapa warga mengaku mulai merasakan tekanan. Kehadiran tim teknis, aparat pemerintah, hingga spanduk sosialisasi yang muncul tiba-tiba dianggap sebagai bentuk intimidasi halus terhadap warga yang belum memberikan persetujuan.
“Mereka tidak bicara langsung soal intimidasi, tapi kehadiran mereka membuat orang jadi tidak bebas menyuarakan penolakan,” ungkap Yulius Benu, pemuda desa yang aktif mendampingi warga.
Penolakan yang Tak Bisa Ditawar
Dari hasil diskusi warga, muncul empat tuntutan utama yang mereka sebut “tidak bisa ditawar”:
1. Hentikan seluruh aktivitas dan rencana pengembangan geothermal di Desa Atakore dan wilayah sekitarnya.
2. Hentikan segala bentuk pemaksaan, baik secara langsung maupun terselubung.
3. Hormati hak bicara dan partisipasi seluruh warga sebagai bagian dari proses demokrasi.
4. Lindungi tanah adat, sumber air, hutan, dan seluruh ekosistem hidup yang menjadi sumber kehidupan masyarakat Atakore.
Dalam pernyataan sikap yang mereka kirimkan ke berbagai pihak, warga Atakore menyebutkan bahwa perjuangan mereka bukan karena anti-pembangunan, tetapi menolak pembangunan yang tidak adil dan mengancam ruang hidup.
“Kami keluar dari forum, tapi tidak keluar dari perjuangan,” kata Andreas dengan nada tegas. “Kami bukan objek pembangunan—kami penjaga tanah ini.”
Suara dari Tanah yang Dijaga
Penolakan warga Atakore mencerminkan dilema yang sering terjadi dalam proyek energi berskala besar: ketegangan antara ambisi negara mengejar transisi energi dengan hak masyarakat lokal atas tanah dan kehidupan mereka.
Di tengah gencarnya promosi energi hijau, proyek geothermal yang digadang-gadang sebagai energi ramah lingkungan justru dinilai membawa ancaman ekologis dan sosial. Tanpa perlindungan hak-hak masyarakat adat dan pelibatan yang sungguh-sungguh, transisi energi bisa menjadi wajah baru dari ketimpangan dan perampasan ruang hidup.
“Kalau pemerintah tak mendengar, suara kami akan lebih nyaring,” pungkas Andreas. “Dari kampung, dari hutan, dari setiap mata air yang kini kami jaga lebih erat dari sebelumnya.”
Penulis: Edison Waas Editor : Christ Belseran