titastory, Ambon – Aliansi Baku Jaga Tanah menuding Pemerintah Provinsi Maluku lebih mementingkan kepentingan korporasi ketimbang rakyatnya sendiri. Tuduhan itu menguat setelah janji pertemuan dengan Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, tak kunjung dipenuhi.
Kekecewaan itu diekspresikan dalam aksi seruan konsolidasi, penggalangan dana, serta penyalaan seribu lilin solidaritas untuk korban pelanggaran HAM yang digelar di Bundaran dr Yohanes Leimena, Desa Poka, Kecamatan Teluk Ambon, Selasa, 2 September 2025. Puluhan mahasiswa hadir, menggelar perenungan dan doa bersama.
“Kami terpanggil untuk menyuarakan ketimpangan dan pelanggaran HAM di Maluku, ketika hak-hak adat dilecehkan, tanah, hutan, dan air diporak-porandakan oleh kepentingan elite yang hanya mengejar kekayaan,” kata Yolis Atika Putri, salah satu peserta aksi.

Janji Gubernur yang Gagal Dipenuhi
Reza Wailisa, perwakilan masyarakat adat Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah, menyatakan kekecewaannya. Menurut dia, undangan untuk bertemu gubernur baru disampaikan pagi hari jelang pertemuan, dengan lokasi yang tiba-tiba dipindahkan.
“Seharusnya undangan diberikan sehari sebelumnya. Ini menunjukkan pemerintah daerah tidak tulus,” ujar Reza.
Ia menegaskan, tuntutan masyarakat jelas: cabut izin tambang pasir garnet PT Warga Gonda Mineral Pratama (WMP) di Negeri Haya serta tambang batu kapur PT Batulicin Beton Asphalt di Kepulauan Kei. Aktivitas dua perusahaan itu dinilai merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat adat.

Sasi Dilanggar, Masyarakat Dihina
Reza menambahkan, PT Wargagonda wajib angkat kaki dari Negeri Haya. Perusahaan itu dianggap menghina masyarakat adat karena merusak tanda sasi—aturan adat yang mengatur pelestarian lingkungan.
“Sasi adalah cara kami menjaga tanah dan laut. Jika dirusak, itu sama saja menginjak harga diri kami. Kini dua pemuda kami bahkan didakwa di pengadilan karena membela hak adat,” tegasnya.
Solidaritas dan Tuduhan Sabotase
Koordinator lapangan aksi, Hardi Hilman Rahantan, menyebut aksi ini juga menjadi ajang penggalangan dana untuk perjuangan selanjutnya. Ia menduga ada sabotase dari pejabat daerah untuk melindungi operasi perusahaan tambang.
“Ada pengabaian hak-hak teknis yang dilakukan pejabat daerah. Kami merasa ditipu,” katanya.
Menurut Hilman, ritual seribu lilin yang mereka gelar juga ditujukan sebagai bentuk solidaritas terhadap eskalasi politik nasional, di mana negara diduga telah melakukan pelanggaran HAM dalam penanganan demonstrasi.
“Ada yang mati, ada pula yang dianiaya karena tindakan berlebihan aparat. Maluku bersuara untuk mereka,” ujarnya.
Penulis : Christin Pesiwarissa