Aceh, — Juru Bicara Aneuk Syuhada, Ibrahim Abdullah, menilai pemerintah pusat di Jakarta merespons keresahan rakyat Aceh dengan pendekatan keamanan yang berlebihan, alih-alih mengedepankan penanganan kemanusiaan dan dialog sipil. Penilaian itu muncul menyusul tindakan aparat terhadap pengibaran bendera putih dan bendera Bulan Bintang di sejumlah wilayah Aceh.
Menurut Ibrahim, bendera putih yang dikibarkan warga merupakan simbol darurat kemanusiaan akibat banjir dan krisis sosial yang melanda sejumlah daerah di Aceh. Sementara itu, bendera Bulan Bintang disebut sebagai simbol identitas Aceh yang diatur dalam qanun daerah. Namun, kedua simbol tersebut justru direspons dengan tindakan penurunan paksa oleh aparat keamanan.
“Bendera putih sebagai tanda darurat kemanusiaan diturunkan dengan kekerasan fisik. Bendera Bulan Bintang juga dicopot dan digantikan dengan Merah Putih. Ini menunjukkan Jakarta menghadapi rakyat Aceh dengan pendekatan militer, bukan pendekatan kemanusiaan,” ujar Ibrahim dalam pernyataan yang disebarkan melalui media sosial, dikutip dari akun @Informasi-GAM.
Ia menyebut tindakan tersebut sebagai sinyal bahwa negara memandang ekspresi warga Aceh—baik yang bersifat kemanusiaan maupun identitas budaya—sebagai ancaman keamanan. Padahal, menurutnya, situasi yang dihadapi warga adalah krisis bencana dan kekecewaan terhadap lambannya respons negara.
Ibrahim menilai penurunan simbol-simbol itu secara represif berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia, terutama hak atas kebebasan berekspresi dan hak masyarakat adat untuk mengekspresikan identitasnya secara damai. Ia juga memperingatkan bahwa pendekatan semacam ini berisiko memperdalam ketidakpercayaan publik Aceh terhadap pemerintah pusat.
“Ini bukan cara negara hadir sebagai pelindung warga. Yang terjadi justru seolah rakyat Aceh diposisikan sebagai pihak yang harus ditundukkan,” katanya.
Aneuk Syuhada mendesak pemerintah pusat menghentikan tindakan represif terhadap warga sipil, menghormati simbol-simbol kemanusiaan dan identitas Aceh, serta membuka ruang dialog yang adil dan bermartabat. Menurut Ibrahim, pendekatan dialogis jauh lebih relevan untuk menjaga perdamaian Aceh pasca-MoU Helsinki dibandingkan penggunaan kekuatan aparat.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah pusat maupun aparat keamanan terkait tudingan pendekatan militeristik tersebut.
Sumber:akun @Informasi-GAM
