titaStory.id, ambon – Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Ambon Bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP), menggelar aksi unjuk rasa untuk memperingati 61 Tahun New York Agreement yang dianggap ilegal dan merugikan masyarakat di Tanah Papua, selasa (15/08/2023).
Titik kumpul para mahasiswa diawali di Kampus Universitas Pattimura, sekira pukul 08:30 Wit. Para mahasiswa asal Papua ini kemudian melakukan aksinya dengan melakukan longmars ke Bundaran Patung Yohanis Leimena Desa Poka. Satu jam melakukan orasi dan menyampaikan pendapat berdasarkan 11-point tuntutan, massa pun melanjutkan aksi di perempatan Jembatan Merah Putih Desa Poka selama 1 jam. Massa pun membubarkan diri dengan damai dan kembali ke kampus untuk melakukan evaluasi.
Rilis yang diterima media ini, aksi yang dilakukan adalah untuk menyuarakan persoalan yang hingga kini masih menjerat kebebasan masyarakat di Tanah Papua.
Koordinator Aksi, Kris Mote, mengatakan hak atas dasar perjuangan Rakyat Papua Barat dan penentuan nasib sendiri adalah bagian dari kemenangan rakyat Papua Barat. Tanggal 1 Desember 1961, Papua Barat adalah kebangsaan secara konstitusional yang dimenangkan oleh rakyat Papua Barat sendiri. Namun, pada 19 Desember 1961, lahirlah Tri Komando Rakyat (TRIKORA) dengan tuntutan untuk mengklaim hak kemenangan kebangsaan Papua Barat dan lahirnya perjanjian-perjanjian yang di atur sepihak mengenai status Papua Barat. Perjanjian tersebut dilakukan oleh Belanda, Amerika Serikat, dan Indonesia serta PBB tanpa keterlibatan rakyat Papua Barat sendiri.
“Salah satu perjanjiannya adalah, penandatanganan Perjanjian New York (New York Agreement) antara Belanda, Indonesia, dan Amerika Serikat sebagai penengah terkait sengketa wilayah West New Guinea (Papua Barat) pada tanggal 15 Agustus 1962, yang dilakukan tanpa keterlibatan satu pun wakil dari rakyat Papua Barat,” jelasnya tertulis.
Lanjutnya, padahal perjanjian itu berkaitan dengan keberlangsungan hidup rakyat Papua Barat sebagai bangsa yang telah merdeka.
Disampaikan, perjanjian ini mengatur masa depan wilayah Papua Barat yang terdiri dari 29 Pasal yang mengatur 3 macam hal, dimana pasal 14-21 mengatur tentang Penentuan Nasib Sendiri (Self Determination) yang didasarkan pada praktik hukum Internasional, yaitu satu orang satu suara (One Man One Vote). Pasal 12 dan 13 mengatur transfer administrasi dari Badan Pemerintahan Sementara PBB (UNTEA) kepada Indonesia. Setelah transfer administrasi atau aneksasi yang dilakukan pada 1 Mei 1963 atas Papua Barat, Indonesia mendapat tanggung jawab untuk mempersiapkan pelaksanaan penentuan nasib sendiri dan pembangunan di Papua selama 25 tahun.
Namun ternyata, Indonesia tidak menjalankan kesepakatan sesuai dalam Perjanjian New York. Indonesia malah melakukan pengkondisian wilayah melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan kemerdekaan rakyat Papua Barat.
Dengan itu, sebelum proses penentuan nasib dilakukan pada tahun 1969 PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat), tepat 7 April 1967, Freeport, perusahaan pertambangan milik negara imperialis Amerika Serikat telah menandatangani Kontrak Karya Pertamanya dengan pemerintah Indonesia secara ilegal.
Klaim atas wilayah Papua Barat sudah dilakukan oleh kolonial Indonesia dengan kontrak pertama Freeport dua tahun sebelum PEPERA. Sehingga dari 809.337 rakyat Papua Barat yang memiliki hak suara, hanya 1025 orang yang sebelumnya sudah dikarantina dan cuma 175 orang yang memberikan pendapat. Secara sistematis, Kolonial Indonesia melakukan dua musyawarah yang tidak memiliki ketentuan hukum Internasional, yang mana harus satu orang satu suara” (One Man One Vote), yang telah diatur juga dalam New York Agreement secara hukum Internasional.
Musyawarah untuk Mufakat melegitimasi Indonesia untuk melaksanakan PEPERA yang tidak demokratis, penuh teror, intimidasi dan manipulasi serta adanya pelanggaran HAM berat selama PEPERA berlangsung adalah bentuk tidak demokratisnya Indonesia.
Sehingga, hasil manipulasi kolonial Indonesia atas Papua Barat sudah diatur dalam Resolusi PBB No. 2504 (XXIV) pada November 1969, dengan alasan kolonial Indonesia telah merebut dan merekayasa hasil PEPERA yang tidak demokratis dalam resolusi yang ilegal. 61 tahun telah berlalu sejak penandatanganan New York Agreement. Situasi hari ini semakin parah dengan berbagai macam regulasi yang pro borjuis dan kapitalis yang disahkan dalam beberapa tahun terakhir.
Omnibus law, Minerba, ITE, KUHP, & Otsus Jilid II serta DOB yang semakin mencekik kehidupan masyarakat Indonesia secara umum dan rakyat Papua secara khusus. Implementasi dari berbagai macam regulasi ini maka pembungkaman ruang demokrasi semakin massif terjadi, kriminalisasi dan penangkapan terhadap masyarakat maupun aktivis dan pembela HAM, Eksploitasi sumber daya alam secara masif dan berkelanjutan tanpa memperdulikan nasib masa depan masyarakat, pengiriman dan operasi militer yang terus dilakukan ke Papua guna mengamankan segala kepentingan Negara kolonial Indonesia dan tuannya kapitalis.
Keadaan dari manipulasi sejarah gerakan Rakyat Papua Barat dan Masifnya penjajahan oleh Kolonial Indonesia masih terus berlangsung dan semakin kritis hingga hari ini, dengan rakyat Papua sebagai korbannya. Hanya dengan Menentuan Nasib Sendiri rakyat bangsa Papua barat dapat terlepas dari segala belenggu penindasan.
Untuk itu, dalam rangka peringatan 61Tahun New York Agreement yang Ilegal, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Ambon bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP) menyatakan sikap dan mengeluarkan sebelas tuntutan mereka kepada Rezim Jokowi-Maaruf, Belanda, Amerika Serikat serta PBB. Berikut sebelas point tuntutan mereka:
(1) Memberikan Kebebasan dan Hak Menentukan Nasib Sendiri sebagai Solusi Demokratis bagi Rakyat West Papua. (2) Mengakui bahwa New York Agreement 15 Agustus 1962 merupakan kesepakatan yang tidak sah secara yuridis maupun moral tanpa keterlibatan wakil satu pun Rakyat Papua Barat. (3) Tarik Militer (TNI-Polri) Organik dan non – Organik dari Seluruh Tanah Papua Barat. (4) Tutup Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFEE, dan seluruh perusahaan asing lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat. (5) PBB harus bertanggung jawab serta terlibat aktif secara adil dan demokratis dalam proses penentuan nasib sendiri, pelurusan sejarah, dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa West Papua. (6) Buka Ruang Demokrasi seluas-luasnya dan berikan Kebebasan bagi Jurnalis Nasional, Internasional meliput dan mengakses informasi di Papua Barat. (7) Cabut dan Tolak Otsus Jilid II, DOB, Omnibuslaw, KUHP, ITE, Minerba, dan seluruh regulasi produk Kolonial Indonesia di west Papua. (8) Tolak tambang di Maluku. (9) Sahkan RUU Masyarakat Adat. (10). PT Geotermal segera hentikan proses eksplorasi di Desa Wapsalit. (11) Solidaritas kepada setiap perjuangan rakyat. (TS-02)
Discussion about this post