titastory.id, ambon – Aktivitas pertambangan tembaga di Pulau Wetar, Maluku Barat Daya, kembali menjadi sorotan. Tidak hanya memunculkan dugaan pencemaran lingkungan, pengiriman material tambang yang diklaim sebagai limbah ke Morowali, Sulawesi Tengah, menciptakan pertanyaan besar: apakah yang dikirim benar-benar limbah, atau material berharga yang disamarkan?
Warga Desa Lurang, yang tinggal di sekitar lokasi tambang PT Batutua Kharisma Permai (BKP) dan PT Batutua Tembaga Raya (BTR), melaporkan perubahan mencolok pada perairan mereka. Air laut yang sebelumnya jernih berubah menjadi merah kecoklatan, disertai matinya sejumlah ikan. Video yang beredar di media sosial memperlihatkan nelayan lokal mengumpulkan ikan mati di sepanjang pantai.
“Dulu kami mencari ikan di sini. Sekarang kami takut, ikan-ikan itu mungkin tercemar,” ungkap salah seorang nelayan.
Dugaan awal menunjukkan kebocoran limbah dari aktivitas tambang di Desa Lurang menjadi penyebab utama. Limbah ini diduga masuk dari aliran sungai ke laut, mengubah ekosistem pesisir yang selama ini menjadi andalan masyarakat setempat.
Limbah atau Material Tembaga?
Wakil Ketua Komisi II DPRD Maluku, Suanthie John Laipeny, yang turun langsung ke lokasi tambang pada 14 November 2024 lalu, menemukan fakta menarik. Dalam dua bulan terakhir, sudah 28 kali pengiriman material menggunakan kapal tongkang menuju Morowali.
“Kalau memang itu limbah, mengapa terus dikirim ke Morowali? Ini pasti material untuk diolah lagi,” ucap Laipeny.
Ia menambahkan, transparansi terkait aktivitas pengolahan dan pengiriman material tambang harus segera dilakukan. “Kalau sudah berkali-kali keluar dari Maluku, apa yang kita dapatkan untuk daerah?” tegasnya.
Jejak Perusahaan dan Kepentingan Oligarki
PT BKP dan PT BTR merupakan bagian dari PT Merdeka Copper Gold Tbk, sebuah korporasi besar yang juga terkait dengan jaringan bisnis elite nasional. Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), PT Merdeka Copper Gold memiliki banyak anak perusahaan yang tersebar di sektor tambang dan energi, termasuk di Wetar.
Nama-nama besar, seperti Sandiaga Uno, melalui PT Saratoga Investama Sedaya, disebut memiliki saham signifikan di PT Merdeka Copper Gold. Gurita bisnis ini memperlihatkan keterkaitan antara kepemilikan tambang dan kepentingan politik, yang semakin memperumit isu pertanggungjawaban lingkungan di Wetar.
Gurita bisnis Sandiaga Uno juga terdapat di PT Merdeka Copper Gold (MDKA). Kepemilikan Sandiaga tercantum melalui kepemilikan saham perusahaan PT Saratoga Investama Sedaya TBK. Merujuk website Merdeka Copper Gold, Per 30 September 2024, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk tercatat memiliki 18,847% saham di PT MDKA. Pemegang saham lainnya antara lain, Garibaldi Thohir (7,680%), PT Suwarna Arta Mandiri (5,505%), PT Mitra Daya Mustika (11,880%), publik (56,089%).
PT MDKA memiliki banyak anak perusahaan, mulai dari PT Bumi Suksesindo, PT Pani Bersama Jaya, PT Batutua Tembaga Raya (smelter tembaga, Maluku Barat Daya, Maluku), PT Merdeka Energi Nusantara, PT Merdeka Mining Service, PT Mentari Alam Persada, PT Batu Tua Abadi Jaya, PT Batutua Alam Persada, PT Merdeka Copper Gold International, PT Eastern Field Development Ltd, PT Merdeka Energi Indonesia, PT Merdeka Indonesia Mandiri, PT Merdeka Kapital Indonesia, PT Merdeka Tambang Jaya, dan PT Merdeka Karya Tambang.
PT Bumi Suksesindo (BSI) merupakan perusahaan tambang emas dengan luas konsesi 4.998 hektar di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur. Saham BSI dimiliki oleh PT Merdeka Copper Gold sebesar 99.89% dan PT Alfa Suksesindo sebesar 0.11%. PT BSI bersama PT Alfa Suksesindo tercatat sebagai pemegang saham di PT Damai Suksesindo (DSI), masing-masing 99% (BSI) dan 1% (Alfa). PT DSI juga menambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur.
PT Pani Bersama Jaya merupakan perusahaan pengolahan emas yang berlokasi di Pohuwato, Gorontalo. Sementara PT Batutua Tembaga Raya fokus pada pengembangan smelter tembaga di Maluku Barat Daya, Maluku. Sementara PT Batutua Tembaga Raya, sahamnya dimiliki oleh PT Merdeka Copper Gold sebesar 78% dan PT Posco International Corporation sebesar 22%. PT Posco International Corporation merupakan perusahaan yang bergerak di sektor perdagangan dan konstruksi, berasal dari Korea Selatan.
Anak perusahaan MDKA, yaitu PT Merdeka Energi Nusantara tercatat memiliki 50,04% saham di PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA). PT MBMA memiliki saham di PT Batutua Pelita Investama (BPI) sebesar 99,99%. Perusahaan PT BPI juga tercatat sebagai pemegang saham di Merdeka Tsingshan Indonesia (MTI) sebesar 80%. PT MTI merupakan perusahaan patungan antara PT MDKA melalui PT Batutua Pelita Investama (BPI) bersama PT Wealthy Source Holding Ltd (perusahaan afiliasi Tsingshan Group). Selain PT BPI, saham PT MTI juga dimiliki oleh PT Wealthy Source Holding Ltd sebesar 20%. PT MTI tercatat mengelola proyek Acid Iron Metal (AIM) di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Bahodopi, Morowali.
PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) sendiri, saham mayoritas dimiliki oleh PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) melalui anak perusahaannya, PT Merdeka Energi Nusantara. PT MBMA berfokus pada rantai pasok baterai kendaraan listrik. Perusahaan ini telah menandatangani perjanjian dengan GEM Co, Ltd (GEM) untuk membangun pabrik pengolahan High-Pressure Acid Leach (HPAL) dengan kapasitas produksi sebesar 30.000 ton nikel dalam Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) per tahun.
Pabrik HPAL dibangun di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali, Sulawesi Tengah dan dioperasikan di bawah PT ESG New Energy Material – joint venture antara MDKA dan GEM – dengan target operasi pada akhir tahun 2024 untuk tahap 1 dan pertengahan tahun 2025 untuk tahap 2. Untuk mendapat pasokan nikel, PT MBMA membeli dan memproses bijih nikel laterit dari tambang milik Sulawesi Cahaya Mineral (SCM), berdasarkan perjanjian pasokan selama 20 tahun. PT Sulawesi Cahaya Mineral ini mempunyai konsesi tambang nikel seluas 21.100 hektar di Konawe, Sulawesi Tenggara.
Pencemaran yang Terabaikan
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Maluku, Roy Syauta, mengakui adanya keterbatasan anggaran dalam pengawasan aktivitas tambang di Pulau Wetar. Ia berjanji untuk berkoordinasi dengan Direktorat Penegakan Hukum KLHK untuk menginvestigasi dugaan pencemaran. Namun, hingga kini, penyebab matinya ikan dan perubahan warna air laut belum diuji secara laboratorium.
Dinas ESDM Maluku, yang juga hadir dalam rapat dengan DPRD, menyatakan bahwa kewenangan pengawasan tambang sudah beralih ke pemerintah pusat. “Kami hanya bisa mengonfirmasi dengan perusahaan. Tapi pengawasan sepenuhnya berada di tangan pusat,” ujar Abdul Haris, Kepala Dinas ESDM Maluku.
Pulau Wetar, dengan ekosistem pesisirnya yang rapuh, kini menjadi saksi bisu dari konflik antara eksploitasi sumber daya alam dan keberlanjutan lingkungan. Jika benar terjadi pencemaran, masyarakat setempat akan kehilangan lebih dari sekadar hasil tangkapan ikan; mereka kehilangan warisan ekologis yang menopang hidup.
Dugaan bahwa material yang dikirim ke Morowali bukan limbah, melainkan bahan mentah bernilai tinggi, hanya menambah ironi. Sementara kekayaan alam Wetar mengalir ke luar daerah, masyarakat lokal hanya menerima dampak kerusakan lingkungan.
DPRD Maluku mendesak pemerintah pusat dan perusahaan tambang untuk memberikan kejelasan terkait aktivitas mereka di Pulau Wetar. “Masyarakat tidak boleh hanya menerima dampak buruk tanpa mendapatkan manfaat nyata dari sumber daya yang dieksploitasi,” pungkas Laipeny.
Namun, di tengah keterbatasan kewenangan dan pengaruh oligarki, akankah suara masyarakat Wetar didengar? Ataukah ini menjadi satu lagi kisah pilu eksploitasi sumber daya yang mengorbankan lingkungan dan manusia? (TS-11)
Discussion about this post