Jatam: Sherly Tjoanda Sekadar Jadi Badut Istana Demi Kepentingan Oligarki Tambang

21/02/2025

titastory, Ternate – Pelantikan Sherly Tjonda dan Sarbin Sehe sebagai gubernur dan wakil gubernur Maluku Utara periode 2025-2030 dianggap sekadar membawa angin segar bagi kekuasaan politik pemerintahan Prabowo Subianto kedepan. Sebab, roda pemerintahan mantan militer era orde baru itu tampaknya terus bergantung pada sektor sumber daya alam, salah satunya dengan melanjutkan program hilirisasi warisan Joko Widodo.

Menurut Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, situasi itu juga membuat Sherly, sebagai gubernur tak bakal berkutik dengan kebijakan pemerintah pusat. Apalagi, kewenangan daerah telah tersentral atau diambil alih oleh pemerintah pusat yang membuat kepala daerah sekelas gubernur tak bisa mengambil posisi politik berbeda.

Sherly dan Sarbin sendiri didukung oleh Partai Nasdem, PPP, Demokrat, PKB, PAN, Gelora, Buruh, dan PSI pada pilkada serentak 2024. Meskipun tak diusung oleh partai Gerindra–milik Prabowo, namun, sebagian partai pengusung pasangan ini telah terkonsolidasi dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM)–sebuah koalisi pendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.

“Hegemoni elit politik nasional yang tak terbendung itu, membawa kita pada kesimpulan jika perjalanan kekuasaan politik Sherly dalam memimpin Maluku Utara selama lima tahun ke depan, disinyalir hanya menjadi badut istana. Dengan kata lain, Sherly akan bekerja melayani agenda pemerintah pusat, meski dalam kenyataannya memicu penderitaan tiada henti bagi warga Maluku Utara,” jelas Julfikar, sebagaimana dikutip dari siaran pers yang diterima redaksi, pada Kamis (20/2/2025).

Sehingga, kata Julfikar, klaim Sherly saat debat kandidat pada November 2024 lalu tentang pentingnya pelestarian lingkungan sekadar pepesan kosong. Mengingat, selain partai pengusungnya, Sherly juga sebenarnya merupakan salah satu aktor yang berkepentingan langsung dengan sektor pertambangan sertia industri esktraktif di Maluku Utara.

Dalam penelusuran Jatam Maluku Utara, menemukan setidaknya ada enam industri berbasis lahan yang terhubung langsung dengan Sherly, yakni, PT Indonesia Mas Mulia (emas), PT Amazing Tabara (emas), PT Bela Sarana Permai (Pasir Besi), PT Karya Wijaya (Nikel), PT Bela Kencana (Nikel), dan PT Bela Berkat Anugerah (Kayu Log).

Pasangan Cagub dan Cawagub Maluku Utara nomor urut 4 Sherly Joanda Laos-Sarbin Sehe dalam debat terakhir yang disiarkan langsung oleh Kompas TV pada Kamis malam. Foto: source for titastory.id

“Berbagai izin usaha berbasis lahan itu, rata-rata Sherly memiliki menguasai saham mayoritas. Meski di antaranya ada yang sudah dicabut. Namun situasi ini mengkonfirmasi kalau Sherly sebagai Gubernur juga merupakan seorang pebisnis ekstraktif yang tidak terbebas dari kepentingan,” tambah Julfikar.

Sejalan dengan itu, roda Pemerintahan Provinsi Maluku Utara selama lima tahun ke depan berada dalam kendali oligarki. Di saat yang sama, tidak menutup kemungkinan Sherly dengan jabatannya sebagai Gubernur, bisa saja memperluas gurita bisnisnya.

Selain Sherly, di level kabupaten juga disinyalir menjadi badut istana. Seperti bupati di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, dan Taliabu. Keseluruhan bupati yang baru dilantik ini merupakan rombongan partai dalam afiliasi KIM. Pada ke lima wilayah ini juga sekaligus merupakan arena padat konsesi tambang.

Mardani Legaelol, Juru Bicara Save Sagea mengatakan, wilayah Halmahera Tengah saat ini kini telah mengalami krisis sosial-ekologis akibat pertambangan maupun hilirisasinya. Dia sebut, operasi tambang telah mengokupasi lahan-lahan produktif warga yang berakibat pada hilangnya sumber-sumber pangan, kerusakan hutan yang mengakibatkan banjir berulang, pencemaran sungai, laut, hingga udara yang kemudian memperburuk kualitas kesehatan warga. Termasuk mengancam kelestarian kawasan Karst Boki Moruru di Sagea.

“Dalam situasi ini tidak mungkin kita mengharapkan bupati baru Halmahera Tengah melakukan pemulihan. Karena kemenangan dia sepenuhnya didukung oleh partai KIM,” jelas Mardani, yang merupakan warga korban tambang di Halmahera Tengah.

Krisis serupa terjadi juga di Halmahera Timur. Setelah pulau-pulau kecil yang berada di Teluk Buli yang kini hancur, diporak-porandakan oleh operasi buas tambang nikel, ekspansi perluasan daya rusak juga terus melebar hingga daratan pulau besar Halmahera.

Seperti di wilayah Subaim hingga Maba, tambang nikel terus menggerogoti tubuh pulau. Disaat yang sama juga, ekspansi tambang nikel PT Priven Lestari juga mengancam kelestarian pegunungan Wato-wato. Pegunungan ini sesungguhnya menjadi sumber utama air bersih warga di wilayah Buli hingga Subaim.

“Situasi ini, menjadi mustahil ketika kita mengharapkan bupati maupun gubernur baru. Alih-alih mereka akan berada di garis depan untuk menyelamatkan ruang hidup tersisa, justru yang terjadi mereka hanyalah operator istana yang mempercepat proses daya rusak,” tambah Said Marsaoly, juru bicara Alinasi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato.

Situasi pelik ini, tambah warga Buli itu, tentu tak meninggalkan nasib perempuan yang mana mereka adalah orang yang paling terdampak. Kebutuhan utama yang berkaitan dengan air untuk rumah tangga, rentan terpapar dengan cemaran yang akan mengancam kesehatan mereka.

error: Content is protected !!