JATAM: RUU Minerba Disahkan, Bukti Senayan adalah Panggung Sirkus untuk Berbisnis

18/02/2025
Gambar Ilustrasi. Foto : Web

titastory, Jakarta – Revisi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, pada pukul 10.51 WIB. Ini menjadi momentum bersejarah yang menguatkan indikasi gedung DPR hanya menjadi panggung sirkus bagi para pencoleng untuk bertransaksi kepentingan, utamanya kepentingan berbisnis sumber daya alam.

Sebelumnya pada Senin, 17 Februari 2025, seluruh fraksi di DPR menyetujui revisi ketiga UU Minerba bersama dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan pemerintah yang diwakili Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Artinya, tak ada satupun anggota DPR yang mengklaim sebagai wakil rakyat, benar-benar bertindak mewakili rakyat, khususnya yang menjadi korban tambang selama puluhan tahun.

Sidang DPRI. Foto : Web

Kangkangi Hukum demi Revisi Pesanan

Menurut Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan proses revisi usulan DPR ini jauh dari kata transparan dan dilakukan secara ugal-ugalan nan sembrono. Selain tak melibatkan partisipasi publik, agenda revisi UU Minerba tersebut tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Prolegnas Prioritas. Pada 2024 lalu, DPR menetapkan 176 RUU masuk ke dalam Prolegnas 2024-2029, 41 diantaranya dikategorikan prioritas, namun tak ada revisi UU Minerba di dalamnya.

“Apabila DPR benar-benar bertindak mewakili rakyat dan mendengarkan suara rakyat secara sungguh-sungguh, revisi UU Minerba tidak akan memasukkan pasal-pasal bermasalah. Selain itu, masih banyak RUU mendesak yang perlu dikebut pengesahannya seperti Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah dirancang sejak 21 tahun lalu, RUU Masyarakat Adat, serta RUU Perampasan Aset yang kini berganti menjadi RUU Pemulihan Aset,” jelas Alfarhat.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan dalam rapat pleno pengambilan keputusan tingkat satu RUU Minerba mengatakan revisi ini tidak dibuat secara tergesa-gesa. Namun, kata Alfarhat, tindak-tanduk DPR sebagai pengusul revisi menunjukkan sebaliknya. Panja RUU Minerba melakukan pengkajian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) bersama pemerintah dan DPD selama sepekan terakhir nyaris tanpa jeda.

Menurut pantauan JATAM, rapat pembahasan DIM dan penyempurnaan redaksional isi RUU Minerba berlangsung pada 12, 13, 14, 15 Februari hingga larut malam dan selalu berlangsung secara tertutup. Adapun RUU Minerba secara mendadak dibahas pertama kali di Baleg pada Senin, 20 Januari 2025, juga dilakukan secara tertutup di tengah masa reses. Keesokan harinya, Selasa, 21 Januari 2025, RUU ini ditetapkan menjadi usulan inisiatif DPR dalam rapat tertutup.

Usulan ini dibawa ke dalam Rapat Paripurna DPR pada Kamis, 23 Januari 2025 yang secara resmi menyetujui RUU Minerba untuk dibahas menjadi undang-undang. Tak sampai sebulan, pada Rabu, 12 Februari 2025, Baleg membentuk panitia kerja (panja) untuk membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam RUU Minerba yang diserahkan oleh pemerintah dan DPD, lagi-lagi dalam pertemuan tertutup. Tak sampai sebulan, rapat-rapat tertutup ini membuahkan rancangan yang disahkan menjadi undang-undang pada hari ini, Selasa, 18 Februari 2025.

Rapat-rapat tertutup antara pemerintah, DPD, DPR, menunjukkan undang-undang ini dibuat bukan untuk rakyat, melainkan untuk kepentingan tiga lembaga tersebut yang merupakan kaki tangan para oligarki tambang. Selain itu, penyusunannya melanggar UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengharuskan adanya keterbukaan, yang diatur dalam Pasal 5.

Penyusunan revisi UU Minerba oleh gerombolan sirkus Senayan ini juga melanggar hierarki hukum yang tercantum dalam Pasal 7. Sebab, revisi yang diajukan oleh DPR tersebut bertujuan untuk mengakomodir Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 yang mengatur pemberian jatah konsesi kepada ormas keagamaan. Artinya, pemerintah dan DPR sedang berupaya mengakomodir peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada UU agar seolah-olah memiliki legitimasi kepastian hukum.

PP ini diakomodir dalam Pasal 60 yang mengatur pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) batubara kepada ormas keagamaan, yang kemudian diperluas kepada koperasi, perusahaan perorangan, serta badan usaha kecil dan menengah (UMKM). Pemberian WIUP kepada entitas bisnis ini dilakukan secara prioritas dengan dalih untuk menguatkan fungsi ekonomi ormas keagamaan, serta pemberdayaan koperasi dan UMKM. Selain itu, dibuka pula ruang untuk ikut mengelola tambang mineral seperti yang diatur dalam Pasal 51.

Sehingga secara prinsip, tambah Mareta Sari, Dinamisator Jatam Kaltim,penerbitan revisi UU Minerba untuk mengakomodir PP melanggar asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi). Penerabasan prinsip ini diduga sudah disepakati sebelumnya di luar rapat-rapat Baleg.

“Ini menunjukkan DPR dan pemerintah telah bersepakat untuk mengangkangi dan menginjak-injak hukum yang berlaku di NKRI,” ujarnya.

Menebalkan Kebohongan demi Cuan Tambang

Kebohongan tersebut menyingkap tabir ketamakan para oligarki tambang yang bersemayam di balik lembaga DPR, pemerintah, dan DPD. Dalam rancangan awal RUU Minerba, sebelum dibahas bersama dengan pemerintah dan DPD, ormas keagamaan hanya diberikan jatah konsesi batu bara. Sedangkan perguruan tinggi, koperasi, dan perusahaan perorangan, diberikan jatah konsesi mineral logam.

Namun, Mareta bilang, setelah pembahasan selama empat hari berturut-turut, seluruh entitas bisnis tersebut dapat menambang batu bara juga mineral logam, seperti diatur dalam Pasal 51 dan Pasal 60. Dengan kata lain, siapa saja bisa menambang batu bara dan mineral logam di Indonesia, asal memiliki badan usaha berbadan hukum. Adapun komoditas yang dikategorikan mineral logam antara lain nikel, emas, bauksit, timah, tembaga, perak.

“Selain berbohong mengenai proses yang tidak tergesa-gesa, DPR dan pemerintah juga berbohong mengenai pelibatan kampus dalam bisnis tambang.”

Dalam konferensi pers usai rapat pleno pengesahan tahap satu, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan DPR dan pemerintah sepakat batal memberikan konsesi kepada perguruan tinggi dan seolah-olah mendengarkan masukan publik untuk tidak melibatkan kampus dalam bisnis tambang.

Namun, pembatalan tersebut tidak serta-merta menggugurkan niat pemerintah ‘menjebak’ kampus ke dalam bisnis tambang mineral dan batu bara. DPR dan pemerintah hanya menggeser posisi kampus dari sebagai penerima konsesi menjadi penerima manfaat melalui skema perjanjian kerja sama seperti yang diatur dalam Pasal 51 A dan Pasal 60A.

Dalam Pasal 51A disebutkan:
“Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, Pemerintah Pusat memberikan WIUP Mineral logam dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.”

Pasal 60A menyebutkan:
“Dalam rangka meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, Pemerintah Pusat memberikan WIUP Batubara dengan cara prioritas kepada BUMN, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.”

Ini merupakan perangkap bagi kampus yang disediakan pemerintah dan DPR. Kampus-kampus yang selama ini mengusung konsep green campus dan selalu menggunakan parameter Sustainable Development Goals (SDG’s) sudah selayaknya malu menerima manfaat dari tambang.

Moh Taufik, Dinamisator Jatam Sulteng, menambahkan, bagi pebisnis tambang, posisi kampus hanya menjadi ‘stempel’ legitimasi moral dan intelektual agar aktivitas penambangan terlihat seolah-olah bersih, berkelanjutan, dan mengedepankan kemaslahatan masyarakat. Padahal, daya rusak yang ditimbulkan oleh industri tambang bersifat multidimensional dan tak dapat dipulihkan.

Kebohongan lainnya adalah pernyataan revisi mendesak dilakukan untuk menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara 37/PUU-XIX/2021 yang menguji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap UUD 1945.

Dalam revisi UU ini, dari 26 perubahan, hanya dua perubahan yang mengakomodir putusan MK, yaitu di Pasal 17A dan Pasal 31A. Perubahan terbanyak adalah pengaturan pemberian ruang kepada koperasi dan usaha kecil dan menengah (UMKM), ormas keagamaan, kampus, untuk berbisnis tambang.

“Kebohongan demi kebohongan diciptakan para gerombolan sirkus Senayan bersama dengan pembantu Presiden Prabowo Subianto untuk menyamarkan agenda utama mereka: menjarah Indonesia,” jelas Taufik.

Penulis: Redaksi
error: Content is protected !!