titastory.id, ambon – Sejumlah komunitas yang tergabung dalam “Kamisan Ambon” menggelar aksi Kamisan ke-14 dengan tema “Indonesia Darurat Agraria: Negara Dinilai Melanggengkan Kejahatan Agraria” pada Kamis (26/9), sekitar pukul 18.00 WIT di Bundaran Patung Leimena, Poka.
Aksi tersebut digelar untuk memperingati Hari Tani Nasional 2024 dan menyuarakan tuntutan kepada pemerintah terkait konflik agraria yang masih marak terjadi di Indonesia. Para peserta aksi menyerukan, “Tanah untuk Rakyat, Bukan untuk Korporat! Bebaskan Anton Latumutuany!”
Dalam pernyataan tertulisnya, Komunitas Aksi Kamisan Ambon menegaskan bahwa 64 tahun setelah disahkannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960, agenda reforma agraria yang diamanatkan undang-undang tersebut dinilai belum dijalankan secara konsisten. Meski rezim pemerintahan terus berganti, reformasi agraria yang bertujuan menciptakan tatanan agraria yang adil dan mensejahterakan petani masih terabaikan. Penindasan dan perampasan ruang hidup yang dialami masyarakat terus terjadi, mencerminkan negara yang dinilai melanggengkan kejahatan agraria.
Sejak pengesahan UUPA, konflik agraria terus terjadi, dipicu oleh keinginan masyarakat untuk mempertahankan ruang hidup yang telah mereka tempati selama puluhan hingga ratusan tahun. Namun, upaya ini sering kali berhadapan dengan kepentingan pemodal yang didukung oleh negara. Dalam banyak kasus, negara dinilai terlibat dalam melanggengkan kejahatan agraria ini.
Beberapa contoh kasus perampasan lahan dapat dilihat pada konflik yang dialami oleh petani Kendeng, petani di Kulon Progo, petani Pakel, serta banyak petani lainnya di berbagai wilayah Indonesia. Negara tidak hanya membiarkan kejahatan ini terjadi, tetapi juga terlibat langsung dalam beberapa kasus.
Pada 26 September 2015, Salim Kancil, seorang petani di Lumajang, Jawa Timur, tewas dibunuh setelah menolak perusakan lahan miliknya oleh korporasi yang didukung negara. Menurut laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), sepanjang 2021-2024, terdapat 290.337 hektare lahan yang terlibat dalam konflik agraria.
Kejadian serupa juga terjadi di Maluku. Masyarakat Dusun Pohon Batu di Seram Bagian Barat saat ini masih berjuang melawan PT. Spice Island Maluku yang berupaya merampas lahan mereka untuk dijadikan perkebunan pisang abaka. Dua warga Dusun Pohon Batu bahkan telah kehilangan nyawa dalam perjuangan menolak keberadaan perusahaan tersebut.
Di Pulau Buru, masyarakat adat menghadapi ancaman dari rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi oleh PT. Ormat Geothermal Indonesia yang dikhawatirkan akan merusak lingkungan dan mengancam ketersediaan air di daerah tersebut.
Sementara itu, masyarakat adat di Pegunungan Seram Utara, Pulau Seram bagian tengah, merasa terusik oleh kehadiran Taman Nasional Manusela yang sejak 1997 dianggap telah merampas tanah ulayat mereka. Di pesisir Seram Selatan, masyarakat menghadapi pemasangan patok batas Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) di lahan-lahan milik mereka. Anton Latumutuany, seorang warga Piliana yang memprotes pemasangan patok batas tersebut, kini menghadapi kriminalisasi dengan tuduhan makar.
Konflik agraria ini tidak hanya terjadi di Pulau Seram dan Pulau Buru, tetapi juga di berbagai wilayah Kepulauan Maluku Raya, dari Morotai hingga Selaru, dan dari Sula hingga Aru. Dari rangkaian perampasan ruang hidup yang terjadi di Kepulauan Maluku Raya dan daerah-daerah lainnya, terlihat bahwa negara dinilai sengaja melanggengkan konflik agraria.
Menyikapi hal tersebut, Komite Aksi Kamisan Ambon menyampaikan sejumlah tuntutan:
1. Hentikan segala bentuk kejahatan agraria yang dilakukan oleh negara dan korporasi di seluruh Indonesia.
2. Wujudkan reforma agraria sejati sesuai dengan amanat UUPA 1960. (Tim Liputan)
Discussion about this post