Kebijakan Pusat Bikin Laut Maluku Merugi: Ikan Rp17 Triliun Tak Pernah Tiba di Darat”
Ambon, – Apakah mungkin provinsi dengan laut seluas Maluku tempat jutaan ton ikan melintas setiap tahun justru kehilangan pendapatan hingga triliunan rupiah dari hasil tangkapannya sendiri?
Bagaimana mungkin kekayaan laut yang menjadi tulang punggung ekonomi timur Indonesia justru “hilang” sebelum sempat menyentuh darat?
Pertanyaan itu kini menggema di ruang-ruang rapat DPRD Maluku, setelah terungkap bahwa kebijakan alih muat kapal perikanan yang diberlakukan pemerintah pusat telah membuat pendapatan daerah anjlok drastis, bahkan potensi ekonomi senilai Rp17 triliun per tahun lenyap di laut terbuka.
Komisi II DPRD Maluku menyebut dua aturan pemerintah menjadi biang keroknya: Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 28 Tahun 2022 tentang Alih Muat (Transhipment).

Aturan itu memungkinkan kapal-kapal industri melakukan bongkar muat langsung di tengah laut tanpa melewati pelabuhan perikanan daerah. Akibatnya, Maluku yang seharusnya menjadi pusat distribusi ikan nasional justru tidak mendapat retribusi sepeser pun.
“Dulu Pelabuhan Perikanan Samlaki bisa menghasilkan Rp200 miliar per tahun. Sekarang tinggal Rp2 miliar,” kata Ketua Komisi II DPRD Maluku, Irawadi, di Ambon, Selasa (4/11/2025). “Semua ikan sudah diambil di laut sebelum sampai darat. Daerah tak dapat apa-apa.”
Kebijakan pemerintah pusat soal aturan alih muat kapal perikanan dinilai telah merugikan Maluku secara ekonomi. Komisi II DPRD Provinsi Maluku menilai kebijakan itu membuat daerah kehilangan potensi pendapatan hingga Rp17 triliun per tahun, akibat hasil tangkapan ikan dari perairan Maluku tidak lagi didaratkan di pelabuhan daerah.
Ketua Komisi II DPRD Maluku, Irawadi, menyebut kebijakan tersebut membuat perekonomian daerah pesisir lumpuh, dan sejumlah pelabuhan perikanan kini sepi aktivitas.
“Pelabuhan perikanan Samlaki yang dulu menghasilkan sekitar Rp200 miliar per tahun, kini hanya tinggal Rp2 miliar. Semua ikan dialihkan di laut tanpa melalui pelabuhan daerah. Daerah tidak dapat retribusi satu rupiah pun,” ujar Irawadi di Ambon, Selasa (4/11/2025).
Dua Aturan yang Dipersoalkan
Komisi II menyampaikan kritik tersebut langsung kepada Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Lotharia Latif, dalam pertemuan resmi di Jakarta pekan lalu.
Menurut Irawadi, ada dua regulasi utama yang menjadi sumber masalah:
1. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT), dan
2. Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 28 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alih Muat (Transhipment).
Kedua aturan tersebut memungkinkan kapal-kapal industri melakukan alih muat langsung di laut, tanpa kewajiban mendaratkan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan daerah.
“Kebijakan ini menghapus sumber retribusi daerah. Padahal Maluku punya tiga wilayah pengelolaan perikanan besar: WPP 714, 715, dan 718, dengan potensi tangkapan 750 ribu ton per tahun,” katanya.
Dengan potensi tangkapan sebesar itu, lanjut Irawadi, jika hasil ikan didaratkan dan dikenai retribusi Rp20 ribu per kilogram, PAD Maluku bisa mencapai Rp17 triliun per tahun.
Namun, karena sistem alih muat dilakukan di tengah laut, pemerintah daerah kehilangan pendapatan, nelayan kehilangan harga wajar, dan pelabuhan kehilangan aktivitas.
Pusat Untung, Daerah Merugi
Irawadi menilai kebijakan tersebut lebih berpihak kepada pengusaha perikanan besar dibanding rakyat dan pemerintah daerah. Ia menilai alasan “efisiensi logistik” dan “mencegah pembusukan ikan” yang dikemukakan pemerintah pusat tidak masuk akal.
“Teknologi penyimpanan ikan kita sudah maju. Pendingin di kapal dan cold storage di pelabuhan sudah memadai. Ini hanya alasan untuk mempermudah pengusaha besar agar tak perlu berurusan dengan retribusi daerah,” ujarnya.
Selain aturan alih muat, Komisi II juga menyoroti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang dinilai mempersempit ruang fiskal provinsi dalam menarik pajak dan retribusi sektor kelautan.
Kondisi ini, kata Irawadi, membuat Pelabuhan Perikanan Nusantara di Tual, Dobo, dan Samlaki terancam mangkrak, sementara nelayan kecil kehilangan akses pasar karena seluruh transaksi dikendalikan oleh kapal industri besar di tengah laut.
“PAD kita turun, APBD makin berat. Kalau dibiarkan, ini bisa jadi bom waktu. Pemerintah pusat harus sadar bahwa laut Maluku bukan cuma sumber ikan, tapi juga sumber kehidupan dan pendapatan daerah,” ujarnya menegaskan.
Desakan Pencabutan dan Evaluasi Regulasi
Komisi II DPRD Maluku mendesak Pemerintah Pusat segera mencabut Permenhub Nomor 28 Tahun 2022 dan mengembalikan sistem pendaratan hasil tangkapan di pelabuhan perikanan daerah.
Mereka juga meminta KKP mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) agar lebih transparan dan berpihak pada daerah penghasil.
“Kebijakan alih muat di laut telah memiskinkan daerah, padahal kekayaan laut Maluku adalah salah satu yang terbesar di dunia. Kami akan terus memperjuangkan agar hasil laut Maluku kembali memberikan manfaat bagi rakyat Maluku, bukan hanya pengusaha besar,” tutup Irawadi.
Di atas kertas, pemerintah pusat menyebut kebijakan Penangkapan Ikan Terukur dan alih muat di laut sebagai bagian dari “reformasi ekonomi biru” konsep tata kelola laut berkelanjutan yang menjanjikan kesejahteraan nelayan dan penguatan ekosistem.
Namun di laut Maluku, yang terjadi justru sebaliknya: reformasi itu menjauhkan hasil laut dari rakyatnya sendiri.
Alih-alih menciptakan keseimbangan ekonomi antardaerah, sistem ini memperkuat sentralisasi industri perikanan nasional dan memindahkan nilai ekonomi dari pelabuhan kecil di timur ke korporasi besar di barat.
Dalam logika fiskal, Maluku dan provinsi maritim lainnya hanya menjadi titik tangkap — bukan titik nilai.
“Negara bicara ekonomi biru, tapi laut dikelola seperti ladang tambang,” kata seorang anggota Komisi II DPRD Maluku yang enggan disebut namanya. “Sumber daya diangkut ke luar, daerah penghasil dibiarkan miskin.”
Bagi Maluku, ini bukan sekadar perdebatan soal pajak atau retribusi. Ini soal hak atas laut dan kedaulatan ekonomi.
Ketika semua hasil tangkapan dialihkan di laut, pelabuhan mati, nelayan kehilangan akses, dan pemerintah daerah kehilangan sumber pendapatan.
Akibatnya, laut yang selama ini menjadi penopang kehidupan justru berubah menjadi simbol ketimpangan baru antara pusat dan daerah.
Komisi II DPRD Maluku kini mendesak pemerintah pusat untuk mencabut Permenhub Nomor 28 Tahun 2022 dan meninjau ulang PP Nomor 11 Tahun 2023 agar hasil tangkapan ikan kembali wajib didaratkan di pelabuhan perikanan daerah.
Tujuannya sederhana: agar ikan yang ditangkap di laut Maluku juga memberi makan Maluku.
Karena jika kebijakan ini terus berjalan tanpa koreksi, bukan hanya Rp17 triliun potensi ekonomi yang hilang di laut, tapi juga harga diri Maluku sebagai provinsi kepulauan yang mestinya berdaulat atas lautnya sendiri.
