ICJR: AMPG dan Bahlil Harusnya Membalas Meme Netizen dengan Perbaikan Kinerja, Bukan Laporan Pidana

Reaksi AMPG Soal Meme Ketum Golkar Bahlil Lahadalia
24/10/2025
Keterangan gambar: Kreasi warganet, unggahan hasil edit wajah mirip Menteri ESDM, ramai di sosial media pasca adanya laporan ke Polisi. Foto: warganet

Jakarta, – Rencana pelaporan pembuat meme Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, oleh organisasi sayap partainya, Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), menuai kritik tajam dari lembaga advokasi hukum dan kebebasan berekspresi.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Nur Ansar, menilai langkah AMPG justru menunjukkan ketidakmatangan partai dalam memahami batas antara kritik dan penghinaan.

“Alih-alih menjawab kritik publik dengan perbaikan kinerja, mereka justru memilih jalur pidana yang tidak relevan dan berpotensi mengancam kebebasan berekspresi,” ujar Nur Ansar peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam rilis resminya yang  diterima titastory, Kamis (24/10/2025).

AMPG Laporkan Pembuat Meme ke Polisi

Pada 20 Oktober 2025, perwakilan AMPG mendatangi Polda Metro Jaya untuk berkonsultasi terkait rencana pelaporan sejumlah akun media sosial yang dianggap menghina Bahlil.

Meme yang dilaporkan menampilkan wajah Bahlil dengan berbagai satir seperti tulisan “wudhu pakai bensin” dan “lempar jumrah pakai batu bara”, serta komentar yang dinilai melecehkan.

Meski demikian, pada hari yang sama, Bahlil Lahadalia mengaku tidak mengetahui adanya rencana pelaporan tersebut. Sehari kemudian, Sekjen Partai Golkar M. Sarmuji sempat mengatakan akan memanggil pihak pelapor karena tidak mendapat izin dari partai. Namun keesokan harinya, ia justru menyatakan dukungan atas langkah AMPG tersebut.

Keterangan gambar: Foto meme yang diunggah WargaNet di media sosial

ICJR: Laporan AMPG Tidak Relevan secara Hukum

Menurut Nur Ansar, dasar pelaporan yang digunakan AMPG dengan merujuk pada Pasal 27 dan 28 UU ITE serta Pasal 310 KUHP adalah bentuk kekeliruan fatal secara hukum.

“Kalau yang dilaporkan itu soal penghinaan atau pencemaran nama, itu delik aduan mutlak, artinya yang boleh melapor hanya orang yang merasa dirugikan secara langsung — dalam hal ini Bahlil, bukan AMPG atau pihak ketiga,” jelasnya.

Ia menambahkan, pasal-pasal yang digunakan dalam laporan itu tidak relevan karena konteks meme tidak termasuk ujaran kebencian berbasis SARA, berita bohong yang menimbulkan kerusuhan, maupun pelanggaran kesusilaan sebagaimana diatur dalam UU ITE versi terbaru, UU No.1 Tahun 2024.

“Laporan ini tidak punya dasar pidana yang kuat. Kritik dan satire, apalagi terhadap pejabat publik, tidak bisa serta merta dikriminalisasi,” tegas Nur Ansar.

Kritik Publik Bagian dari Demokrasi

ICJR menilai, untuk menilai apakah suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai penghinaan atau bukan, aparat penegak hukum perlu melihat konteks sosial dan politiknya. Dalam kasus meme Bahlil, konteks tersebut erat kaitannya dengan isu-isu publik yang tengah disorot masyarakat, seperti pencampuran etanol dalam BBM, izin tambang nikel di Raja Ampat, serta kebijakan energi berbasis batu bara yang didukung Bahlil.

“Kalimat-kalimat yang muncul di meme itu justru menyinggung kebijakan sektor energi yang jadi tanggung jawab Bahlil sebagai menteri. Jadi substansinya adalah kritik, bukan serangan pribadi,” kata Nur Ansar.

Menurutnya, pejabat publik seperti Bahlil harus siap menghadapi kritik, termasuk dalam bentuk meme atau satire. “Pejabat publik tidak bisa alergi kritik. Justru dari sana mereka bisa memperbaiki diri dan membangun kepercayaan publik,” tambahnya.

Kritik Tak Bisa Dipidana

ICJR menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dijamin oleh UUD 1945 dan menjadi pilar utama dalam negara demokrasi. Oleh karena itu, laporan pidana terhadap konten kritik atau satire di media sosial berpotensi menimbulkan efek jera (chilling effect) terhadap warga negara untuk bersuara.

“Daripada melaporkan rakyat yang berpendapat, lebih baik AMPG dan Bahlil menjawab dengan kinerja yang baik. Itu cara terbaik membalas kritik,” tutup Nur Ansar.

Kasus ini menambah daftar panjang kriminalisasi ekspresi publik di era media sosial. Padahal, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 telah mempertegas bahwa pasal-pasal dalam UU ITE tidak boleh digunakan untuk membungkam kritik terhadap pejabat publik.

error: Content is protected !!