Ambon, — Suasana ruang Komisi II DPRD Maluku pada Selasa (21/10) mendadak memanas. Rapat dengar pendapat (RDP) yang semula dijadwalkan untuk membahas insiden patahnya tongkang pengangkut material tambang milik PT Batutua Tembaga Raya (BTR) di Pulau Wetar, berubah menjadi arena hujan kritik dan tudingan keras.
Dalam forum yang dihadiri perwakilan Dinas Lingkungan Hidup, Dinas ESDM, dan sejumlah pejabat terkait, para anggota dewan menyoroti serangkaian dugaan pelanggaran serius — mulai dari pencemaran laut, manipulasi data tenaga kerja lokal, hingga lemahnya pengawasan pemerintah.
Anggota Komisi II DPRD Maluku, Ari Sahertian, menuding PT BTR tidak serius dalam menjalankan kewajiban pengelolaan lingkungan. Dari total 37 parameter uji laboratorium yang diwajibkan pemerintah, perusahaan tambang tembaga itu baru menyelesaikan delapan.
“Bagaimana kita bisa pastikan laut, udara, dan tanah tidak tercemar kalau sebagian besar parameter belum diuji? Jangan tampilkan data yang hanya menguntungkan perusahaan sementara rakyat menanggung akibatnya,” ujar Sahertian dengan suara meninggi.
Menurutnya, kondisi itu memperlihatkan ketidaksiapan perusahaan memenuhi komitmen lingkungan, dan DPRD mendesak agar Kementerian ESDM serta KLHK turun langsung meninjau aktivitas tambang di Wetar.“Kalau terbukti melanggar berat, izinnya harus dicabut,” tegasnya.

Tudingan Data Palsu: Klaim 62 Persen Tenaga Lokal Dibantah
Nada rapat semakin meninggi ketika Wakil Ketua Komisi II, Suanthie John Laipeny, membantah klaim PT BTR yang menyebut 62 persen tenaga kerja berasal dari masyarakat lokal.
“Itu pembohongan publik! Berdasarkan data lapangan, pekerja asli Maluku Barat Daya tidak lebih dari 300 orang,” ujarnya keras sambil memukul meja rapat.“Kalau yakin datanya benar, tunjukkan! Kalau tidak, saya akan kejar sampai ke Merdeka Corp!”
Laipeny juga menyoroti laporan warga yang dilarang mendekat ke lokasi tambang setelah tongkang patah, bahkan menerima ancaman dari perusahaan agar tidak membocorkan informasi ke publik.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini pelanggaran hak asasi manusia!” katanya tegas.

Insiden Tongkang yang Memicu Krisis
Insiden patahnya tongkang pengangkut material tambang pada 26 Agustus 2025 menjadi pemicu utama rapat ini.Tongkang tersebut diduga membawa material mengandung limbah B3 yang kemudian mencemari laut di sekitar pesisir Wetar.Warga melaporkan air laut berubah warna dan biota pesisir mati mendadak, menandakan indikasi pencemaran serius.
DPRD Maluku menilai kasus ini sebagai bentuk kelalaian berat perusahaan dan kegagalan pengawasan pemerintah.

Kemarahan DPRD atas Absennya Pejabat Tambang
Rapat makin panas ketika diketahui Kepala Inspektur Tambang Wilayah Maluku tidak hadir tanpa alasan jelas. Ia baru datang setelah ditelepon langsung oleh staf Komisi II — dan langsung disambut dengan kecaman keras.
“Dia bisa nongkrong di rumah kopi Joas, tapi undangan resmi DPRD malah diabaikan,” sindir salah satu anggota dewan. Ketua Komisi II Irawadi memperingatkan keras agar ketidakhadiran semacam itu tidak terulang lagi.
Sementara itu, Kepala Dinas ESDM Maluku Abdul Haris yang hadir dalam rapat mengakui bahwa kewenangan perizinan operasional tongkang berada di pemerintah pusat. Namun ia berjanji akan menelusuri data lapangan dan memastikan setiap dampak lingkungan ditindaklanjuti.
DPRD Akan Bentuk Tim Pengawas Khusus
Menutup rapat yang berlangsung lebih dari tiga jam itu, DPRD Maluku memutuskan akan membentuk tim pengawasan khusus untuk menelusuri dugaan pencemaran dan pelanggaran oleh PT BTR.
Tim ini akan bekerja lintas komisi dan menyiapkan laporan resmi ke Kementerian ESDM dan KLHK.
“Ini bukan soal politik, tapi soal masa depan lingkungan dan keselamatan rakyat. Kalau perusahaan ini tidak becus, lebih baik ditutup!” tegas Ari Sahertian menutup rapat, disambut tepuk tangan peserta yang bergema di ruang sidang Komisi II.
 
            
 
                             
                             
                             
                            