titastory.id, jakarta – Hilirisasi mineral sebagai bagian dari transisi energi nasional kini menuai berbagai dampak negatif di lapangan. Di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, warga sekitar kawasan industri PT Huabao Industrial Park (PT IHIP) harus menghadapi tantangan berat dari dampak lingkungan, sosial, hingga kriminalisasi.
Berdasarkan laporan Global Critical Minerals Outlook 2024, permintaan mineral kritis seperti nikel, lithium, dan kobalt meningkat seiring transisi energi global yang memerlukan teknologi terbarukan, mulai dari panel surya hingga kendaraan listrik. Indonesia sebagai salah satu produsen nikel terbesar melihat lonjakan produksi signifikan, dari 32 juta ton pada 2020 hingga mencapai 71,4 juta ton pada 2024. Kenaikan ini berdampak luas, khususnya di Morowali, yang menjadi pusat kawasan industri nikel.
Namun, pembangunan kawasan industri ini mengorbankan masyarakat di sekitar. Warga melaporkan penurunan kualitas kesehatan, kerusakan ekosistem laut, dan hilangnya mata pencaharian. Tambahan infrastruktur, seperti PLTU captive, memperburuk kondisi lingkungan dengan polusi udara yang mengancam kesehatan masyarakat. Di Desa Ambunu, lahan seluas 14 hektare milik warga yang ditanami sawit digusur tanpa pemberitahuan, dan akses jalan desa pun kini dikuasai perusahaan.
Konflik agraria semakin memuncak antara warga dengan perusahaan. Warga Desa Tondo dan Topogaro yang memprotes melalui aksi blokade jalan pada Juni 2024 justru menghadapi tuntutan hukum, dengan lima warga dilaporkan ke Polda Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 162.
Selain itu, pada Oktober 2024, warga Desa Ambunu juga mendapatkan panggilan polisi atas aksi serupa. PT BTIIG, bagian dari Huabao Industrial Park, mengklaim jalan desa sebagai miliknya, berdasar pada nota kesepahaman (MoU) dengan Bupati Morowali. Hal ini membuat warga semakin resah, mengingat jalan desa tersebut sudah lama digunakan sebagai akses utama menuju kebun dan situs budaya.
Lima warga Desa Topogaro yang sebelumnya dipanggil polisi kini digugat secara perdata oleh PT BTIIG sebesar Rp14 miliar atas tuduhan pencemaran nama baik dan kerugian akibat penutupan jalan. Warga mendesak agar pemerintah dan perusahaan membatalkan MoU yang mereka nilai sepihak, serta mengembalikan akses jalan desa kepada masyarakat.
Kawasan PT IHIP seluas 20.000 hektare ini dikelola oleh Zhensi Holding Grup bersama beberapa investor lain dengan nilai investasi mencapai Rp14 triliun. Proyek ini menjadi bagian dari “One Belt, One Road Initiative” dengan pembangunan bertahap yang mengubah beberapa desa menjadi kawasan industri nikel. Namun, MoU tersebut tidak melibatkan masyarakat lokal, yang justru terdampak secara langsung.
Koalisi Anti SLAPP yang terdiri dari berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti WALHI, Greenpeace, dan Jatam Sulteng, menuntut pemerintah melindungi hak warga, serta mengevaluasi kebijakan hilirisasi mineral. Koalisi meminta pembatasan produksi nikel untuk menghindari degradasi lingkungan yang semakin parah dan mengutamakan kepentingan warga di atas korporasi.
Situasi ini menggambarkan bahwa langkah Indonesia menuju hilirisasi mineral perlu diimbangi dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta kebijakan yang menjamin perlindungan hak-hak masyarakat sekitar. (TS-01)
Discussion about this post