titastory.id, haruku – Di bawah langit Maluku yang biru dan berpadu dengan hembusan angin dari Laut Banda, Negeri Aboru di Pulau Haruku menyimpan sebuah tradisi yang lebih dari sekadar permainan—Hela Rotan. Tidak seperti tarik tambang biasa, hela rotan adalah prosesi penuh makna yang menyatukan masyarakat dalam ikatan sejarah, adat, dan harapan. Tradisi ini telah tercatat di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI), tetapi bagi masyarakat Aboru, hela rotan adalah ikatan jiwa yang harus diperjuangkan hingga ke dunia internasional.
“Jangan hanya berhenti di MURI,” kata Jemy Riry, salah satu tokoh muda Aboru. “Tradisi ini harus diakui UNESCO agar dunia tahu bahwa Maluku memiliki warisan yang tak tergantikan.” Riry berbicara dengan penuh semangat di Ambon, tempat ia terus menyuarakan pentingnya menjaga tradisi di tengah arus modernitas.
Sejarah yang Menjalin Empat Negeri
Hela rotan bermula dari cerita pembagian wilayah di Pulau Haruku. Kapitan Tuasaya Saija, tokoh adat yang disegani, membagi tanah menjadi empat bagian menggunakan seutas rotan yang kini dikenal sebagai Negeri Aboru, Pelauw, Oma, dan Rohomoni. Masing-masing wilayah ini diwakili oleh satu ikatan rotan yang berisi sembilan lilitan, simbol dari Patasiwa Raja Nusa Ama Pulau Jaruku.
Wem Nahumury, seorang tokoh masyarakat Aboru, mengisahkan bahwa tradisi ini bukan sekadar ajang seremonial. “Setiap ikatan rotan membawa pesan persatuan, dan pusar rotan yang menjadi titik tengah adalah simbol keseimbangan yang harus dijaga,” jelasnya. Nahumury percaya hela rotan bisa menjadi jembatan penghubung antara tradisi lokal dan pengembangan potensi wisata.
Saat hela rotan digelar, suasana desa berubah menjadi meriah. Masyarakat berkumpul di Baleo atau Asari Aman, tempat doa dipanjatkan sebelum rotan sepanjang 300 meter mulai dianyam. Anak-anak berlarian, ibu-ibu menyiapkan jajanan tradisional, dan para tamu menikmati keindahan Pantai Naira yang terkenal dengan pasir putihnya.
“Ini adalah kesempatan emas bagi kami,” kata Erween Tererissa, pemuda Aboru yang melihat potensi ekonomi dari tradisi ini. “Wisatawan bisa membeli cendera mata dan makanan khas, sementara kami memperkenalkan budaya kami kepada dunia.”
Tak hanya itu, hela rotan juga mempererat hubungan sosial di kalangan masyarakat. “Semua yang hadir, baik penduduk lokal maupun perantau, bisa saling berbagi cerita dan mempererat tali basudara,” tambah Nahumury.
Merawat Bahasa dan Identitas Budaya
Di tengah tantangan modernisasi, hela rotan menjadi ajang revitalisasi bahasa dan budaya. Riry menekankan pentingnya menjaga bahasa adat Pulau Haruku agar tidak punah.
“Bahasa adalah nyawa budaya. Jika bahasa mati, maka tradisi juga akan ikut lenyap,” tegasnya. Menurutnya, momen seperti hela rotan dapat menjadi sarana untuk memperkenalkan kembali nilai-nilai adat kepada generasi muda, baik di Maluku maupun di perantauan. Meskipun telah mendapatkan pengakuan dari MURI, masyarakat Aboru tidak puas berhenti di situ. Mereka bermimpi membawa hela rotan ke panggung dunia melalui UNESCO.
“Ini bukan sekadar tradisi, ini warisan dunia. Kami berharap pemerintah dan Kementerian Luar Negeri membantu mewujudkan mimpi ini,” ungkap Riry.
Tradisi ini juga diharapkan mampu merangsang perhatian pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur seperti jalan dan jembatan di Aboru. “Jika akses diperbaiki, wisatawan akan lebih mudah datang, dan ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Nahumury penuh harap.
Hela Rotan: Mengikat Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan
Hela rotan bukan hanya tentang tradisi, tetapi tentang persatuan, ekonomi, dan identitas yang terus hidup di dalam sanubari masyarakat Aboru. Dalam setiap lilitan rotan, ada sejarah yang mengalir, ada doa yang dipanjatkan, dan ada harapan yang digantungkan untuk masa depan yang lebih cerah.
“Hela rotan adalah pesan bagi dunia,” kata Riry menutup perbincangan. “Pesan bahwa kami, masyarakat Aboru, masih berdiri teguh menjaga warisan leluhur kami.” Tradisi ini akan terus berlanjut, mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam rotan yang panjang—sepanjang harapan mereka akan pengakuan dan keberlanjutan budaya.
Spirit Bakudapa: Sejarah dan Nilai Kebersamaan Negeri Aboru
Dikutip dari artikel blok Nn. Noni H. Nahumury dalam tulisannya yang ditulis dalam artikel Sejarah Negeri Aboru: “Spirit Bakudapa: Nilai Kendahan Negeri Aboru” (Cerita Rakyat), Siswa SMK Negeri 6 Ambon, menjelaskan pada abad ke-12, tujuh bersaudara meninggalkan Nunusaku, Seram, memulai perjalanan panjang yang akan menjadi awal terbentuknya komunitas besar di Maluku Tengah. Dipimpin oleh Kapitan Tua Saya, mereka menempuh jalur penuh tantangan, menetap di berbagai tempat seperti Waitala, Tihulale, dan Hatulawane. Setiap saudara akhirnya memilih tempat tinggal baru, menciptakan cikal bakal marga-marga yang kini masih bertahan di Maluku.
Kisah ini mencapai titik penting pada abad ke-15, ketika Kapitan Tua Saya bertemu Kapitan Nahumury, bangsawan dari Sulawesi, di Amaika, kampung tua Aboru. Perjumpaan ini melahirkan kesepakatan untuk membuka negeri baru, yang kelak dikenal sebagai Aboru, bermakna “negeri yang baru dibuka.” Mereka membangun permukiman di dekat sumber air Waetahu, dan menata kehidupan dengan kebersamaan sebagai nilai utama.
Keduanya menyadari bahwa komunitas memerlukan pemimpin. Setelah musyawarah, mereka memilih Yonas Pusumonya, cucu Raja Negeri Iwa, Simon Sirih Wae. Di bawah kepemimpinan Yonas, Aboru dibagi menjadi lima soa besar: Salahitu (marga Saija), Hura (Nahumury), Rissa (Sinay), Pelauw (Akihary), dan Patti (Usmany). Setiap soa dipimpin oleh kepala matarumah atau Orang Tua, dan diikat dalam struktur adat yang kuat.
Namun, kedatangan Fransiskus de Sales, misionaris asal Prancis pada abad ke-16, membawa dinamika baru. Meski Kapitan Tua Saya dan beberapa anaknya menolak ajaran Kristen, ada yang menerima, termasuk anaknya, Rekson. Untuk menghindari konflik, Kapitan Tua Saya dan para penolak Injil memilih keluar dari Aboru, menetap di hutan demi menjaga perdamaian.
Negeri Aboru kini dikenal dengan nama teon Lealohi Sama Suruh, mengingatkan akan akar adat yang kuat. Rumah adat mereka, Sariaman, tetap menjadi simbol musyawarah dan kebersamaan. Dengan wilayah berbatasan dengan petuanan Hulaliu di timur, Wasu di barat, Pelauw di utara, dan Laut Banda di selatan, Aboru terus menjaga nilai Bakudapa, semangat pertemuan yang melahirkan harmoni dan kebersamaan. (TS-02)
Discussion about this post