titastory, Ambon – Maluku dikenal sebagai lumbung ikan nasional dengan hasil tangkap mencapai 4,69 juta ton per tahun. Wilayah lautnya yang mencapai 92,4 persen dari total luas provinsi menyimpan kekayaan luar biasa di sektor perikanan. Namun ironisnya, kekayaan itu belum mampu mengangkat masyarakat Maluku keluar dari jerat kemiskinan.
Wakil Ketua Komisi II DPRD Maluku, John Laipeny, menyatakan bahwa potensi perikanan yang besar di tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) – yakni WPP 714 (Laut Banda), WPP 715 (Laut Seram dan Teluk Tomini), serta WPP 718 (Laut Arafura dan Laut Timor) – tidak memberi dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
“Sayangnya, kekayaan perikanan yang kita miliki tidak dirasakan sepenuhnya, baik oleh daerah maupun masyarakat Maluku. Kita kaya laut tapi tetap miskin,” ujar Laipeny saat ditemui di Rumah Rakyat, Karang Panjang, Ambon, Senin, 26 Mei 2025.

Kebocoran Data dan Minimnya Dana Bagi Hasil
Laipeny mengungkapkan, berdasarkan kajian yang dilakukan Konsorsium Pemuda Seram, terdapat kebocoran dalam aktivitas penangkapan ikan di ketiga zona WPP tersebut. Ia menyebut perlu adanya validasi dan penguatan data dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku untuk memastikan ketepatan angka produksi dan distribusi.
“Data ini penting untuk disandingkan dengan data resmi pemerintah daerah, agar bisa disuarakan ke pusat. Maluku harus bersuara soal dana bagi hasil yang tidak sebanding dengan kontribusi yang diberikan,” kata Laipeny.
Saat ini, Maluku masih mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat yang hanya mencapai Rp 3,3 triliun. Jumlah ini dinilai tidak merepresentasikan kekayaan sumber daya yang disumbang oleh provinsi ini dari sektor perikanan nasional.

Seruan Hilirisasi
Laipeny mendorong agar seluruh pemangku kepentingan di Maluku bersatu dalam menyuarakan keadilan fiskal, terutama dalam hal distribusi dana bagi hasil dari sektor perikanan. Ia juga menyerukan perlunya membangun ekosistem hilirisasi perikanan yang kuat agar nilai tambah dari hasil laut tidak hanya dinikmati oleh luar daerah.
“Kita harus satu suara untuk mendorong program hilirisasi sektor perikanan di Maluku. Jangan lagi hanya jadi tempat eksploitasi, tapi juga pusat pengolahan,” katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya kesadaran kolektif masyarakat Maluku terhadap potensi kekayaan alamnya. Menurutnya, dengan konsolidasi data dan kebijakan yang tepat, Maluku seharusnya bisa berdiri sejajar dengan daerah-daerah maju lain di Indonesia.
“Masyarakat Maluku harus sadar dan peduli. Kita butuh data yang valid untuk memperjuangkan hak kita atas kekayaan laut ini,” pungkasnya.

Seruan Hilirisasi dan Konsolidasi Data
Laipeny mendorong agar seluruh pemangku kepentingan di Maluku bersatu dalam menyuarakan keadilan fiskal, terutama dalam hal distribusi dana bagi hasil dari sektor perikanan. Ia juga menyerukan perlunya membangun ekosistem hilirisasi perikanan yang kuat agar nilai tambah dari hasil laut tidak hanya dinikmati oleh luar daerah.
“Kita harus satu suara untuk mendorong program hilirisasi sektor perikanan di Maluku. Jangan lagi hanya jadi tempat eksploitasi, tapi juga pusat pengolahan,” katanya.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya kesadaran kolektif masyarakat Maluku terhadap potensi kekayaan alamnya. Menurutnya, dengan konsolidasi data dan kebijakan yang tepat, Maluku seharusnya bisa berdiri sejajar dengan daerah-daerah maju lain di Indonesia.
“Masyarakat Maluku harus sadar dan peduli. Kita butuh data yang valid untuk memperjuangkan hak kita atas kekayaan laut ini,” pungkasnya.

Tanggapan Ekonom
Sementara itu, Julius R. Latumaerissa, ekonom dan konsultan perencanaan daerah, dalam pernyataannya beberapa waktu lalu menyebut bahwa ketiga pasangan calon (paslon) gubernur Maluku belum menunjukkan pemahaman yang utuh terhadap permasalahan ekonomi daerah. Hal itu ia sampaikan merespons debat publikPilkada Maluku yang berlangsung pada 27 Oktober 2024 di Ballroom The Natsepa Hotel, Suli, Maluku Tengah.
Menurutnya, isu-isu mendasar seperti ketimpangan ekonomi, ketergantungan pada impor, dan rendahnya kapasitas produksi lokal tidak diulas secara mendalam selama debat berlangsung.
Latumaerissa menyoroti klaim salah satu paslon petahana terkait penurunan persentase kemiskinan selama masa jabatannya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Latumaerissa mencatat bahwa meskipun persentase kemiskinan menurun, jumlah absolut penduduk miskin justru meningkat, dari 301 ribu pada 2019 menjadi 317 ribu pada 2023.
“Kita harus lihat ini secara komprehensif. Persentase menurun, tapi jumlah absolut penduduk miskin bertambah. Ini artinya strategi penanggulangan kemiskinan perlu ditinjau kembali agar tidak hanya bersifat kosmetik,” ujarnya.


Ia menambahkan, peningkatan jumlah penduduk miskin juga dipicu oleh migrasi dari luar daerah dan lemahnya pertumbuhan ekonomi lokal yang belum mampu menciptakan lapangan kerja layak.
Lebih jauh, Latumaerissa juga mengkritisi ketergantungan Maluku terhadap produk impor. Ia menilai, dominasi impor terhadap kebutuhan pokok menunjukkan rendahnya kapasitas produksi lokal dan menjadi penyebab utama aliran modal keluar daerah (capital outflow).
“Kita masih mengandalkan impor untuk kebutuhan dasar. Ini seharusnya menjadi prioritas bahasan para paslon, bukan hanya soal kemiskinan dalam arti sempit,” katanya.
Ia menekankan perlunya revitalisasi sektor pertanian dan perikanan sebagai kekuatan ekonomi lokal agar Maluku dapat mandiri secara ekonomi dan tidak terus-menerus mengalami defisit dalam neraca perdagangan daerah.
Reporter: Ian Sipaheluth Editor : Christ Belseran