titastory, Jakarta – Aktivis HAM sekaligus pendiri Lokataru, Haris Azhar, kembali mengguncang publik melalui pernyataan tajamnya dalam podcast bersama pakar hukum tata negara, Refly Harun, Senin (10/6). Ia mengungkapkan hasil investigasinya di Intan Jaya, Papua, yang menunjukkan adanya cadangan emas mencapai 8,1 juta ton di satu lokasi—dan totalnya diperkirakan bisa tembus 18 juta ton—dengan indikasi kuat dikuasai oleh “pejabat tinggi Jakarta.”
Menurut Haris, data ilmiah yang ia miliki menyebutkan ada satu gunung besar di Intan Jaya, bagian urat emas Pegunungan Tengah Papua, yang mengandung cadangan emas tersebut . “Saya telah melakukan investigasi serta mendapatkan data profesional,” ungkap Haris dalam podcast tersebut.
Haris menuding pengelolaan tambang emas ini telah dikuasai oleh pejabat tinggi di ibu kota yang memanfaatkan kemudahan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Menurutnya, “Cipta Kerja itu sudah selesai di atas kertas. Tapi bagi masyarakat Papua, mereka hanya ditinggalkan dan dipinggirkan.”

Ia juga menyoroti dampak sosial yang menyertai proyek tersebut, di mana masyarakat adat yang hidup harmonis di hutan terusir demi pembangunan sawit dan tambang. “Mereka bukan anti-modern, tapi punya cara hidup sendiri yang bahagia dan mandiri,” tegas Haris.
Haris menyindir narasi pembangunan pemerintah pusat yang mengukur kemajuan dengan infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan mal, namun menurutnya hal ini tidak mencerminkan kebahagiaan orang Papua. Ia menyebut bahwa konsep modernisasi itu tidak relevan bagi masyarakat adat Papua yang hidup sederhana .

Kritik Haris kian tajam saat ia menyinggung trauma kolektif warga Papua terkait operasi militer. Salah satu kasus yang menyeruak adalah pembunuhan pendeta Yeremias Zanambani, yang menuntut keadilan atas penghilangan cucunya. “Dia menjadi ancaman karena bersuara,” ujar Haris menyoroti perlawanan gereja atas pemerintah dan militer.
Refly Harun menambahkan bahwa konflik kepentingan antara negara, pengusaha, dan militer di Papua telah lama dipetakan oleh lembaga seperti LIPI dan Jaringan Damai Papua. Sayangnya, temuan ilmiah tersebut tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. “Karya intelektual JDP sia‑sia karena tidak di‑follow up,” ujar Refly.

Haris pun mengecam orkestrasi kampanye negatif terhadap tokoh seperti Benny Wenda dan Veronica Koman, menilai penyebaran narasi provokatif hanya memperkeruh konflik tanpa menangani akar persoalan—rasisme, penggusuran tanah adat, dan kesenjangan pembangunan—yang sesungguhnya.
Sumber: Podcast. Refly Harun