Hanya Mencegah Kerusakan Lingkungan Lebih Parah dari Tambang Garnet, Pemuda Negeri Haya Didakwa Pasal Pengrusakan

05/08/2025
Kuasa Hukum Ardi Tuahan dan Husain Mahulaw. Foto : Ed/titastory.id

titastory, Ambon – Pada Selasa, 5 Agustus 2025, Husain Mahulauw kembali mengenakan rompi oranye. Ia duduk di bangku terdakwa Pengadilan Negeri Ambon, menghadap hakim. Ia bukan koruptor. Bukan perampok. Tapi ia sedang diadili karena menjaga tanah adat.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Maluku Tengah membacakan dakwaan: melakukan pembakaran dan perusakan barang milik orang lain, merujuk pada Pasal 178 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 dan Pasal 170 ayat 1 KUHP.

“Pekan depan kami akan mengajukan eksepsi secara tertulis,” ujar Dendy Yulianto, kuasa hukum Husain kepada titastory.id.

Bangunan Kantor PN Ambon. Foto : Ist

Husain Mahulauw dan rekannya, Ardi Tuahan, keduanya pemuda adat dari Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, didakwa melakukan tindak pidana atas dugaan pembakaran fasilitas milik perusahaan tambang PT Waragonda Minerals Pratama—perusahaan yang disebut-sebut beroperasi di wilayah adat tanpa persetujuan sah komunitas.

Namun, fakta yang disampaikan keluarga dan warga Haya menunjukkan narasi berbeda. Husain dan Ardi tidak sekadar “membakar”, mereka tengah memprotes perusakan palang sasi adat—simbol larangan sakral masyarakat Haya yang dilecehkan oleh aktivitas perusahaan tambang. Dan kini, bukan perusahaan yang diperiksa, justru warga adat yang duduk sebagai terdakwa.

Palang Sasi yang Diabaikan, Hukum yang Membungkam

Sasi adalah sistem hukum adat tertua di Maluku. Palangnya bukan sekadar kayu melintang, tapi simbol kekuasaan adat atas wilayah, lingkungan, dan hidup masyarakat. Palang itu dipasang karena warga menolak operasi tambang yang membabat tanah ulayat dan merusak hutan leluhur. Namun palang itu dicabut, dilecehkan. Warga adat protes.

Lalu tudingan “pembakaran” datang. Tidak ada pembuktian visual, tidak ada rekaman CCTV, tidak ada saksi yang melihat secara langsung. Tapi aparat bergerak cepat. Sementara laporan masyarakat atas perusakan palang sasi tak satu pun ditindak.

Kejanggalan Hukum dan Tempat Sidang yang Dipindah

Kuasa hukum menyebut proses hukum yang dijalani Husain dan Ardi cacat sejak awal.

“Penetapan tersangka tidak didukung bukti permulaan yang cukup. Saksi pun tidak melihat langsung, hanya berdasarkan keterangan tidak langsung,” kata Dendy Yulianto.

Bukan hanya isi dakwaan, lokasi persidangan pun dipertanyakan. Persidangan digelar di PN Ambon, padahal lokasi kejadian berada di Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, wilayah hukum Pengadilan Negeri Masohi. Padahal Pasal 84 KUHAP mengatur bahwa persidangan harus dilaksanakan di pengadilan wilayah tempat tindak pidana terjadi.

“Pemindahan ke Ambon berpotensi merugikan akses keadilan bagi terdakwa dan keluarga,” tambah Dendy.

Kriminalisasi Pejuang Adat Kian Sistemik

Kasus ini bukan yang pertama. Di berbagai penjuru Indonesia, masyarakat adat yang mempertahankan ruang hidup dari ekspansi tambang, kebun sawit, dan proyek energi seringkali dikriminalisasi. Dari Sabuai, Poco Leok, Talang Mamak, sampai Papua, aktor korporasi justru mendapat perlindungan, sementara warga adat dikriminalkan.

Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 menjamin pengakuan negara terhadap masyarakat hukum adat. Namun implementasi pasal itu sering mandul. Lembaga adat tidak dianggap sah, palang sasi tidak dilihat sebagai aturan hukum yang mengikat. Negara mengabaikan kearifan lokal demi investasi.

“Kalau sasi dianggap tidak sah, sama saja negara menolak eksistensi hukum adat,” ujar seorang tokoh adat Tehoru yang enggan disebutkan namanya.

Ujian untuk Peradilan dan Negara

Persidangan Husain dan Ardi adalah ujian penting bagi integritas peradilan Indonesia dalam menghadapi konflik antara investasi dan hak masyarakat adat. Apakah negara akan menegakkan hukum secara adil? Ataukah hukum kembali tumpul ke atas dan tajam ke bawah?

Warga Haya, para pegiat lingkungan, serta aktivis hak asasi manusia kini menanti: apakah sistem peradilan masih bisa dipercaya untuk berdiri di sisi rakyat yang menjaga hutannya?

Husain Mahulauw tetap tenang di ruang sidang. Ia tahu, perjuangan untuk mempertahankan tanah leluhur tidak selalu mudah. Tapi ia juga percaya, sejarah akan mencatat siapa yang berdiri di sisi benar.

Penulis: Edison Waas

 

error: Content is protected !!