Ambon, —Seorang Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA), mengalami nasib naas setelah dianiaya oleh gurunya sendiri. Peristiwa ini terjadi di ruang asrama Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 40 Ambon. Siswa berusia 17 tahun diduga disiksa dengan cara yang tak terbayangkan: dadanya ditempel setrika panas oleh gurunya sendiri. Namun yang lebih mengejutkan, orang yang membocorkan kejadian itu justru dipecat secara sepihak, seolah ada upaya membungkam suara kebenaran. Padahal sekolah ini dikenal sebagai pelindung anak-anak kurang mampu, justru kini berujung dengan peristiwa gelap yang terjadi diam-diam.
Kasus penyetrikaan itu terjadi pada 12 November 2025. MAL, siswa yang menjadi korban, bersama enam rekannya membuat tato kecil bertuliskan nama masing-masing—kenakalan remaja yang mestinya cukup ditangani dengan pembinaan. Mereka dipanggil oleh wali asuh, ditegur, dan diminta bertanggung jawab. Situasi masih terkendali.
Namun suasana berubah mencekam ketika seorang guru berinisial Bahri memasuki ruangan sambil menggenggam setrika panas yang masih tersambung ke listrik. Tanpa memberi kesempatan berdalih atau membela diri, setrika itu langsung ditempelkan ke dada MAL. Jeritan korban memecah ruangan, meninggalkan luka bakar serius yang membekas hingga kini.
SRMA 40 Ambon—sekolah berasrama di kawasan Lateri, Baguala—selama ini dikenal sebagai tempat pembinaan bagi anak-anak rentan dengan dukungan Kementerian Sosial. Ironisnya, perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan justru berubah menjadi tempat kekerasan.
Pengungkap Kasus Dipecat Mendadak
Kisah ini merembet lebih jauh ketika seorang pegawai internal sekolah, Aprilia Titirloloby, justru menjadi korban berikutnya. Aprilia yang bekerja sebagai juru masak menduga dirinya dipecat karena ikut mengungkap kebenaran soal penyetrikaan siswa.
“Seharusnya kepala sekolah bertindak tegas, bukan malah menutup-nutupi dan bilang tidak ada siswa disetrika,” tegas Aprilia, Selasa (18/11/2025). Ia diberi alasan pemecatan yang menurutnya tak masuk akal.
“Katanya saya sering meminjam uang ke teman-teman. Itu alasan mengada-ada. Tidak ada hubungannya dengan kasus anak disetrika,” ujarnya. Yang membuatnya semakin heran: guru yang diduga menyetrika justru belum mendapat sanksi, sementara ia—yang bersuara—langsung disingkirkan.
Indikasi Upaya Membungkam?
Aprilia khawatir pemecatannya hanyalah bagian dari upaya menutupi kasus kekerasan tersebut. Ia mempertanyakan sikap defensif sekolah dan mengapa pelaku tidak segera diproses.
“Maksudnya apa sampai saya diberhentikan? Anak-anak yang jadi korban, tapi saya yang dikorbankan. Ada apa sebenarnya di sekolah ini?” ungkapnya.
Ia bertekad membawa kasus ini ke Dinas Sosial Maluku hingga Gubernur Maluku, menuntut transparansi dan perlindungan bagi korban.
Kasus kekerasan terhadap siswa di lembaga pendidikan seyogianya tidak pernah dianggap remeh—apalagi jika ada indikasi pembungkaman suara dari pihak yang seharusnya melindungi.
Peristiwa ini membuka pertanyaan besar: Apakah kekerasan di SRMA 40 Ambon hanyalah puncak gunung es dari masalah yang lebih besar?
