Gurita Tambang di Tangan Sang Gubernur: Jejak Bisnis, Kuasa, dan Konflik Kepentingan di Maluku Utara

30/10/2025
Keterangan gambar: Tentakel Bisnis Sherly Laos. Sumber: Dok AHU Kemenkumham 2024 & 2025, Diolah Database Jatam

Jakarta, – Di balik senyum resmi seorang gubernur perempuan pertama di Maluku Utara, tersembunyi jaringan bisnis tambang yang begitu rapat, melilit keluarga, kekuasaan, dan sumber daya alam.

Namanya Sherly Tjoanda Laos, kini Gubernur Maluku Utara, istri almarhum Benny Laos, mantan Bupati Kepulauan Morotai. Di tangannya, politik dan bisnis bertemu di satu titik: tambang nikel dan emas.

Sherly naik ke tampuk kekuasaan melalui kisah yang tampak klasik: meneruskan warisan politik suami yang wafat pada 2024. Namun, di balik cerita politik yang dikemas rapi, terselip gurita bisnis yang diam-diam tumbuh sejak lama.

Dokumen yang diperoleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) memperlihatkan bahwa sebelum menjabat, Sherly sudah menjadi bagian dari konglomerasi keluarga Laos–Tjoanda yang menguasai izin pertambangan di berbagai pulau di Maluku Utara: Gebe, Halmahera, Obi, hingga Sula.

Perusahaan-perusahaan seperti PT Karya Wijaya, PT Bela Kencana, PT Bela Sarana Permai, PT Indonesia Mas Mulia, dan PT Amazing Tabara, muncul berulang dalam catatan izin nikel, emas, dan pasir besi.

“Sherly bukan sekadar pejabat publik. Ia juga pebisnis tambang aktif. Hubungan ini adalah bentuk nyata konflik kepentingan,” ujar Melky Nahar, Koordinator Nasional JATAM.

Keterangan gambar: Peta Sebaran Wilayah Operasi Perusahaan Keluarga Sherly Laos Tjoanda. Sumber: Diolah MODI ESDM dan Database Jatam

Transisi Kekuasaan dan Peralihan Saham

Setelah wafatnya Benny Laos, kepemilikan saham di perusahaan utama keluarga, PT Karya Wijaya, beralih ke tangan Sherly. Ia kini memegang 71 persen saham, sementara tiga anaknya menguasai sisanya.

Perusahaan ini memegang dua konsesi tambang nikel besar — di Pulau Gebe (500 hektare) dan di Halmahera (1.145 hektare) — dengan izin terbaru yang keluar Januari 2025, tepat di masa Sherly mencalonkan diri sebagai gubernur.

“Pola ini klasik dalam politik sumber daya di Indonesia: izin tambang terbit di masa transisi kekuasaan,” ujar Julfikar Sangaji, Dinamisator JATAM Maluku Utara. “Tapi di sini menjadi lebih serius karena penerimanya adalah keluarga penguasa.”

Tak berhenti di situ, Sherly juga tercatat sebagai direktur dan pemegang saham 25,5 persen di PT Bela Group, induk yang menaungi berbagai perusahaan keluarga. Dari konstruksi hingga perdagangan bahan tambang, semua terhubung lewat struktur korporasi yang berlapis-lapis.

Ekonomi Tumbuh, Warga Tumbang

Di atas kertas, Sherly sering menonjolkan “pertumbuhan ekonomi dua digit” Maluku Utara — yang sebagian besar bersumber dari ekspor nikel dan aktivitas smelter. Tapi di lapangan, JATAM mencatat luka sosial yang semakin dalam: di Halmahera Timur, warga Maba Sangaji dikriminalisasi karena menolak tambang. di Obi, abrasi dan pencemaran air meningkat. di Gebe, tumpang tindih izin menyingkirkan lahan kebun warga.

“Pemerintah daerah membanggakan investasi, tapi mengabaikan penderitaan masyarakat adat,” kata Julfikar. “Sebaliknya, perusahaan keluarga pejabat malah terus mendapat izin baru.”

Data JATAM mencatat: dari total 127 izin tambang aktif di Maluku Utara dengan luas 655 ribu hektare, 62 di antaranya adalah tambang nikel — mayoritas berada di wilayah dengan populasi adat dan pesisir yang padat.

Ironisnya, wilayah dengan izin terpadat adalah wilayah di mana keluarga Laos–Tjoanda juga memiliki konsesi.

Keterangan gambar: Potret Permukiman warga Pulau Obi yang terjepung tambang nikel. Terlihat posisi operasi tambang yang berada di dataran yang lebih tinggi. Foto: Tangkapan layar video dokumenter Air Beracun, Mobil Canggih: Rahasia Harita di Maluku Utara, di Channel YouTube @The Gecko Project.

Konflik Kepentingan di Balik Jubah Kekuasaan

Secara hukum, posisi Sherly sebagai kepala daerah sekaligus pemegang saham perusahaan tambang adalah pelanggaran terhadap prinsip conflict of interest sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan, UU Pemerintahan Daerah, serta Peraturan KPK No. 2 Tahun 2019 tentang Pengendalian Gratifikasi dan Konflik Kepentingan.

“Rangkap jabatan seperti ini mengancam prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih. Gubernur seharusnya menjadi pengawas izin tambang, bukan pemilik tambang,” tegas Melky Nahar.

JATAM menilai praktik ini tidak sekadar pelanggaran etik, tetapi berpotensi mengarah pada pelanggaran hukum administrasi dan korupsi kebijakan (state capture).

“Ketika pejabat publik memiliki saham di perusahaan yang diuntungkan oleh kebijakan pemerintah daerah, maka netralitas pemerintahan hilang,” kata Melky.

Dampak dari politik tambang tak hanya mengguncang kepercayaan publik, tetapi juga memperburuk krisis ekologis yang melanda Maluku Utara.

Di Pulau Obi, hutan mangrove rusak oleh limbah nikel. Di Halmahera Selatan, sungai-sungai tercemar lumpur merah. Sementara itu, konflik sosial merebak karena warga yang kehilangan lahan harus berhadapan dengan aparat keamanan.

“Tambang-tambang ini menciptakan ketimpangan baru. Rakyat kehilangan tanah dan air, sementara elite daerah memperkuat posisi ekonomi mereka lewat perusahaan keluarga,” ujar Julfikar Sangaji.

Keterangan gambar: (Atas): Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara dan Peta Wilayah Pertambangan di Maluku Utara; dan (Bawah): Kondisi Perairan di Obi yang tercemar lumpur Ore dari aktivitas pertambangan nikel. Foto ini diolah oleh Artificial intelligence (AI) dan Redaksi titastory

JATAM bersama masyarakat sipil kini mendesak KPK, Ombudsman, dan Kementerian Dalam Negeri agar segera melakukan penyelidikan terhadap potensi pelanggaran etik dan hukum yang melibatkan pejabat publik di sektor tambang.

Mereka juga menuntut moratorium izin tambang baru hingga audit independen dilakukan terhadap semua konsesi di Maluku Utara.

“Jika negara ingin membangun transisi energi yang adil, maka langkah pertama adalah memutus hubungan kekerabatan antara tambang dan kekuasaan,” kata Melky menutup.

Ketika tambang menjadi jantung ekonomi daerah, dan penguasa menjadi bagian dari rantai pasoknya, keadilan sosial dan ekologis semakin menjauh.

Maluku Utara hari ini tumbuh di atas nikel — tetapi juga di atas penderitaan masyarakat adat dan kerusakan lingkungan.

Sementara di kantor gubernur, di balik senyum seremonial dan rapat investasi, satu pertanyaan terus menggema di ruang publik: bisakah seorang gubernur menjadi pengawas tambang, jika tambang itu miliknya sendiri?

error: Content is protected !!