Gubernur Maluku Utara Soal Kerusakan Ekologis: “Saya Tidak Punya Data untuk Menjawab”

24/11/2025
Keterangan gambar: Dialog Sherly Laos, Gubernur Maluku Utara dengan Rosianna Silalahi dalam program “Rosi” KompasTV, Kamis (20/11), dengan tema di Pusaran Isu Tambang.” Foto: Screenshoot Video KompasTV

Jakarta, – Baru sebulan memimpin, Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda sudah berada di bawah sorotan publik. Ia dituding abai terhadap kerusakan ekologis di wilayahnya, memihak kepentingan pengusaha tambang, hingga disebut-sebut memiliki keterkaitan dengan sejumlah perusahaan nikel.
Kontroversi ini kembali mencuat saat Sherly hadir dalam program “Rosi” KompasTV, Kamis (20/11), dengan tema “Gubernur Sherly di Pusaran Isu Tambang.” Di hadapan Rosianna Silalahi, Sherly diminta menjelaskan sikap dan langkah pemerintahannya terhadap kerusakan lingkungan yang kian parah di Teluk Weda dan wilayah tambang lain di Maluku Utara.

Potret sungai yang tercemari akibat aktifitas tambang nikel di wilayah Wasile, Halmahera Timur. Foto: Ist

Dihadapkan Data Kerusakan, Gubernur Menjawab: “Saya Tidak Punya Data”

Rosi membuka diskusi dengan memaparkan temuan kontaminasi merkuri dan arsenik di Teluk Weda dan Sungai Sagea—wilayah yang kini kehilangan sumber ikan dan air bersih akibat aktivitas tambang.

“Sebagai diver, Ibu pasti pecinta lingkungan. Apa perhatian Ibu terhadap kerusakan yang mengancam kehidupan masyarakat?” tanya Rosi.

Sherly terlihat gamang.
“Soal dampak ekologis itu memang rusak, tetapi untuk menjawab semuanya harus ada data. Saya tidak bisa menjawab karena saya tidak punya data,” ujarnya.
Pernyataan ini memicu kritik keras, mengingat kerusakan lingkungan di Maluku Utara telah menjadi sorotan nasional selama beberapa tahun terakhir.

Keterangan foto: Sampul utama dari laporan penelitian JATAM bertajuk “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”. Foto: JATAM

Dalih Soal Kewenangan

Sherly menegaskan bahwa pemerintah provinsi tidak memiliki kewenangan menutup perusahaan tambang.
“Semua izin berada di pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM. Kami hanya bisa bersurat,” katanya.

Ia mencontohkan kasus banjir limbah nikel di Halmahera Timur yang merendam sawah warga, namun Pemprov tidak dapat menindak perusahaan.
“Kami melaporkan, setelah itu kementerian yang menurunkan tim,” ujarnya.

Kontradiksi: Penghasil Nikel Terbesar, Warga Tak Sejahtera

Sherly juga mengakui bahwa meski Maluku Utara adalah salah satu penghasil nikel terbesar di Indonesia, manfaat ekonomi tidak dirasakan masyarakat.
“Ini sangat disayangkan,” ucapnya.

Janji Legalitas Tanah Adat dan Rencana bagi Lahan

Di tengah kritik terkait konflik agraria akibat ekspansi tambang, Sherly mengatakan legalitas tanah adat harus diperkuat.

“Sudah puluhan tahun mereka hidup di atas tanah itu, tetapi tidak ada legalitas.”
Ia mengaku telah menyampaikan persoalan ini ke Kementerian ATR melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
Sherly juga mengumumkan rencana baru:
Setiap keluarga yang kehilangan tanah akibat tambang akan mendapat kompensasi lahan satu hektare.
“Saya sedang mendalami teknisnya,” ujarnya.

Siap Dikritik, Kata Sherly

Di akhir acara, Sherly menyatakan keterbukaan pada kritik.

“Saya pahami kekecewaan dan kecemasan aktivis, LSM, dan media. Saya selalu membuka ruang untuk diskusi demi Maluku Utara.”

Namun, pernyataan “tidak punya data” justru memperkuat kritik bahwa pemerintah provinsi tampil tanpa kesiapan menghadapi masalah ekologis yang sudah berada dalam status darurat.

error: Content is protected !!