TITASTORY.ID – KAPITAN JONCKER adalah tokoh ‘manusia setengah dewa’ yang dapat ditemukan dalam tuturan rakyat Maluku. Meski demikian, kisah tentang Kapitan Joncker ini tidak dapat dipandang sebagai suatu dongeng, tetapi lebih sebagai suatu mitos (Palmquis, Stephen (2002) Pohon Filsafat, The Tree of Philosophy. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 27). Francois Valentijn (1666- 1727), Mr. Jacob Anne van der Chijs, dan Dr. Frederik de Haan, adalah para penulis bangsa Belanda yang telah berjasa besar dalam memisahkan apa yang merupakan ‘cerita dongeng’, dan apa yang merupakan ‘kebenaran sejarah’ dari diri seorang Kapitan Joncker (Nanulaitta, I. O. (1966) Timbulnya Militerisme Ambon Sebagai Suatu Persoalan Politik, Sosial – Ekonomis. Jakarta: Perusahaan Negara (PN) Percetakan Negara, h. 91).
Valentijn hidup ‘hampir’ se-zaman dengan Kapitan Joncker. Sedangkan Mr. J. A. van der Chijs adalah Kepala ‘Arsip Negara’ (Landarchief) pertama yang memegang jabatan tersebut dari tahun 1892 hingga tahun 1905. Van der Chijs kemudian digantikan oleh Dr. F. de Haan, yang memangku jabatan ‘kepala Arsip Negara’ (Landarchivaris) dari tahun 1905 hingga tahun 1922.
Nama Joncker ditemukan dalam Dokumen-dokumen, Dagregisters maupun Resolutiens. Dalam suatu akta tanggal 22 November 1664, tertulis nama, Joncker Jouwa de Manipa. Akta ini menunjukkan bahwa, Kapitan Joncker berasal dari pulau Manipa, Maluku. Dalam hubungan dengan perihal ini, Kapitan Joncker adalah suatu istilah untuk menyebut seseorang yang bernama, Achmad Salehua (Nanulaitta, 1966: 91).
Nama ‘Joncker’ itu sendiri kemungkinan besar adalah suatu istilah yang berasal dari kata dalam bahasa Belanda, Jonkheer, yang berarti sebagai, Tuan (Muda). Dalam dialek orang Maluku, Jonkheer diucapkan sebagai, Yongker. Ucapan Yongker tersebut, dalam ejaan bahasa Indonesia yang belum disempurnakan ditulis sebagai, Jongker. Bernard Hubertus Maria Vlekke dalam halaman 189 dari buku dibawah judul, Nusantara, Sejarah Indonesia, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2010 oleh penerbit ‘Kepustakaan Populer Gramedia’ (KPG) bekerjasama dengan Freedom Institute, Joncker ditulis dengan nama, Jonker. Nama Jonker ini, juga digunakan untuk menyebut Joncker oleh M. C. Ricklefs, sebagaimana dapat ditemukan dalam halaman 184 dari buku dibawah judul, Sejarah Indonesia Modern, 1200-2008, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2008 oleh Penerbit Serambi. Demikian pula dengan I. O. Nanulaitta (1966: 90-111), yang menggunakan nama Jonker untuk menyebut Joncker.
Sementara itu, Sir Thomas Stamford Bingley Raffles dalam halaman 524 dan 525 dari buku dibawah judul, The History of Java, yang diterbitkan di Jogjakarta pada tahun 2008 oleh penerbit Narasi, Joncker ditulis dengan nama, Jengker. Sir Th. S. B. Raffles (1781-1826) adalah seorang negarawan berkebangsaan Inggris yang memegang jabatan Letnan Gubernur di Hindia- Belanda dari tahun 1811 hingga tahun 1816, ketika Kerajaan Inggris menguasai wilayah Hindia- Belanda selama kurang lebih 5 tahun (1811-1816). Sedangkan pada ‘batu nisan’ di makam Kapitan Joncker di kawasan Pejongkeran, wilayah Marunda, Jakarta Utara, Joncker ditulis dengan nama: “Yonker”.
Achmad Salehua adalah anak dari Kawasa Salehua yang diberi gelar ‘Sangadji’ (Raja) oleh ‘Hamzah’ (Sultan Ternate), ketika ‘Sang Sultan’ sedang berada di Tumalehu, Pulau Manipa, Maluku, pada tahun 1638. Sangadji Kawasa Salehua kemudian lebih sering disapa dengan nama Sangadji Kawasa, sehingga mempengaruhi juga sapaan untuk anaknya Achmad Salehua. Pada akhirnya, Achmad Salehua lebih sering disapa dengan nama Achmad ‘Sangadji’, yang berarti sebagai, Achmad anak ‘Raja’ (Kawasa Salehua).
Achmad Sangadji alias Kapitan Joncker dilahirkan pada tahun 1620, di Tumalehu,pulau Manipa, Maluku. Kapitan Joncker tumbuh menjadi dewasa dalam lingkungan peperangan rakyat Maluku melawan ‘Persatuan Perusahaan Hindia-Timur’ (Vereenigde – Nederlandsche Geoctrooyeerde – OostIndische Compagnie’ (VOC)) yang didirikan atas prakarsa dari Johand van Oldenbamevelt dan Staten Generaal pada tanggal 20 Maret 1602, dengan tokoh kunci ‘Dewan tujuh belas’ (Heeren XVII). Dimana pada tahun 1669, Penguasa VOC telah memiliki 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 pegawai, dan 10.000 tentara bayaran (Watubun, Komarudin (2017) Maluku ‘Staging Point’ RI Abad 21. Jakarta: Yayasan Taman Pustaka, h. 296). Peperangan yang berlangsung dari tahun 1616 hingga tahun 1656 tersebut, tidak hanya dipenuhi oleh peristiwa- peristiwa kepahlawanan, tetapi juga diwarnai dengan intrik, dan peristiwa-peristiwa pengkhianatan (Nanulaitta, 1966: 58-89).
Semua peristiwa tersebut di atas, dialami juga oleh Kapitan Joncker yang turut terlibat dalam peperangan tersebut. Selain memiliki ‘pengalaman tempur’ disamping ayahnya, Kapitan Joncker juga memiliki ‘pengalaman negosiasi’ sebagai seorang negosiator dalam suatu misi politik/diplomatik ke Makasar, Sulawesi Selatan, bersama dengan ‘Kimelaha Madrija’ (Penguasa Hoamoal Belakang pada saat itu) untuk meminta kesultanan-kesultanan di Makasar membantu ‘ayahnya’ (Sangadji Kawasa) melawan Penguasa VOC. Misi tersebut berlangsung dengan sukses (Juli 1652 – Juni 1653), sehingga berhasil mandatangkan bala bantuan sejumlah kurang lebih 9.413 orang prajurit banyaknya dari ‘Makasar’ (Kesultanan Gowa dan Kesultanan Tallo) yang mendarat di pulau Manipa pada bulan Oktober tahun 1653 (Nanulaitta, 1966: 84- 86). Nanulaitta (1966: 89) mengemukakan, bahwa: “Seabad lamanya berperang, merupakan ‘lahan subur’ (voedings bodem) yang baik bagi perkembangan militerisme Ambon”.
Namun demikian, pada awal tahun 1654, Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn (Gubernur VOC di Maluku, dan ‘Panglima Tertinggi’ (Superintendent) VOC di bagian Timur ‘Kepulauan India’ (Indian Archipelago)) menyerang pulau Manipa dan menahan Putera-putera Orang Kaya serta Sangadji Kawasa maupun keluarganya. de Vlamingh kemudian membawa mereka semua sebagai tawanan dan ditempatkan di kawasan Batumerah, pulau Ambon, Maluku, serta diperlakukan seperti budak. Ketika itu, Joan Maetsuycker (1606-1678) menjadi Gubernur Jenderal VOC di ‘Kepulauan India’ (Indian Archipelago) (1653-1678). Kepulauan India (Indian Archipelago) itu sendiri adalah salah satu dari beberapa istilah yang digunakan sebagai nama untuk menyebut ‘pulau-pulau yang terhapar di permukaan samudera India bagian timur’, sebab istilah Hindia-Belanda belum ada pada saat itu sampai/dengan tahun 1800 (Elson, Robert Edward (2009) The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran Dan Gagasan. Jakarta: Serambi, h. 2).
Kemudian pada tanggal 3 Maret 1656, de Vlamingh melakukan pengosongan atas Jazirah Hoamoal – termasuk pulau Manipa – dengan cara melakukan ‘deportasi’ terhadap sejumlah kurang lebih 12.000 orang banyaknya. Pada tanggal 6 Maret 1656, ‘exodus’ itu dimulai. Jazirah Hoamoal yang telah dikosongkan itu, kemudian ditempati oleh orang-orang dari Jazirah Lease. Sedangkan orang-orang dari pulau-pulau Kelang, Buano, dan Ambalau, dipindahkan ke pulau Manipa yang telah dikosongkan sebelumnya (Nanulaitta, 1966: 87).
Pada bulan April tahun 1656 di Ambon, Maluku, de Vlamingh membentuk satu kompi tentara yang berjumlah sebanyak kurang lebih 100 orang, dengan ‘Kapten Tahalele’ (Raja Luhu) sebagai Komandan Kompi. Dalam kompi ini, terdapat satu peleton tentara yang beranggotakan 30 orang, yang direkrut sendiri oleh de Vlamingh di pulau Manipa. Kapitan Joncker yang pada saat itu berusia 36 tahun, adalah salah seorang anggota Kompi tersebut, dengan pangkat ‘Letnan Muda’ (Vaandrig) (Nanulaitta, 1966: 93; Matanasi, Petrik (2016) Hikayat Kapiten Jonker. Jakarta: tirto.id, h. 2).
Indra J. Piliang, dalam halaman 4 dari tulisan dibawah judul, Liberasi dan Perang Bandar Pariaman, mengemukakan bahwa, Kompi Ambon mengandalkan senjata parang, ‘perisai’ (salawaku), dan tombak, untuk pertempuran jarak dekat. Sementara itu, I. O. Nanulaitta (1966:93) menyatakan, bahwa: “Inilah kompi yang pertama-tama dalam sejarah militerisme Ambon”. Pertempuran melawan orang-orang ‘Amarasi’ (sebelah barat dari pulau Timor bagian selatan) yang dibantu oleh orang-orang Portugis pada tahun 1656, merupakan operasi militer pertama yang dilakoni oleh Kapitan Joncker bersama dengan Kompi Ambon (Nanulaitta, 1966: 94).
Penguasa VOC kemudian melibatkan kompi Ambon dalam berbagai ekspedisi militer di seluruh wilayah Kepulauan India, bahkan sampai ke daratan India dan daratan ‘Srilanka’ (Ceylon). Dalam suatu serangan di Srilanka/Ceylon untuk merebut kota Jaffnapatnam (6 Juni 1658 – 23 Juni 1658) dari orang-orang Portugis, tangan kiri Kapitan Joncker terkena tembakan. Meskipun kota tersebut berhasil direbut, tetapi tangan kiri Kapitan Joncker mengalami cacat permanen dan tidak dapat berfungsi lagi sejak saat itu (Nanulaitta, 1966: 94).
Namun pada saat itu pula, Kapitan Joncker telah menyandang tanda pangkat ‘Kapten’ (Kapitein (Bahasa Belanda) atau Kapitan (Bahasa Spanyol)), dan menjadi Komandan Kompi Ambon menggantikan Kapten Tahalele. Penguasa VOC kemudian memberikan ganti rugi kepada Kapitan Joncker uang sejumlah 50 real, setelah Kapitan Joncker menghadap ‘Dewan Hindia’ (Raad van Indie) dan menyerahkan suatu permohonan tertulis kepada Rijklof van Goens untuk mendapat ganti rugi atas tangannya yang telah cacat itu (Nanulaitta, 1966: 95).
Dalam bulan Januari tahun 1672, Kapitan Joncker menerima penghargaan istimewa dari Penguasa VOC berupa plakat perkamen yang ditulis dengan huruf-huruf ke-emasan, dan yang diletakkan dalam kotak emas, dengan diberi ‘segel’ (zegel). Van der Chijs mencatat bahwa, penghargaan semacam ini sebelum dan sesudahnya tidak pernah diberikan kepada seorang serdadu pribumi yang berasal dari bangsa-bangsa di wilayah Kepulauan India. Penguasa VOC juga memberikan kenaikan gaji kepada Kapitan Joncker, dari 20 ringgit setiap bulan menjadi 40 ringgit setiap bulan (Nanulaitta, 1966: 98).
Penghargaan tersebut di atas diberikan oleh Penguasa VOC kepada Kapitan Joncker atas jasa- jasa dan kesetiaannya dalam peperangan di India, Srilanka/Ceylon, Sumatera-Barat (Minangkabau), dan di Sulawesi-Selatan (Makasar). Dalam perang di Minangkabau, Kapitan Joncker turut serta dalam perundingan-perundingan staff Penguasa VOC sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Besluit Hoge Regering tanggal 6 Agustus 1666, dan ‘Kapitan Joncker juga diangkat oleh Penguasa VOC menjadi Panglima Pariaman’ (Dagregister tanggal 2 November 1666: dalam surat dari Indrapura dan Padang, Kapitan Joncker disebut, Raja Ambon) (Nanulaitta, 1966: 95-96; Vlekke, 2010: 191-192). Rusli Amran dalam Hendi Johari sebagaimana termuat dalam tulisan dibawah judul, Kapiten VOC bernama Joncker, yang diterbitkan di Jakarta pada tanggal 27 Juli 2019 oleh Majalah Historia, menyebutkan bahwa, dalam suatu pertempuran di Minangkabau, Kapitan Joncker tertusuk tombak sebanyak tiga kali, tetapi Kapitan Joncker masih tegak berdiri, bahkan: “ … mengamuk bak banteng terluka”.
Sedangkan dalam perang di Makasar, Sultan Hasanuddin (1631-1670), dari Kesultanan Gowa yang dijuluki oleh Penguasa VOC sebagai, ‘Ayam Jantan dari timur’ (de Haantjes van het osten), berhasil ditaklukkan pada tanggal 24 Juni 1669, setelah sebelumnya diadakan suatu perjanjian perdamaian di Bonggaja pada tanggal 18 November 1667 (Nanulaitta, 1966: 96-97;Ricklefs, 2008: 133; Vlekke, 2010: 189). Ironisnya adalah, Kesultanan Gowa merupakan salah satu kesultanan yang telah mengirim pasukannya bersama dengan pasukan Kesultanan Tallo, yang berjumlah kurang lebih 9.413 orang prajurit banyaknya ke pulau Manipa pada bulan Oktober tahun 1653, untuk membantu ‘ayah Kapitan Joncker’ (Sangadji Kawasa) ketika sedang berperang melawan Penguasa VOC. Tragisnya adalah, Kapitan Joncker sendiri merupakan salah seorang utusan Sangadji Kawasa dalam ‘misi’ (Juli 1652 – Juni 1653) untuk meminta bantuan tersebut secara langsung kepada Sultan Kesultanan Gowa dan Sultan Kesultanan Tallo.
Pada tanggal 23 April 1681, Kapitan Joncker kembali mendapat penghargaan dari Penguasa VOC berupa ‘medali emas yang berantai’ (harganya: 500 ringgit) sebagai penghargaan atas jasanya menangkap Raden Trunojoyo alias Panembahan Maduretno Panatagama (1649-1680) yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Susuhunan Amangkurat I (1619- 1677), dan terhadap pemerintahan Susuhunan Amangkurat II (1677-1703) dari Kerajaan Mataram. Kapitan Joncker menangkap Trunojoyo pada tanggal 26 Desember 1679, di daerah Limbangan, Lereng Gunung Kelud, Jawa Timur, hanya dengan kekuatan 120 orang serdadu Ambon. M. C. Ricklefs (2008: 184) menulis, bahwa: “ … Dia (Kapitan Joncker-Penulis) bukan hanya bertempur melawan Trunojoyo, melainkan menawannya sendiri pada akhir tahun 1679”. Sejalan dengan Ricklefs, B. H. M. Vlekke (2010: 201) juga menulis, bahwa: “Jonker adalah orang yang akhirnya memaksa ‘si pemberontak’ (Trunojoyo-Penulis) menyerah”. Pada saat itu, Kapitan Joncker memegang jabatan ‘Komandan Pasukan Pengawal Susuhunan Amangkurat II’.
Dimana sebelumnya, Trunojoyo berhasil mengalahkan pasukan Penguasa VOC dibawah komando Anthonio Hurdt yang berjumlah sebanyak kurang lebih 5.000 orang serdadu dalam suatu pertempuran di daerah Kapar, Jawa Timur, yang berlangsung dari bulan Juli 1679 hingga bulan Oktober 1679. Pada tanggal 15 Oktober 1679, Jacob Couper (Perwira VOC keturunan Scotlandia) menulis surat kepada Penguasa VOC, bahwa: “ … dari kira-kira 5.000 orang serdadu, sekarang tinggal hanya 1.601 orang saja … “ (Nanulaitta, 1966: 99).
‘Medali emas yang berantai’ tersebut di atas, diberikan oleh Penguasa VOC kepada Kapitan Joncker setelah Kapitan Joncker mengajukan permohonan kepada Penguasa VOC pada tanggal 13 September 1680, dan pada bulan Januari tahun 1681, untuk mendapatkan uang sebanyak
3.000 ringgit sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Penguasa VOC kepada Kapitan Joncker pada tahun 1677, jika Kapitan Joncker dapat menangkap Trunojoyo, ‘hidup’ atau ‘mati’ (Nanulaitta, 1966: 100).
Janji tersebut di atas, tidak pernah ditepati/dipenuhi oleh Penguasa VOC maupun oleh ‘Susuhunan Amangkurat II’ (dalam Resolutie yang berkenaan dengan penyerahan medali tersebut, ditekankan oleh Penguasa VOC bahwa sesungguhnya Susuhunan Amangkurat II yang harus memberikan hadiah uang 3.000 ringgit kepada Kapitan Joncker seperti yang telah dijanjikan). I. O. Nanulaitta (1966: 100) menulis, bahwa: “Kapitan Joncker menerima medali itu pada tanggal 23 April 1681, akan tetapi satu-sen-pun tak diperolehnya”.
Ironisnya adalah, Trunojoyo yang telah ditangkap ‘hidup-hidup’ oleh Kapitan Joncker, justeru dibunuh dengan sangat mudahnya oleh ‘Raden Mas Rahmat/Sunan Amral’ (Susuhunan Amangkurat II) melalui tikaman Keris Pusaka Kyai Balabar di Balairung Payak, Bantul, Yogyakarta, pada tanggal 2 Januari 1680. Terhadap perihal ini, Capt. R. P. Suyono dalam halaman 72 dari buku dibawah judul, Peperangan Kerajaan di Nusantara, Penelusuran Kepustakaan Sejarah, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2003 oleh ‘Gramedia Widiasarana Indonesia’ (Grasindo) menulis, bahwa: “Orang yang tidak berani dihadapinya dalam pertempuran terbuka itu, ditusuknya dengan cara tidak jantan. Trunojoyo kemudian meninggal di kakinya”. Tragisnya adalah, Tubuh Trunojoyo kemudian ‘dimutilasi’ atas perintah Susuhunan Amangkurat II.
Peristiwa tersebut di atas, adalah sebagaimana yang dicatat oleh Sir Th. S. B. Raffles (2008: 524), bahwa: “Setelah peristiwa tersebut, Sang Susuhunan kembali duduk di atas singgasananya, dan dia kemudian menyuruh orang-orangnya, yang telah berkumpul untuk menyelesaikan pekerjaan yang telah ia buat. Dengan segera orang-orang tersebut, semuanya mengerumuni Trunojoyo yang bernasib malang, dan kemudian menusuknya berulang-ulang di berbagai tempat dan juga memotong-motong tubuhnya menjadi bagian-bagian kecil. Mereka lalu memisahkan kepalanya dari badannya, menceburkannya ke dalam lumpur, kemudian menginjak-injaknya, dan pada akhirnya melemparkan kepalanya itu ke dalam selokan atas perintah yang diucapkan Sang Susuhunan”.
Setelah pertempuran yang berlangsung kurang lebih 2 hari lamanya yaitu, dari tanggal 28 Desember 1682 sampai/dengan tanggal 29 Desember 1682, Kapitan Joncker berhasil merebut benteng Tirtayasa, dan sekaligus juga sukses menghancurkan Angkatan Perang Kerajaan Banten dibawah komando ‘Abdulfatah’ (Sultan Ageng Tirtayasa), yang terkenal amat sangat kuat pada zaman itu, sebab dibangun dengan model Eropa oleh ahli-ahli dari Inggris, Belanda, dan Turki (Nanulaitta, 1966: 102).
Sejak tahun 1680, Benteng Tirtayasa telah diserang berulang kali oleh Penguasa VOC dibawah komando Mayor Isaac de l’Ostale de Saint-Martin (Perwira VOC keturunan Perancis) dan kemudian dibawah komando Kapten Francois Tack secara silih berganti, tetapi yang selalu gagal sama sekali dalam merebut benteng tersebut (Nanulaitta, 1966: 103). Pertempuran tersebut di atas, adalah medan perang terakhir bagi Kapitan Joncker dalam Kemiliteran VOC, tetapi merupakan ‘medan perang’ baru bagi Kapitan Joncker yang akan berhadapan dengan Isaac de l’Ostale de Saint-Martin.
Perang terbuka antara Kapitan Joncker dengan St. Martin – yang pada saat itu telah menjadi anggota ‘Dewan Hindia’ (Raad van Indie), dan ‘Panglima Tertinggi’ (Superintendent) Angkatan Perang VOC (28 Agustus 1685) – dimulai ketika St. Martin menemukan ‘surat rahasia’ yang dikirim oleh Kapitan Joncker kepada Cornelis Janzoon Speelman (1628-1684) yang pada waktu itu telah menjadi Gubernur Jenderal VOC (1681-1684). Dimana dalam ‘surat rahasia’ tersebut, Kapitan Joncker menulis laporan tentang ketidaksanggupan St. Martin dalam memimpin pasukan VOC untuk merebut benteng Tirtayasa, dan sekaligus juga ketidakmampuan St. Martin dalam memimpin pasukan VOC untuk menghancurkan Angkatan Perang Kerajaan Banten pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa. Berdasarkan ‘surat rahasia’ dari Kapitan Joncker tersebut, Speelman lalu memberhentikan St. Martin dari jabatannya sebagai Komandan Tentara VOC di Banten pada bulan Desember 1682. Speelman kemudian mengangkat Kapten Francois Tack sebagai Komandan Tentara VOC yang baru di Banten untuk menggantikan posisi St. Martin. Menurut Nanulaitta (1966: 105): “Peristiwa inilah yang mendorong St. Martin untuk ‘melenyapkan’ Kapitan Joncker”.
St. Martin – dengan menggunakan pengaruhnya sebagai anggota Dewan Hindia, dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang VOC – kemudian menyusun ‘strategi’ dan ‘taktik’ untuk ‘melenyapkan’ Kapitan Joncker. Melalui serangkaian ‘operasi rahasia’ yang berlangsung dari tanggal 21 Oktober 1688 hingga tanggal 22 Agustus 1689, dengan melibatkan ‘Kyai Demang Singa Wiludra alias Buleleng dari Bali’ (bekas tawanan Kapitan Joncker yang kemudian diberi pangkat Kapten oleh Penguasa VOC karena jasa-jasanya kepada St. Martin), van Hoorn, Letnan Pattinggi, de Bevere (salah seorang anggota Dewan Hindia), Sersan Mathijs Jansen (mata-mata (intel/spion) St. Martin yang kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan pada tanggal 2 September 1689), Wanderpoel, dan Jaan Alberh Sloot, maka pada tanggal 23 Agustus 1689, dilakukan Rapat/Sidang Penguasa VOC tanpa kehadiran ‘Johannes Champuys’ (1634-1695) (Gubernur Jenderal VOC pada saat itu (1684-1691)). Sidang kemudian ditutup dengan keputusan: “Kapitan Joncker harus diserang” (Nanulaitta, 1966: 107).
Pada malam hari itu juga, tanggal 23 Agustus 1689, sebanyak kurang lebih 1.535 orang serdadu melakukan penyerangan terhadap Kapitan Joncker. 1.535 orang serdadu tersebut, terdiri dari:
(1) 221 orang pasukan Belanda dibawah komando J. A. Sloot dari benteng Jacatra; 50 orang pasukan Matros; 600 orang pasukan Melayu, Bugis, dan Mardijkers; (2) Pasukan dibawah komando Wanderpoel, yang terdiri dari: 314 orang serdadu Belanda; 350 orang pasukan Bugis, Makasar, dan ‘Bali’ (turut serta: ‘Kyai Demang Singa Wiludra alias Buleleng’) (Nanulaitta, 1966: 108).
Dalam penyerangan tersebut di atas, Kapitan Joncker mati terbunuh oleh sabetan pedang Letnan Holscher dalam suatu pertempuran sengit di Sukapura, Batavia (Jakarta). Kapitan Joncker meninggal dunia dalam usia 69 tahun (Dagregister tanggal 25 Agustus 1689) sebagai seseorang yang beragama islam, dan dimakamkan di Marunda, Batavia (Jakarta). Van der Chijs, menulis, bahwa: “Joncker lahir dan mati sebagai pengikut Muhammad (Joncker is in het Mohammedaansh geloof geboren en gestorven)”. Kenyataan ini sekaligus membantah pendapat umum orang Ambon bahwa, Kapitan Joncker telah menjadi Kristen dengan nama baptis, Dominggus Pelahua, yang berarti sebagai: “Dominggus ‘Saudara’ (Pela) ‘Allah’ (Hua)” (Nanulaitta, 1966: 97).
Pada saat ini, Makam Kapitan Joncker masih tetap ada pada tempatnya seperti semula di wilayah Marunda, Jakarta Utara. Sekalipun wilayah tersebut telah beralih fungsi menjadi tempat bongkar muat peti kemas yang dikenal sebagai pelabuhan Alfa. Kawasan di sekitar wilayah Marunda, dimana makam Kapitan Joncker berada, disebut sebagai kawasan ‘Pe- jongker-an’, yang berasal dari nama, Kapitan Joncker. Hingga saat ini, makam Kapitan Joncker di kawasan Pejongkeran, wilayah Marunda, Jakarta Utara, masih dikunjungi oleh banyak orang, yang datang dari berbagai kalangan; dan dengan berbagai motifasi. Dari rakyat jelata hingga pejabat negara; dari yang hanya sekedar melayat hingga yang mengharap berkat. Pada ‘Batu Nisan’ Makam Kapitan Joncker, tertulis: “Kapitan Yonker Dari Maluku”.
Dalam hubungan dengan peristiwa tersebut di atas, terdapat laporan berbeda yang disampaikan dalam Rapat-rapat Dewan Hindia dan dalam Rapat-rapat Penguasa VOC maupun dalam Rapat-rapat bersama antara Dewan Hindia dan Penguasa VOC. Terdapat laporan dari de Bevere (salah seorang anggota Dewan Hindia) kepada St. Martin pada tanggal 31 Juli 1689, yang menyatakan bahwa, Kapitan Joncker dengan pasukannya telah bersiap-siap untuk menyerang ‘benteng VOC’ (Jacatra) di Batavia (Nanulaitta, 1966: 106), tetapi terdapat juga laporan dari Kapten Ruys – yang berdasarkan hasil keputusan rapat penguasa VOC pada tanggal 3 Agustus 1689, ditugaskan untuk melakukan penyelidikan terhadap Kapitan Joncker – yang menyatakan bahwa, tidak ada samasekali persiapan-persiapan Kapitan Joncker untuk menyerang benteng Jacatra di Batavia (Nanulaitta, 1966: 107).
Dua hari setelah peristiwa pembunuhan terhadap Kapitan Joncker, baik St. Martin maupun van Hoorn, mengajukan permintaan untuk dibebaskan dari tugas mengurus soal-soal orang Pribumi, dengan alasan: “Karena mereka berdua memiliki terlalu banyak pekerjaan lain yang harus mereka berdua lakukan (Omdat zij te veel andere werkzaamheden hadden te verrigten)”, tetapi menurut van der Chijs: “Karena mereka berdua sendiri menjadi takut akan konsekuensi dari tindakan mereka berdua sendiri dan tindakan pemerintah’ (Omdat zij zelve bang werde voor de gevolgen van hunne eige handeling en van die der Regeering)”. Terhadap pendapat van der Chijs ini, de Haan mengecam van der Chijs sebagai: tidak objektif. Pada tanggal 13 September 1689, baik St. Martin maupun van Hoorn, kembali mengajukan permintaan yang sama, tetapi ditolak. Dalam hubungan dengan perihal ini, Nanulaitta (1966: 109) berpendapat, bahwa: “Kesalahan yang dibuat oleh Joncker, ialah sikapnya yang acuh-tak-acuh, suatu sikap seorang Kapitan Ambon yang merasa ‘terlalu percaya diri’ (te zelfverzekerd)”.
Terlepas dari segala perdebatan dan/atau ‘kontroversi’ (controversy) tentang kematian Kapitan Joncker sebagaimana tersebut di atas, Kapitan Joncker dikenang tidak hanya karena kemampuannya dalam menyelesaikan peperangan melalui ‘jalan pedang’, tetapi juga melalui ‘jalan damai’ tanpa harus menarik pelatuk senjata. Perihal ini adalah sebagaimana yang terjadi ketika Kapitan Joncker berhasil membantu VOC mengadakan perjanjian dagang dengan Sultan Bacan pada tanggal 25 Maret 1667, kemudian dengan Sultan Tidore pada tanggal 29 Maret 1667, dan dengan Sultan Ternate pada tanggal 30 Maret 1667. Pada tahun 1680, Kapitan Joncker juga berhasil membantu VOC dalam mendamaikan permusuhan yang terjadi antara Kesultanan Jambi dengan Kesultanan Palembang tanpa menembakkan satu butir peluru pun (Nanulaitta, 1966: 96 & 100; Vlekke, 2010: 189-190).
Kapitan Joncker adalah seorang perwira militer profesional sejati yang hanya menjalankan perintah atasan sebagai suatu kewajiban (jika diperlukan dipanggil; sesudah melakukan tugas: dipulangkan; dan kemudian: … dilupakan (Nanulaitta, 1966: 110)), dan yang menuntut hak sesuai aturan hukum yang berlaku (misalnya, ketika Kapitan Joncker menuntut ganti rugi atas tangannya yang cacat permanen sebagai akibat dari sebab melaksanakan perintah militer penguasa VOC (Nanulaitta, 1966: 95)) serta menuntut pemenuhan janji (misalnya, ketika Kapitan Joncker menuntut 3000 ringgit yang dijanjikan oleh Laksamana C. J. Speelman dan Susuhunan Amangkurat II yang kemudian diperkuat oleh Penguasa VOC, dan yang diulangi lagi oleh Jenderal Anthonio Hurdt (Nanulaitta, 1966: 100)). Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa, Kapitan Joncker tidak pernah melakukan lebih dari apa yang menjadi kewajibannya, dan tidak pernah meminta lebih dari apa yang menjadi haknya. Disini jelas bahwa, Kapitan Joncker bukanlah tipe manusia yang ‘galojo’ (loba/tamak/rakus): kekuasaan, kekayaan, pangkat maupun jabatan.
Bahkan Kapitan Joncker tidak pernah meminta Penguasa VOC untuk memberikan ‘tanah/wilayah/teritori’ (teritorry) sebagai tempat tinggalnya, sebab Penguasa VOC sendirilah yang memberikan tanah-tanah di Pejongkeran sebagai ‘tempat tinggal’ kepada Kapitan Joncker (Resolutie tanggal 5 Mei 1659, Resolutie tanggal 1 November 1661, Resolutie tanggal 16 Mei 1662). Namun demikian, pemberian ‘tanah/wilayah/teritori’ (teritorry) dari Penguasa VOC kepada Kapitan Joncker tidak dilakukan dengan ‘tulus’, tetapi dengan ‘maksud’ agar Kapitan Joncker mempertahankan daerah itu. Perihal ini, adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Nanulaitta (1966: 95), bahwa: “Menurut Resolutie G. G. en Raden van Indie tanggal 23 April 1666, Kapitan Joncker dan pasukan Ambon ditempatkan di Bekasih, Marunda, dan Angke, untuk mengganti orang-orang Belanda yang tidak sanggup mempertahankan daerah itu”.
Pada tanggal 1 Januari 1665, Penguasa VOC mengangkat Kapitan Joncker menjadi kepala dari orang-orang Ambon di ‘Batavia’ (Jakarta), tetapi – sekali lagi – bukan karena permintaan Kapitan Joncker (Nanulaitta, 1966: 95; Johari, Hendi (2019) Pengkhianatan VOC Terhadap Joncker. Jakarta: Majalah Historia). Perihal ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh M.C. Ricklefs (2008: 184), bahwa: “Sejak tahun 1665, pimpinan orang Ambon di Batavia adalah seorang muslim bernama Kapten Jonker. Dia telah bertempur di pihak VOC melawan orang- orang Portugis di Timor dan Sri Lanka, melawan orang-orang Makasar, orang-orang Banten di dekat Batavia, orang-orang Minang di Sumatera; di Jawa, dia bukan hanya bertempur melawan Trunojoyo melainkan menawannya sendiri pada akhir tahun 1679”. Alasan yang mendasari pemberian hadiah, tanda jasa, pangkat, tempat tinggal, dan jabatan, kepada Kapitan Joncker oleh Penguasa VOC, dapat kita temukan dalam ‘Laporan Laksamana C. J. Speelman’ kepada Penguasa VOC, sebagaimana yang dikemukakan oleh I. O. Nanulaitta (1966: 97), bahwa: “Dalam laporannya, Speelman sangat puas tentang Jonker”.
Dalam hubungan dengan ‘tanah/wilayah/teritori’ (teritorry) sebagaimana tersebut di atas, Kapitan Joncker berbeda dari Arung Palaka. Sebab meskipun Kapitan Joncker dan Arung Palaka adalah sama-sama merupakan anggota militer VOC, tetapi Arung Palaka memiliki ‘motif sendiri secara pribadi’ yang berhubungan sangat erat dengan ‘tanah/wilayah/teritori’ (teritorry). Perihal ini adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh M. C. Ricklefs (2008: 126), bahwa: “Arung Palaka kemudian menjadi orang terkuat di Sulawesi Selatan sampai ia wafat pada tahun 1696. Dia diberi penghargaan khusus oleh Penguasa VOC, semula sebagai Panglima Tertinggi Bone. Baru pada tahun 1672, Arung Palaka secara resmi dinobatkan sebagai ‘Raja Bone’ (Arumpone) … Gerakan Arung Palaka tidak berhenti dengan tercapainya kemenangan atas Kesultanan Gowa. Dia melancarkan serangkaian serangan terhadap negara-negara yang menentangnya, … ”.
Sepanjang hari-hari hidupnya yang 69 tahun itu, Kapitan Joncker seharipun tidak pernah mengabdi untuk kepentingan Pemerintah Kerajaan Belanda sebagai institusi politik dibawah hukum publik, tetapi Kapitan Joncker mengabdi untuk kepentingan Penguasa VOC sebagai institusi swasta dibawah hukum perdata yang bertujuan memperoleh keuntungan sebesar- besarnya hingga ke-bangkrut-an VOC pada tanggal 31 Desember 1799, dengan meninggalkan utang sebesar 136,7 juta Gulden, karena perilaku koruptif yang dilakukan secara terstruktur dan masif oleh para penguasanya, termasuk gubernur jenderalnya, semisal: C. J. Speelman. Tentang Speelman ini, B. H. M. Vlekke (2010: 189) menulis, bahwa: “Dia dengan keras menyangkal semua tuduhan terhadapnya bahwa dia menyalahgunakan kedudukannya untuk memperkaya diri, walaupun dia memang menggunakan segala cara untuk menambah jumlah kekayaannya yang sudah besar itu”. Searah dengan Vlekke, M. C. Ricklefs (2008: 179) pun menulis, bahwa: “Ketika Gubernur Jenderal Speelman meninggal pada tahun 1684, terbongkarlah korupsi dan penyalahgunaan kekuasaannya”.
Setelah tahun 1799, barulah Penguasa VOC digantikan posisinya oleh Pemerintah Kerajaan Belanda yang kemudian membuat ‘Batas-batas Wilayah’ dari ‘Garis-garis Artifisial’ dan menamakannya: ‘Hindia-Belanda’. Perihal ini adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Sri Margana (doktor sejarah lulusan universitas Leiden-Belanda dari Jurusan Sejarah Universitas Gajah Mada), bahwa: “ … untuk mengelola aset-aset peninggalan VOC di Hindia-Belanda, maka didirikanlah pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada tahun 1800 setelah VOC dinyatakan bangkrut. Masa berkuasanya VOC adalah dari tahun 1602-1800, bukanlah masa penjajahan melainkan masa kapitalisme, karena yang berkuasa adalah modal VOC yang mengemban misi dagang. Sehingga yang disebut dengan negara kolonial Belanda adalah bekas wilayah dagang VOC”
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, Gerdtrudes Johannes “Han” Resink dalam bagian sinopsis dari buku dibawah judul, Bukan 350 Tahun Dijajah, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2012 oleh Komunitas Bambu menyatakan, bahwa: “ … Paling-paling Hindia-Belanda sebagai negara hanya ada selama 40 tahun, tetapi itu pun tidak benar-benar seluas wilayah Republik Indonesia hari ini, … “. Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Batara Richard Hutagalung dalam halaman 2 dari buku dibawah judul, Indonesia Tidak Pernah Dijajah, yang diterbitkan di jakarta pada tahun 2018 oleh penerbit Matapadi Pressindo.
Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa, pada zaman ‘Kapitan Joncker’ (1620-1689) yang ‘ada’ (exist) adalah, negara-negara merdeka dan berdaulat dalam bentuk Kerajaan-kerajaan yang saling merebut dan melanggengkan ‘hegemoni kekuasaan’ mereka masing-masing melalui peperangan, perjanjian perdamain maupun perjanjian persekutuan antara mereka dengan mereka atau antara mereka dengan Penguasa VOC, demi dan untuk mempertahan ‘keberadaan dan/atau eksistensi’ (existence) kerajaan mereka masing-masing. Perihal ini adalah sebagaimana yang disebutkan dalam tulisan-tulisan: B. H. M. Vlekke, G. J. Resink, M. C. Ricklefs maupun R. E. Elson.
Bahkan Muhammad Yamin sendiri menyebutkan dalam rapat-rapat ‘Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia’ (BPUPKI) (Dokuritsu Zyunbi Cosakai), bahwa: “Terdapat kurang lebih 300 ‘kerajaan’ (Kooti) di Hindia-Belanda”. Secara spesifik, Muhammad Yamin menyatakan, bahwa: “ … 4 Kooti di tanah Jawa; 8 Syuutyoo di tanah Bali, 100 di Andalas, 200 di Borneo, Selebes, dan Maluku, sehingga meliputi lebih-kurang 300 kooti … ”. ([Setneg RI] Sekretariat Negara Republik Indonesia (1998) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Jakarta: Widya Komputer Indonesia, h. 15, 133, dan 321).
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas pula, Koesno Sosrodihardjo alias Sukarno sendiri menulis dalam majalah Suluh Indonesia Muda di Batavia pada tahun 1932, dibawah judul, Swadeshi dan Massa-Aksi di Indonesia (Swadeshi dan Imperialisme) sebagai berikut: “Tatkala dunia belum “kenal-kenal acan” akan mechanische dan industrieele revolutie, tatkala dunia masih “kuno”, maka imperialisme Belanda sudahlah mulai menunjukkan kegiatan yang besar sekali: Kerajaan-kerajaan di Kepulauan Maluku, Kerajaan Makasar, Kerajaan Banten, Kerajaan Mataram, – semua kerajaan itu sudahlah merasakan indung-indungnya tangan “beschaving en orde-en-rust” Belanda … ”. (Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I, Cetakan pertama, Yayasan Bung Karno & Penerbit PT. Media Pressindo, Jogjakarta, 2014, h. 155).
Namun demikian, tidak ada diantara kerajaan-kerajaan tersebut di atas yang bernama: Bangsa Indonesia, Kerajaan Indonesia atau Negara Indonesia. Indonesia sebagai suatu istilah, justeru baru diciptakan pada ‘tahun 1850’ (161 tahun setelah kematian Kapitan Joncker (1689-1850)) oleh seorang Antropolog berkebangsaan Inggris, bernama: George Samuel Winsdor Earl. G. S. W. Earl menggabungkan dua kata dalam bahasa Latin/Yunani yaitu, kata ‘Indus’ (India) dan kata ‘Nesos’ (kepulauan), sehingga menjadi istilah ‘Indus-nesos’, yang berarti sebagai: Kepulauan India. Istilah ‘Indusnesos’ itu sendiri, tidak menunjuk pada adanya suatu bangsa atau kerajaan atau negara yang bernama Indonesia, tetapi sekadar hanya untuk menyebut: ‘Hamparan Pulau- pulau di permukaan samudera India bagian timur’.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, Kapitan Jongker (1620-1689) tidak ada hubungan sedikitpun dengan apa yang dinamakan: Indonesia. Sepanjang hidupnya yang 69 tahun itu, Kapitan Jongker juga tidak membangun nasionalisme Indonesia sama sekali. Jika Kapitan Joncker Tidak ada hubungan sedikitpun dengan Indonesia, dan juga tidak membangun nasionalisme Indonesia samasekali, maka pertanyaan prinsipnya adalah, jasa dan/atau ‘kontribusi’ (contribution) apakah yang telah diberikan oleh Kapitan Joncker untuk Indonesia sehingga dapat menjadi ‘alas hak’ (title) yang sah bagi Kapitan Joncker agar bisa menjadi ‘Pahlawan Nasional Indonesia’ (?).
Jika kita tetap memaksakan Kapitan Joncker untuk menjadi ‘Pahlawan Nasional Indonesia’, maka kita sedang mengulangi kebodohan dan kebohongan kita, sama seperti ketika kita mempertontonkan kebodohan dan kebohongan kita dengan menjadikan Thommas Matulessy sebagai ‘Pahlawan Nasional Indonesia’, sementara Thommas Matulessy – sebagaimana juga dengan Kapitan Joncker – sejak lahir sampai/dengan matinya, tidak pernah memberikan jasa dan/atau kontribusi apapun kepada Indonesia, sebab Thommas Matulessy – sebagaimana juga dengan Kapitan Joncker – tidak ada hubungan sedikitpun dengan Indonesia, dan juga tidak membangun nasionalisme Indonesia samasekali.
Dalam hubungan dengan perihal tersebut di atas, pertanyaan prinsipnya adalah, apa yang menjadi ‘alas hak’ (title) yang sah bagi Thommas Matulessy sehingga pemerintah Indonesia dapat menjadikannya sebagai ‘dasar’ untuk menetapkan Thommas Matulessy sebagai ‘Pahlawan Nasional Indonesia’ (?). Jika tidak ada ‘alas hak’ (title) yang sah, maka gelar ‘Pahlawan Nasional Indonesia’ yang diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada Thommas Matulessy hanya merupakan: ‘perbuatan rekayasa’. Pertanyaan kritisnya, adalah: Untuk Apa (?), dan Kepada Siapa (?).
Sebenarnya, Thommas Matulessy dan Kapitan Joncker lebih layak dan/atau lebih pantas untuk menjadi ‘Pahlawan Nasional Maluku’, sebab baik Thommas Matulessy maupun Kapitan Joncker telah memberikan jasa dan/atau kontribusi ‘luar biasa’ kepada Maluku dalam perang melawan Pemerintah Kerajaan Belanda pada tahun 1817 maupun dalam perang melawan Penguasa VOC pada tahun 1656, sehingga dapat menjadi ‘alas hak’ (title) yang sah untuk dapat menjadi: ‘Pahlawan Nasional Maluku’.
Kenyataan – sejarah – yang tidak dapat dibantah telah membuktikan dengan sendirinya bahwa, Kapitan Joncker telah memberikan ‘banyak’ jasa dan/atau kontribusi kepada Maluku dalam perang melawan Penguasa VOC selama 36 tahun hidupnya, sehingga dapat merupakan ‘alas hak’ (title) yang sah untuk menjadi: ‘Pahlawan Nasional Maluku’. Mungkin 33 tahun (1656- 1689) pengabdian Kapitan Joncker kepada VOC tidak dapat kita terima sebagai jasa dan/atau kontribusi Kapitan Joncker kepada Maluku untuk dapat menjadi ‘alas hak’ (title) yang sah bagi Kapitan Joncker agar dapat menjadi: ‘Pahlawan Nasional Maluku’.
Akan tetapi, patut untuk dipertimbangkan bahwa, selama 33 tahun tersebut di atas (1656- 1689), Maluku berada dalam apa yang dinamakan oleh Dieter Bartels – dalam Jilid II halaman 620 dari buku dibawah judul, Dibawah Naungan Gunung Nunusaku, Muslim-Kristen Hidup Berdampingan di Maluku Tengah, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2017 oleh Penerbit ‘Kepustakaan Populer Gramedia’ (KPG) – sebagai: “Periode Tenang”. Bahkan “periode tenang” ini, berlangsung terus hingga tahun 1799 (110 tahun setelah kematian Kapitan Joncker (1689- 1799)). Pertanyaan prinsipnya adalah, dapatkah kita menerima “periode tenang” tersebut, sebagai bagian dari jasa dan/atau kontribusi Kapitan Joncker kepada Maluku meskipun ‘secara tidak langsung’ sehingga dapat menjadi ‘alas hak’ (title) yang sah bagi Kapitan Joncker untuk menjadi: ‘Pahlawan Nasional Maluku’ (?).
Sebagai penutup tulisan ini, penulis ingin mengatakan: jika Cornelis Janzoon Speelman berjuang untuk ‘Harta, Pangkat dan Jabatan’, dan Arung Palaka berjuang untuk ‘Tahta Kerajaan Bone’, maka Kapitan Jongker berjuang untuk apa yang disebut oleh Johannes Dirk de Fretes – dalam halaman 62 dari buku dibawah judul, Kebenaran Melebihi Persahabatan, yang diterbitkan di Jakarta pada tahun 2007 oleh Penerbit PT. Harman Pilatex – sebagai: “Tidak ada keinginan lain, melainkan tetap tinggal hidup” (kaliman ini ditulis oleh de Frestes untuk mengungkapkan ‘mentalitas’ orang Maluku dalam usaha menyelamatkan diri dari ‘peristiwa pembantaian orang Ambon’ (1945-1949) yang dilakukan oleh orang-orang yang menamakan diri mereka: ‘Bangsa Indonesia’).
Penulis adalah Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan pada Politeknik Negeri Ambon.
Discussion about this post