titastory, Sangihe – Semangat “Me˘buntuang Mĕndiagạ Nusa” dalam Festival Sangihe yang dilaksanakan pada tahun ini dituangkan ke dalam tema, “Menjaga Tradisi dan Keanekaragaman Hayati untuk Masa Depan Sangihe”.
Festival yang diselenggarakan pada 20–21 Desember 2024 ini diadakan sebagai respons terhadap berbagai krisis yang menghadang Pulau Sangihe, sekaligus sebagai sebuah ruang temu bagi seluruh elemen masyarakat.
Selain itu, Festival Sangihe menjadi sarana untuk memperluas solidaritas dalam melindungi bentang alam Sangihe yang tengah menghadapi ancaman dari industri ekstraktif dan penangkapan ikan ilegal. Dengan begitu, Festival Sangihe merupakan momentum untuk mengingatkan kepada pemerintah bahwa Pulau Sangihe tak dapat dipandang hanya sebagai target investasi semata.
Lebih dari itu, Pulau Sangihe adalah mutiara yang perlu dilindungi, dikonservasi, dan dilestarikan bentang alamnya untuk masa depan bumi yang berkelanjutan. Koordinator Save Sangihe Island/Selamatkan Sangihe Ikekendage (SSI), Jull Takaliuang, mengatakan Festival Sangihe merupakan cara untuk tetap menjaga nyala semangat pahlawan Sangihe Raja Bataha Santiago.
“Me˘buntuang Mĕndiagạ Nusa merupakan semangat yang diwariskan kepada kami dan generasi muda Sangihe untuk bergerak bersama, menghimpun banyak orang, untuk meluaskan perlawanan sebagai penjaga pulau,” kata dia.
Raja Bataha Santiago merupakan sosok pejuang yang berani melawan Belanda hingga titik darah penghabisan. Ia menolak takluk kepada Belanda dengan menolak tawaran dari Belanda yang hendak membeli rempah-rempah dari Sangihe. Menurut Jull, leluhur masyarakat Sangihe tersebut menjaga keras prinsip untuk tidak menjual sejengkal pun tanah kepada penjajah, meskipun kepalanya harus dipenggal.
Peran Pulau Kecil Sangihe dalam Ekosistem Global
Pulau Sangihe dengan luas 736,98 km² dikategorikan sebagai pulau kecil menurut definisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. UU tersebut mengatur pulau dengan luas kurang dari 2.000 km² dengan seluruh kesatuan ekosistemnya diklasifikasikan sebagai pulau kecil.
Meskipun dikategorikan sebagai pulau kecil, Sangihe merupakan salah satu pulau penting dalam ekosistem global. Pulau ini berada di koridor migrasi internasional untuk beragam spesies laut, mulai dari paus, lumba-lumba, hingga penyu. Selain itu, menjadi koridor migrasi bagi berbagai jenis burung migran dari belahan bumi utara dan selatan.
Dalam siklus hidupnya, burung-burung migran akan melakukan perjalanan melintasi benua dan samudra dari daerah beriklim sedang, menuju daerah beriklim tropis yang hangat seperti Indonesia. Migrasi ini dilakukan untuk mencari makanan dan tempat tinggal sementara ketika suhu dingin membuat mereka terancam membeku dan sumber pangan semakin mengempis. Mengutip Burung Indonesia, negara ini kerap disambangi 262 jenis burung migran, yang 12,2% jenis di antaranya dapat dijumpai di Sangihe pada masa-masa migrasi.
Burung-burung migran yang kerap menyambangi Sangihe dalam perjalanan migrasinya mayoritas merupakan burung pemangsa (raptor) yang datang dari Jepang dan Semenanjung Korea. Jenis raptor yang sering singgah antara lain burung elang-alap cina (Accipiter soloensis) yang berasal dari Korea lalu masuk ke Sangihe melalui Filipina, elang-alap nipon (Accipiter gularis), alap-alap erasia (Falco tinnunculus), elang kelabu (Butastur indicus), elang tiram (Pandion haliaeetus), dan sikep-madu asia (Pernis ptilorynchus).
Migrasi satwa memiliki peran yang sangat besar dan vital dalam ekosistem global. Migrasi burung raptor misalnya, dapat mengendalikan populasi hama, menyediakan pupuk alami bagi vegetasi di habitat yang mereka singgahi, menjadi penyebar benih alami, yang seluruh peran tersebut menjadi penjaga keberlangsungan ekosistem.
Bahkan, keberadaan burung migran dapat membantu pemulihan vegetasi yang sangat krusial dalam mengatasi pemanasan global. Kekayaan perairan Sangihe, mulai dari bentangan terumbu karang, rumput laut, dan padang lamun, hingga gugusan gunung api bawah laut, membuat perairan Sangihe menjadi lokasi yang ideal dan aman bagi ruang pemijahan dan nursery ground bagi beragam jenis satwa laut.
Ini menjadikan terumbu karang di perairan Sangihe sebagai yang terkaya di dunia.
Dalam ekosistem global, dengan menjamin keberlimpahan dan keberlanjutan sumber daya perikanan, Sangihe menjadi salah satu penyangga utama bagi pemenuhan pangan penduduk global.
Alam dan Adat Pembentuk Peradaban Manusia yang Menyatu di Sangihe
Masyarakat Sangihe memiliki falsafah hidup yang mencerminkan interaksinya dengan alam selama ribuan tahun dan menggambarkan tingkatan kehidupan manusia. Di tahap pertama, terdapat Matĕling ketika manusia belajar mengenal berbagai macam norma yang akan membentuknya menjadi manusia yang arif dan cermat.
Selanjutnya, ia akan menjadi lebih dewasa dalam bertutur dan laku sehingga menjadi manusia yang bijaksana dalam tahap Matĕlang. Dalam tahap yang lebih lanjut, ia akan menjadi lebih bajik, mampu berpikir jernih, murni, dan lebih peka terhadap alam dan sesama, yang tergambar dalam Matilang.
Titik tertinggi dalam kehidupan manusia Sangihe adalah ketika mampu mencapai kondisi Ma’amumang. Kondisi ini tercapai ketika manusia berhasil melepaskan keserakahan duniawi, mampu mencapai kehidupan sejahtera lahir dan batin dari apa yang diberikan oleh alam, tanpa ada hasrat untuk menguasai atau mengeksploitasi secara berlebihan.
Ini adalah tuntunan hidup manusia Sangihe untuk menjaga keberlangsungan alamnya, agar dapat diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Nilai luhur lainnya adalah Mĕtatĕngkang yang bermakna saling menghargai. Ini bermakna manusia Sangihe dituntut untuk dapat menghargai antar sesama manusia dengan lingkungan hidupnya.
Berbagai falsafah hidup masyarakat Sangihe itu berasal dari pengalaman hidup nenek moyang manusia Sangihe yang berhasil hidup berdampingan, bahkan menyatu, dengan alamnya. Menurut berbagai arkeolog yang dibuktikan dengan berbagai artefak yang ditemukan, pulau ini sudah dihuni sejak era 1500-an lampau.
Keberadaan penduduk di pulau ini dapat dilacak dari keberadaan Kerajaan Siau yang didirikan oleh Raja Lokongbanua II pada 1510. Keberadaan Sangihe juga dapat dilacak dari peta yang dibuat penjelajah sekaligus kartografer Italia Giacomo Gastaldi pada 1528.
Bahkan dalam berbagai ekspedisi yang lain menunjukkan Sangihe peradaban Sangihe telah dibentuk pada 1350-an oleh Datu Gumansaļangi. Ini menunjukkan peradaban yang terbentuk di Sangihe merupakan peradaban tua yang telah mapan jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ini berarti empat falsafah hidup tersebut terbentuk dari interaksi masyarakat Sangihe dengan bentang alamnya selama ribuan tahun, yang lambat laun membentuk peradaban hari ini. Salah satu tetua adat Sangihe, Niklas Mehare, mengatakan, bagi masyarakat Sangihe, laut, tanah, angin, api, dan gunung merupakan simbol sakral bagi kehidupan.
Laut dimaknai sebagai simbol kekuatan dan kehidupan, tanah dimaknai sebagai simbol kelahiran dan kematian, api sebagai simbol pengetahuan, angin sebagai simbol kehendak, dan gunung sebagai simbol perlindungan dan keteguhan hati.
“Manusia itu bukan hanya dekat dengan alam, melainkan menyatu,” ucapnya.
Falsafah lainnya adalah, “Mĕsambeng tahatariang, naung suwatangeng bue,” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai, “berinteraksi dengan siapa saja tidak akan mengubah identitas manusia Sangihe.” Ini berarti seluas-luasnya interaksi, tetap tidak akan melunturkan jati diri manusia Sangihe yang telah dituntun oleh berbagai falsafah hidup tersebut. Termasuk menjaga seluruh bentang alam dalam ekosistem Pulau Sangihe.
Untuk merayakan kebesaran adat masyarakat Sangihe tersebut, dalam Festival Sangihe ini terdapat ritual adat Darumatehu Sĕmbanua. Menurut Jull Takaliuang, ritual ini merupakan rintihan hati masyarakat Sangihe akibat berbagai aktivitas ekstraktif yang mengancam keberlanjutan dan kelestarian bentang alam Sangihe.
“Karena dengan cara apa lagi kami berjuang? Kami sudah menempuh berbagai cara, sudah menang di jalur litigasi tetapi terus diabaikan. Ini saatnya masyarakat Sangihe bangkit secara adat untuk menjaga peradaban dan kehidupan seluruh pulau,” tegasnya.
Sangihe dalam Ancaman Bencana Ekologi
Saat ini, Pulau Sangihe berada di tengah ancaman industri ekstraktif, kepungan penangkapan ikan secara ilegal, serta deforestasi. Mengutip Global Forest Watch, hingga 2023, Kepulauan Sangihe telah kehilangan 974 hektare tutupan pohon dan menghasilkan 77 ribu ton emisi setara dengan CO₂ (CO₂ e).
Tahun 2020 menjadi tahun penyumbang deforestasi tertinggi dengan hilangnya tutupan pohon seluas 112 hektar. Deforestasi menjadi ancaman yang cukup besar bagi masyarakat Sangihe, mengingat fungsi hutan yang sangat besar untuk menopang kehidupan makhluk hidup di dalam satu pulau.
Hutan di Sangihe, menjadi satu kawasan yang menyediakan fungsi pengatur mikro iklim, regulasi air, hingga penjamin lumbung pangan warga. Sebagai pulau kecil yang dilindungi dari kegiatan penambangan sesuai dengan amanat konstitusi, Pulau Sangihe justru dibebani tiga izin pertambangan.
Dua diantaranya merupakan izin tambang batuan yang izinnya dikeluarkan oleh Gubernur Sulawesi Utara, sedangkan satu lagi izin tambang emas milik PT Tambang Mas Sangihe (TMS) yang baru-baru ini sebagian sahamnya dibeli oleh PT Arsari Tambang (Arsari Group), sebuah entitas usaha milik Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto.
Padahal, PT TMS telah kehilangan legalitas untuk beroperasi dengan dicabutnya izin operasi dan batalnya izin lingkungan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi menegaskan kegiatan penambangan di pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir telah merusak lingkungan hidup, merugikan masyarakat, dan berpotensi memperparah kerusakan ekosistem di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Pembangkangan hukum PT TMS diperburuk oleh penambangan emas ilegal yang mengepung pulau, yang diduga bekerja sama dengan TMS. (TS-01)