TITASTORY.ID,- Pemerintah pusat tidak pernah lagi perayakan “Hari Pattimura” yang jatuh pada 15 Mei setiap tahun. Padahal, sebelum era orde baru, Hari Pattimura diperingati pemerintah pusat setiap tanggal 15 Mei.
“Kalau sekarang ini, hanya orang Maluku yang tetap memperingati Hari Pattimura. Kami tentu merasa heran dengan kenyataan ini. Pemerintah dulu merasa sangat penting arti perjuangan Kapiten Pattimura. Mungkin sekarang sudah dianggap tidak penting atau bagaimana,” jelas Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina kepada wartawan di Jakarta, Kamis(03/6/2021).
Menurut Engelina, Hari Pattimura jatuh pada 15 Mei sebagai peringatan atas serangan rakyat Maluku terhadap penyerangan Benteng Duurstede di Pulau Saparua yang dipimpin Thomas Matulessy (Kapiten Pattimura) pada 15 Mei 1817.
Perlawanan di Pulau Saparua yang dipimpin Pattimura ini merupakan pelopor munculnya berbagai perlawanan di berbagai tempat. Dalam pidato yang disampaikan Pejabat Presiden RI H. Juanda pada peringatan Hari Pattimura tanggal 15 Mei 1961 di Jakarta, sangat jelas perlawanan Pattimura ini diikuti berbagai perlawanan, seperti Perang Imam Bonjol tahun 1821, Perang Diponegoro tahun 1825, Pemberontakan Pangeran Hidayat tahun 1862, Pemberontakan Cik Ditiro tahun 1881 dan sebagainya.
“Selama orde baru dan sampai saat ini, pemerintah pusat tidak pernah lagi merayakan Hari Pattimura. Kalau memang dilupakan, kita harapkan pemerintah menjadikan agenda rutin. Kita senang kalau Hari Kartini dan sebagainya dirayakan, tetapi sangat wajar kalau dipertanyakan juga mengapa Hari Pattimura tidak dirayakan lagi, misalnya mengapa Martha Christina Tiahahu tidak mendapat tempat yang semestinya,” tegas Engelina yang juga mantan Anggota DPR RI ini.
Menurutnya, kalau soal perjuangan, Martha Tiahahu sangat hebat pada masanya. Dalam usia yang masih remaja telah memimpin pasukan, berjuang melawan penindasan. Tidak heran bila QMR Ver Huell, seorang Kapten Kapal Admiral Evertsen, sekaligus saksi mata perjuangan Pattimura sangat kagum melihat perlawanan Martha Christina Tiahahu dalam pertempuran itu.
Untuk itu, katanya, menurut Engelina, nilai perjuangan Pattimura masih sangat relevan dengan situasi dewasa ini. Kalau Pattimura dan kawan-kawan melawan penindasan, ketidakadilan, penjajahan yang tampak secara kasat mata melalui pendudukan territorial, mungkin saat ini praktek seperti itu masih ada, tetapi dikemas dengan cara yang berbeda.
“Kita bisa melihat ada pengerukan sumber daya alam, rakyat local tidak menikmati, tetapi justru menjadi korban. Apa bedanya dengan yang dilawan para pejuang pada masa lalu,” katanya.
Engelina khawatir kalau pemerintah melupakan semangat perjuangan Pattimura, maka jangan kaget kalau suatu ketika, generasi mendatang tidak tahu menahu dengan perjuangan pahlawannya pada masa silam.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya mengembalikan perayaan Hari Pattimura secara nasional pada setiap 15 Mei. Sebab, saat ini, hanya rakyat Maluku yang merayakan Hari Pattimura. “Bila situasi ini dibiarkan, maka kita sebenarnya sedang berproses menurunkan atau justru menghilangkan warisan perjuangan dari generasi terdahulu,” katanya.
Meski bukan sejarawan, kata Engelina, tetapi kalau disimak sangat jelas pengaruh Perang Pattimura akan munculnya perlawanan di tempat lain. Misalnya, pasukan yang dihadapi dalam Perang Pattimura, sebenarnya mereka juga yang menaklukkan Diponegoro. Selain Pattimura, kata Engelina, Kapiten Tiahahu yang merupakan ayah Martha Christina Tiahahu juga layak ditetapkan menjadi pahlawan. Sebab, Martha Tiahahu terlibat sebagai pimpinan perang karena menggantikan ayahnya yang ditembak Belanda.
“Sekali lagi, kami mengharapkan pemerintah pusat untuk memperhatikan kembali perayaan Hari Pattimura. Dulu setingkat Presiden memberikan pidato resmi untuk merayakan Hari Pattimura, sekarang kok tidak pernah ada lagi. Kami rasa kok seperti dihilangkan begitu saja,” kata Engelina.(TS-01)
Discussion about this post