titastory.id,Jakarta-Mahasiswa di Maluku diminta untuk selalu mencermati dan mengawasi keberadaan participating interest (PI) 10 persen, jangan sampai digunakan untuk biaya politik di Pilkada.
Permintaan tersebut disampaikan Tokoh Maluku, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina saat menyampaikan materi dalam training Latihan Kepemimpinan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Seram Barat, Maluku, Senin (5/8/2024).
Acara ini dipandu Ayuniati Suriadi dan dihadiri Ketua Umum Persiapan HMI Cabang Seram Bagian Barat, Abdul Rahman Rahayaan, S.Pi.
Engelina mengatakan, PI 10 persen merupakan hak dari masyarakat yang berada di wilayah penghasil sumber daya alam. Jika tidak, maka PI 10 persen itu berpotensi menjadi alat bargaining untuk menjadi sumber biaya politik di Pilkada 2024 ini.
Menurut Engelina, dalam situasi politik dimana sedang terjadi proses pemilihan kepala daerah di berbagai daerah, maka mahasiswa sebagai generasi muda perlu mencermati, sehingga PI 10 persen yang merupakan hak rakyat tidak disalahgunakan, karena bukan mustahil hak rakyat itu dialihkan kepada pihak lain dengan berbagai alasan.
“PI 10 persen itu artinya daerah memiliki hak 10 persen dari saham, sehingga daerah perlu menyertakan modal. Seringkali dengan alasan tidak ada modal, PI 10 persen itu diserahkan kepada pihak yang memiliki modal. Ini tidak gratis, karena bisa jadi ada kompensasi biaya politik dan sebagainya, yang tidak ada urusan dengan kepentingan rakyat,” jelasnya.
Engelina mencontohkan, PI 10 persen untuk pengelolaan minyak di Seram Timur, semestinya itu merupakan hak dari Kabupaten Seram Timur. Jadi, BUMD dari Seram Timur itu yang harus mengelola PI 10 persen itu, bukan daerah lain atau justru diambil BUMD tingkat provinsi.
Engelina mengakui, kebutuhan modal menjadi syarat, tetapi juga ada mekanisme lain dengan menggunakan sistem “digendong” oleh pengelola Migas, sehingga hak PI 10 persen itu tidak dialihkan ke pihak lain.
“Masalah sekarang, apakah pemerintah daerah sudah berbuat apa untuk mengelola PI 10 persen. Karena tidak wajar, pengelolaan minyak yang sudah puluhan tahun, tetapi daerah Seram Timur, misalnya, tidak dapat apa-apa dan dibiarkan dalam sebagai daerah miskin. Jangan-jangan hasil dari minyak itu hanya dinikmati segelintir elite yang pura-pura tidak tahu atau tutup mata,” tegas Engelina.
Dia mengatakan, kalau system pengelolaan sumber daya alam masih terus berlangsung seperti saat ini, maka sampai kapanpun Maluku tidak bisa menikmati kesejahteraan karena kekayaan alam, dan justru rakyat hanya menjadi korban dari eksploitasi sumber daya alam. Kekayaan diambil tetapi masyarakat tetap berada dalam kemiskinan.
“Kalau begini, sesungguhnya kekayaan alam ini berkat atau kutukan? Jadi, rakyat Maluku jangan lagi salah memilih pemimpin, karena nasib daerah ini ada di tangan pemimpin apakah berpihak kepada kepentingan rakyat atau kepentingan lain. Saya tahu dengan baik, ketika saya bersuara di media atau ruang public mengenai keadilan bagi rakyat Maluku dalam pengelolaan sumber daya alam, banyak elite yang tidak suka. Mereka mau suka atau tidak, saya juga tidak peduli dan tidak penting. Saya hanya bicara karena itu hak rakyat Maluku. Saya juga tidak dapat apa-apa, tidak punya bisnis di minyak. Tapi, saya tidak akan berhenti bersuara,” tegas Engelina.
Engelina menjelaskan, kallau mau jujur, PI 10 persen itu hanya remah-remah, karena sejatinya pemerintah harus memikirkan adanya hilirisasi dan industry untuk mengelola sumber daya alam Maluku di Maluku.
“Kalau ada industry, maka Maluku akan memperoleh dampak ekonomi yang besar, seperti ekonomi rakyat, lapangan kerja dan sebagainya. Tidak bisa kekayaan alam Maluku dikelola dengan mengabaikan kepentingan masyarakat adat dan kepentingan rakyat yang berhak menikmati kesejahteraan di atas kekayaan alamnya,” kata Engelina.
Untuk itu, Engelina mengharapkan, para mahasiswa dan generasi muda untuk melatih diri dan selalu berpihak kepada kepentingan rakyat. Mahasiswa dan pemuda harus tahu bagaimana cara menuntut hak rakyat Maluku atas sumber daya alam. “Situasi ini sudah puluhan tahun, kalau pemerintah daerah, wakil rakyat tidak bisa berbuat apa-apa, maka mahasiswa dan anak muda harus memainkan peran yang penting untuk memastikan hak rakyat benar-benar dinikmati rakyat, justru jangan sampai kepentingan rakyat digadikan untuk kepentingan politik praktis,” tegasnya.
Engelina menegaskan, dirinya tidak akan berubah dan akan terus bersuara atas pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil bagi Maluku, sesuai dengan kemampuan yang ada.
“Selama ini juga saya bergerak sendiri dan saya senang karena masih banyak akademisi dan anak muda yang mau bersama-sama untuk menyuarakan hal ini. Kalau kita diam, maka akan terus-menerus diperlakukan tidak adil. Sangat tidak masuk akal, Maluku yang kaya sumber daya alam, tetapi tetap terjebak dalam kemiskinan yang bukan lagi structural, tetapi sudah menjadi kemiskinan sistemik. Kemiskinan yang disebabkan oleh system. Ini tdiak boleh didiamkan,” kata Engelina.
Pada kesempatan itu, Engelina mengajar para mahasiswa dan pemuda sebagai agen perubahan untuk tidak larut dalam politik pragmatis, karena hal itu hanya akan mengorbankan rakyat.
“Saya harap, agar mahasiswa mengajak untuk memilih pemimpin yang benar. Sebab kalau salah memilih pemimpin, maka situasi tidak akan berubah dan tetap seperti saat ini. Kalau ada pemimpin yang benar-benar memihak rakyat, maka praktik pengelolaan SDA yang tidak adil ini sudah lama bisa diatasi dan Maluku bisa menikmati kesejahteraan sesuai dengan kekayaan alam yang ada,” tutur Engelina.
Dalam sesi diskusi dengan kader HMI itu tampak para peserta begitu antusias, karena mengetahui kekayaan Maluku, tetapi justru Maluku berada dalam kemiskinan. Dari berbagai pertanyaan yang cukup tajam dan kritis, sangat jelas ada nada kekecewaan dari para peserta terhadap pengelolaan sumber daya alam di Maluku.(TS-02)
Discussion about this post