titastory, Papua Barat – Penangkapan dan penetapan status tersangka terhadap empat aktivis politik Papua anggota Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) oleh Kepolisian Resor Sorong Kota menjadi sorotan tajam publik. Keempatnya—berinisial AGG, PR, MS, dan NM—ditangkap atas tuduhan makar, menyusul aksi mereka menyampaikan aspirasi politik secara damai ke sejumlah kantor pemerintah di Kota Sorong pada 14 April 2025.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyatakan bahwa tindakan aparat kepolisian tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul—hak yang seharusnya dilindungi oleh Konstitusi Indonesia.
“Kriminalisasi terhadap empat aktivis Papua ini menunjukkan pola represi yang terus berlangsung terhadap ekspresi politik damai orang asli Papua. Mereka tidak melakukan kekerasan. Mereka hanya menyampaikan aspirasi secara tertulis dan lisan kepada pemerintah. Hal ini dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E dan bukan merupakan tindak pidana,” tegas Wirya.

Menurut laporan media, keempat aktivis tersebut mendatangi Kantor Wali Kota Sorong, Kantor Gubernur Papua Barat Daya, Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya, serta kantor kepolisian, guna menyampaikan surat dari presiden NFRPB yang berisi ajakan untuk melakukan perundingan damai. Mereka juga disebut menyuarakan tuntutan “Papua Merdeka” dalam kesempatan itu.
Namun, bukannya mendapat ruang dialog, keempatnya justru ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan makar dan ujaran kebencian. Mereka dijerat dengan pasal 106 KUHP junto pasal 187 dan pasal-pasal lain yang bisa menjerat mereka hingga 20 tahun penjara atau seumur hidup. Polisi juga menyita dokumen dan atribut organisasi NFRPB yang disebut menyerupai pakaian dinas TNI dan Polri.
“Penggunaan pasal makar yang terus diulang kepada aktivis Papua hanya memperkuat stigma dan memperparah represi terhadap masyarakat sipil Papua. Ekspresi politik damai tidak bisa disamakan dengan ancaman terhadap negara,” tambah Wirya.

Amnesty International Indonesia menegaskan bahwa mereka tidak mengambil posisi terhadap status politik provinsi manapun di Indonesia. Namun, lembaga tersebut secara tegas menyatakan bahwa menyuarakan aspirasi kemerdekaan secara damai adalah bagian dari kebebasan berekspresi, dan tidak boleh dikriminalisasi.
Kekerasan di Intan Jaya: Warga Sipil Jadi Korban, 950 Orang Mengungsi
Di sisi lain, Amnesty juga menyoroti kekerasan terbaru yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, menyusul operasi militer pada 13 Mei 2025 di tiga kampung. Informasi yang diterima dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Gereja Kemah Injil menyebutkan bahwa aparat keamanan menyerbu permukiman warga, menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan memicu gelombang pengungsian.
Setidaknya tiga warga sipil dilaporkan meninggal dunia, termasuk seorang anak berusia tujuh tahun dan seorang perempuan dewasa yang luka-luka akibat serpihan peluru. Sebanyak 950 warga jemaat dari 13 gereja terpaksa mengungsi demi menghindari dampak kekerasan.
“Kami mengecam jatuhnya korban jiwa dalam operasi tersebut. Negara wajib melakukan penyelidikan mendalam dan transparan. Penggunaan kekuatan bersenjata di kawasan sipil harus dievaluasi secara serius. Penempatan pasukan keamanan yang tidak terkendali hanya akan memperdalam trauma dan memperluas konflik,” tegas Wirya Adiwena.

Desakan Amnesty International Indonesia:
- Polres Sorong Kota segera membebaskan keempat aktivis politik Papua tanpa syarat.
- Pemerintah Indonesia harus menghentikan praktik kriminalisasi terhadap ekspresi politik damai masyarakat Papua.
- Penegak hukum tidak lagi menyalahgunakan pasal makar sebagai alat pembungkaman aspirasi politik.
- Investigasi independen dan transparan terhadap operasi militer di Intan Jaya yang menyebabkan jatuhnya korban sipil.
- Evaluasi penempatan pasukan keamanan di wilayah Papua agar tidak lagi menyasar warga sipil dan menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia.

Atas rentetan masalah yang terjadi, peristiwa ini kembali menunjukkan bahwa ruang demokrasi di Papua semakin menyempit. Ketika aspirasi politik damai dibalas dengan kriminalisasi, dan operasi militer justru memicu jatuhnya korban sipil, negara tidak sedang menjaga warganya—melainkan menambah deretan luka panjang yang belum sembuh di Tanah Papua.