titaStory.id,ambon – Berbagai elemen rakyat di Maluku mengingatkan pemerintah pusat (Pempus) menjaga komitmen politik untuk mengembangkan kilang darat Blok Masela (onshore).
Hal itu sesuai dengan komitmen pemerintah yang disampaikan Presiden Jokowi pada 23 Maret 2016 silam di Bandara Supadio, Kalimantan Barat. Apalagi, pengembangan kilang darat merupakan satu harapan besar bagi rakyat Maluku untuk keluar dari kemiskinan.
Keinginan rakayat Maluku ini teruang dalam diskusi publik tentang Episentrum Pertumbuhan Ekonomi Nasional” yang digagas Archipelago Solidarity Foundation di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura, Ambon, Rabu (7/2/2024).
Diskusi yang dibuka Rektor Universitas Pattimura Ambon, Prof. Freddy Leiwakabessy ini diisi dengan paparan Direktur Archipelago Solidarity Foundation, yang juga Tokoh Maluku, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina.
Acara ini dihadiri berbagai kalangan, seperti Mantan Rektor Unpatti Prof. Dr. J.M. Saptenno, Prof. John Riri, Prof. Non Sahusilawane, Dr. Manaf Tubaka (Moderator), Mus Uneputty, Vecki Sabarlele, Ida Hehanusa, para akitivis HMI, kohati, tokoh masyarakat KKT dan MBD, guru-guru, dan kalangan akademisi di Ambon, aktivis pemuda dari berbagai organisasi pemuda, aktivis buruh, tokoh agama, tokoh masyarakat dan sebagainya.
Dalam paparannya, Engelina mengatakan, pengembangan kilang darat Blok Masela tidak bisa ditawar-tawar, karena hal itu bisa menjadi big push (dorongan besar) pertumbuhan ekonomi di Maluku.
Hanya dengan big push seperti kilang darat Blok Masela yang bisa mengeluarkan Maluku dari ketertinggalan dan kemiskinan.
Kilang darat itu, jelas Engelina, akan memungkinkan berkembangan industri petrokimia di Maluku.
“Jangan sampai kita mengulang kesalahan dengan pengembangan semua sumber daya alam Maluku, tetapi tidak ada satupun industri di Maluku. Kita harus belajar dari pengalaman Bula, yang meskipun daerah penghasil, tetapi terjebak dalam kemiskinan. Semua itu karena salah kelola sumber kekayaan alam,” tegasnya.
Engelina mengatakan, pengelolaan Blok Masela saat ini terdiri dari Inpex, Pertamina dan Petronas. Dengan formasi baru ini, jelas Engelina, ada upaya pemerintah untuk mengelola gas Masela dengan kombinasi darat dan laut. Pengelolaan seperti ini wajib ditolak, karena hanya soal waktu, misalnya, dengan alasan efesiensi, pada akhirnya gas Masela akan dikelola dengan sistem terapung.
“Perubahan seperti ini jangan kita mudah percaya. Dari darat saja mereka pindahkan ke laut, apalagi sekadar mengalihkan seluruhnya ke laut. Untuk itu, kita semua harus bersama-sama mengawal hal ini,” tegas Engelina.
Engelina juga mengingatkan, praktik yang terjadi di Blok Tanggu Papua, semestinya menjadi pelajaran penting, dimana gas hanya diangkut keluar tanpa ada industri apapun di Papua yang memanfaatkan keberadaan gas.
Ini tidak boleh terulang di Blok Masela, sehingga patut memikirkan keberadaan aneka industri di Maluku, sehingga Maluku menjadi penghasil produk akhir, bukan pembeli produk akhir.
Petisi Rakyat
Mengenai rencana pemerintah mengembangkan kilang darat dan laut, jelas Engelina, pihaknya sudah galang petisi rakyat Maluku, dan mendapat dukungan yang cukup luas. Petisi itu merupakan tuntutan kepada pemerintah yang berisi tiga poin utama.
Dalam kegiatan itu juga dirangkaikan dengan deklarasi Petisi Rakyat Maluku yang dibacakan Aktivis Maluku Rais Mahu, SH.
Setidaknya, ada tiga tuntutan dalam petisi itu.
Pertama, Presiden Republik Indonesia diminta terus dan konsisten dengan komitmen untuk mengembangkan kilang Blok Masela 100 persen di darat, sesuai dengan Keputusan Presiden Joko Widodo pada 23 Maret 2016 dan penegasan kembali ketika meresmikan Jembatan Merah Putih di Ambon pada 4 April 2016. Sebab, keputusan itu tidak mengenal kombinasi kilang darat dan laut, apalagi dikembalikan ke laut.
Kedua, Pemerintah dalam hal ini, stakeholder yang berkaitan dengan industrialisasi Migas untuk memastikan adanya industri yang hendak dikembangkan dan dibangun di Maluku dan bukan di tempat lain, sebagai bagian dari upaya hilirisasi gas Blok Masela, termasuk industrialisasi untuk sumber daya alam lainnya, seperti minyak, nikel, dan mineral lainnya, termasuk industrialisasi perikanan dan lainnya di Maluku. Pemerintah harus memastikan pengelolaan semua SDA di Maluku, sehingga bisa memutus mata rantai kemiskinan yang ada.
Ketiga, Pemerintah harus memastikan perlindungan atas hak masyarakat adat Maluku, baik ruang lingkungan darat maupun laut, baik melalui regulasi, terutama dalam implementasi nyata di lapangan. Masyarakat adat tidak harus digusur dari ruang lingkungan dan tanah leluhurnya untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat di bagian lain dunia.
Engelina mengatakan, dukungan tanda tangan fisik terhadap petisi rakyat ini membuktikan, kalau rakyat akan terus mengawal keberadaan kilang darat, dan secara tegas menolak adanya kombinasi darat dan laut. Dia menambahkan, tuntutan pengembangan kilang darat ini sebenarnya sejalan dengan semangat hilirisasi pemerintah, sehingga sangat aneh kalau ada para pejabat pemerintah di akhir masa jabatan ini yang coba-coba bermain dalam pengembangan kilang Blok Masela.
“Kita perlu mengingatkan kepada pemerintah, agar jangan main-main, karena komitmen pemerintah membangun kilang darat merupakan pengetahuan umum di Maluku, sehingga perubahan yang dilakukan dengan mengabaikan kepentingan Maluku, tentu akan melahirkan pro dan kontra yang tidak berkesudahan. Hal itu, juga tidak baik dalam pengembangan investasi,” tegas Engelina.
Mantan Anggota DPR RI ini mengatakan, tuntutan pengembangan kilang darat merupakan hal wajar, karena rakyat Maluku juga berhak untuk menikmati kesejahteraan sesuai dengan kekayaan sumber daya alam yang ada. Maluku tidak menuntut kekayaan dari daerah lain. Sebab, sangat ironis kalau kekayaan dari Maluku dibawa ke berbgai tempat untuk memperbaiki kesejahteraan daerah lain, sementara Maluku sebagai sumber kekayaan alam justru dibiarkan dalam kemiskinan.
Engelina menjelaskan, sesuai data dari SKK Migas, investasi Blok Masela mencapai Rp 324 Triliun. Perkiraan pendapatan pemerintah dari Blok Masela itu sangat besar sekitar Rp 586 Triliun. Sementara yang dibagikan ke Maluku hanya 15, 5 %, sebesar sekitar Rp 39 Triliun. Untuk itu, kata Engelina, Pemerintah harus berlaku adil, karena Maluku merupakan daerah yang tertinggal dan terjebak dalam kemiskinan. Blok Masela harus menjadi big push bagi Maluku untuk keluar dari kemiskinan.
Menurutnya, dengan keberadaan kilang darat, maka akan memungkinkan tumbuhnya industry yang berbahan gas di Maluku. Dengan industri ini, tentu akan membawa dampak ekonomi yang sangat besar, termasuk membuka lapangan kerja yang sangat besar. Artinya, dengan jumlah penduduk Maluku yang tidak terlalu besar dan keberadaan industry di Maluku, maka sebenarnya lebih dari cukup bagi Maluku untuk keluar dari kemiskinan.
Hanya saja, “kata Engelina”, ada sebagian elit yang berpuas dengan pertumbuhan ekonomi sekadar persentase, tetapi sebenarnya tidak mengubah apapun. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak akan berdampak apa-apa, jika volume PDRB-nya kecil. Volume PDRB Maluku itu sangat kecil kalau dibandingkan dengan daerah lain, sehingga angka pertumbuhan hanya sekadar klaim prestasi, tetapi tidak akan mengangkat ekonomi rakyat.
Hal mendasar, jelas Engelina, ditsribusi pendapatan di Indonesia sangat jomplang antara satu daerah dengan daerah yang lain. Jadi, selagi regulasi mengenai hal ini tidak diubah, maka Maluku akan tetap berada dalam kemiskinan, karena memang sistem telah menyulitkan Maluku keluar dari kemiskinan, karena adanya praktik ketidakadilan.(TIM)
Discussion about this post