TITASTORY, – Setelah berada di Negeri Aboru, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, sebanyak 904 jiwa dengan 300 lebih Kepala Keluarga asal Negeri Kariu, Pulau Haruku kini bertahan hidup ditenda pengungsian.
Kehilangan lapangan pekerjaan karena tergusur dari kampung halaman ditamba himpitan ekonomi dimasa pandemi covid 19 justru membawa mereka dalam kondisi tak berdaya. Tak ada cara lain selain menerima uluran tangan dari para donatur baik organisasi gereja atau pihak lain yang peduli atas kondisi masyarakat Kariu.
Sekretaris Negeri Kariu, Estefanus Leatomu yang diwawancarai di lokasi pengungsian, minggu (15/5/2022) menyampaikan, keberadaan masyarakat Kariu khususnya di lokasi pengungsian memang butuh perhatian. Pasalnya untuk saat ini ekonomi masyarakat Kariu berada dalam situasi terpuruk. Lain hal dengan masyarakat yang memiliki perndapatan tetap seperti seorang PNS, TNI mau pun Polri, itu pun juga merasa sulit karena yang aman dan nyaman adalah di rumah sendiri.
” Kami tidak bisa pungkiri bahwa saat ini warga Kariu yang ada ditenda penggunaan atau yang ada di rumah rumah keluarga dan saudara kita warga Aboru hidup dari uluran tangan dan bantuan pihak lain, kecuali PNS, TNI mau pun Polri,” jelas Leatomu.
Dijelaskan kondisi yang kini dihadapi masyarakat Kariu adalah ulah manusia, dan negara gagal dalam melakukan tugas dan kewajiban untuk memberikan rasa aman, karena kondisi yang terjadi sama sekali tidak diinginkan warga pengisi Kariu.
Untuk itu, Leatomu berharap kondisi ini tidak dibiarkan berlarut larut oleh pemerintah baik pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi bahkan Pemerintah pusat karena warga Kariu adalah warga negara yang berhak memperoleh kenyamanan dan jaminan keamanan.
” Kami merasa negara gagal memberikan rasa aman dan kenyamanan bagi kami sehingga dampaknya kami harus tergusur dan hidup di lokasi pengungsian,” tegasnya.
Untuk itu dia berharap apa yang telah dibincangkan lewat momentum prarekonsiliasi dengan melibatkan sejumlah pimpinan daerah baik TNI dan Polri harus merespons kondisi ini dengan bijak, sebagai wujud kehadiran negara dalam memenuhi kebutuhan hak hak warga pengungsi kariu.
Bahkan lebih dari itu, ungkap Leatomu persoalan dasar lain seperti kesehatan dan pendidikan juga jadi kendala utama. Soal pendidikan memang anak sekolah asal Kariu sudah satu atap dengan anak sekolah asal Aboru namun ada perbedaan bahwa untuk kesekolah saja mereka para orang tua harus putar otak untuk mencari ongkos angkutan. Bahkan dalam keadaan terpaksa mereka harus menmpu jarak 6-7 kilo meter dengan berjalan kaki pulang pergi.
” Jaraknya cukup jauh, 6 sampai 7 kilo meter itu menyulitkan dari sisi pembiayaan sehingga terpaksa harus berjalan kaki bahkan mereka juga memilih utuk tidak ke sekolah karena tidak ada biaya.” ungkapnya pula.
Sementara dari sisi kesehatan tentunya ada tenaga medis yang bertugas di Kariu dan juga dibantu dari tenaga medis dari Amboru. Namun tidak ada bantuan obat obatan.
” Tidak dipungkiri dari dinas kesehatan, dan dinas pendidikan kabupaten mau pun Provinsi belum pernah datang melihat kami dan anak anak kami. Jadi bagi kami negara tidak peduli terhadap kami.” terangnya.
Dirinya menyatakn jika sebagai anak negeri maka apakahharus menderita seperti ini dan dibiarkan begini.
” Siapakah kami dan apakah kami harus seperti ini?,” dimana negara?,” tanya nya.( TS 02)
Discussion about this post