titastory.id, Seram Selatan – Kematian Firdaus Ahmad Fauji, pendaki asal Bogor yang hilang di Gunung Binaiya dan ditemukan tewas pada 17 Mei 2025, berbuntut panjang. Di tengah kabut duka, masyarakat adat Piliana dan sejumlah mahasiswa mendesak pencopotan Kepala Balai Taman Nasional Manusela (BTN Manusela), yang dinilai lalai dan tidak bertanggung jawab atas insiden tersebut.
Aksi protes digelar di kantor DPRD Provinsi Maluku. Massa menuntut Komisi II DPRD Maluku memanggil dan mengevaluasi kinerja pimpinan balai.
“Semua prosedur pendakian sudah dipenuhi oleh Firdaus, termasuk biaya administrasi. Tapi pencarian dihentikan secara sepihak. Ini bentuk kelalaian dan ketidakpedulian,” teriak seorang orator.

Negara vs Adat: “Kami Tak Lagi Percaya Balai”
Tak hanya soal pencarian yang dinilai lamban, massa juga menyoroti bagaimana kehadiran BTN Manusela telah membatasi ruang hidup masyarakat adat di Seram Utara dan Seram Selatan.
“Masyarakat adat tak bisa lagi berburu atau ambil kayu bakar tanpa dikejar Polhut. Ini kriminalisasi aktivitas adat,” ujar Rifal, koordinator lapangan aksi, yang enggan menyebutkan nama lengkapnya. Menurutnya, BTN Manusela justru menjadi aktor utama dalam pengikisan hak-hak masyarakat adat.
Prosesi adat sasi, yang secara sakral dilakukan untuk menjaga keseimbangan alam, kerap diabaikan. Jalur pendakian tetap dibuka bahkan saat prosesi adat masih berlangsung.
“Negara hadir bukan sebagai pelindung, melainkan perampas. Pendakian terus dibuka meski gunung sedang disasi. Ini penghinaan terhadap nilai adat,” kata Rifal.
Raja Piliana Angkat Suara: “Binaiya Ditutup Selamanya”
Agustinus Ilelapotoa, Raja Negeri Piliana, akhirnya angkat suara. Ia menegaskan akan melakukan ritual adat penutupan jalur pendakian Gunung Binaiya secara permanen.
“Kami sudah capek dengan sikap BTN Manusela yang semena-mena. Jalur Piliana tidak lagi efektif. Tutup saja,” ujarnya tegas.

Menurut Ilelapotoa, sejak kawasan hutan adat mereka dimasukkan dalam peta Taman Nasional, masyarakat adat hanya jadi penonton di tanah sendiri. Kini, perluasan kawasan dengan status Hutan Produksi Konversi (HPK) menjadi dalih baru pembatasan.
“Dulu katanya kawasan ini mau dijaga negara. Sekarang malah dibatasi, dipatok-patok, dan warga tak boleh beraktivitas. Ada apa ini?” tanya Ilelapotoa sambil menyeringai getir.

Menolak HPK: Sasi dan Deklarasi Penolakan
Pada Februari lalu, masyarakat Piliana bersama sembilan negeri lain di Kecamatan Tehoru telah menggelar sasi adat dan deklarasi penolakan terhadap pemasangan pal batas HPK di atas hutan adat mereka.
“Patok-patok itu dipasang tanpa bicara. Itu alasan besar kenapa kami kecewa. Kami bukan musuh negara, tapi jangan injak harga diri kami sebagai masyarakat adat,” ucap Ilelapotoa.
Kini, kematian Firdaus tak hanya menjadi catatan duka, tapi juga simbol kemarahan dan retaknya kepercayaan masyarakat adat terhadap negara. Jalur menuju puncak Gunung Binaiya, gunung tertinggi di Maluku, mungkin akan tetap terbuka bagi pendaki. Tapi di mata masyarakat adat Piliana, jalan menuju keadilan justru makin tertutup.
Reporter: Sofyan Hattapayo Editor: Christ Belseran