Ambon, — Proses eksekusi lahan di kawasan kebun cengkih Amahusu, Kota Ambon, kembali menuai polemik setelah mengalami penundaan hingga tiga kali berturut-turut. Eksekusi yang melibatkan 12 unit rumah ini dilaporkan tertunda tanpa alasan yang dinilai jelas dan logis, sehingga memicu dugaan intervensi serta konflik kepentingan di tubuh Polresta Ambon.
Pihak ahli waris pemilik lahan, keluarga Lambert Waas, menilai penundaan berk repeated itu telah merugikan mereka secara materiil maupun dari sisi kepastian hukum.
“Kami dirugikan. Ini menyangkut kepastian hukum,” kata salah satu ahli waris Lambert Waas kepada wartawan.
Dugaan paling serius diarahkan kepada Kabag OPS Polresta Ambon, Titus, yang disebut-sebut memiliki hubungan keluarga dengan pihak termohon eksekusi. Ahli waris menuding penundaan pengamanan eksekusi dilakukan untuk melindungi kepentingan pribadi.
“Diduga karena memiliki hubungan keluarga dengan pihak termohon. Ia menunda pengamanan eksekusi dan itu sangat merugikan kami,” ujar ahli waris.

Mereka menilai tindakan tersebut berpotensi mengorbankan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah inkracht(berkekuatan hukum tetap). Eksekusi sebagai perintah negara seharusnya berjalan tanpa intervensi siapa pun.
Akibat dugaan rekayasa penundaan ini, pihak ahli waris meminta tiga pejabat Polresta Ambon dievaluasi, bahkan dimutasi Kapolres Ambon, Wakapolres Ambon dan Kabag OPS (Titus). Mereka mendesak agar Propam Polri mengusut tuntas dugaan penyalahgunaan kewenangan tersebut.
Eksekusi Ditunda 3 Kali: November, 8, dan 9 Desember
Eksekusi lahan Amahusu yang seharusnya berlangsung pada Bula November 2025 (ditunda), kemudian dijadwalkan ulang pada 8 Desember, dan 9 Desember 2025, namun kembali urung dilaksanakan.
Pihak ahli waris mempertanyakan alasan penundaan berulang ini, mengingat putusan pengadilan telah bersifat final dan seharusnya tidak dapat diganggu gugat.
Untuk menghindari dugaan intervensi lanjutan, ahli waris meminta agar pengamanan eksekusi diserahkan secara penuh kepada Polda Maluku atau TNI, bukan Polresta Ambon.
“Setiap orang yang menghalangi eksekusi harus ditindak tegas. Putusan inkracht wajib dijalankan,” tegas ahli waris.
Mereka juga berharap Propam Polri turun langsung memastikan netralitas dan profesionalisme aparat dalam menangani kasus ini.
Keluarga ahli waris menegaskan bahwa eksekusi lahan ini merupakan bagian dari hak mereka yang diakui oleh putusan pengadilan dan tidak boleh dihambat oleh konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang.
Kasus ini kini dinantikan perkembangannya, terutama setelah permintaan agar Polri melalui Propam menindaklanjuti dugaan intervensi dalam proses eksekusi tersebut.
Pihaknya juga menerangkan, penundaan eksekusi di Amahussu sejak bulan November lalu ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai konsistensi aparat penegak hukum di Ambon. Penundaan eksekusi yang seharusnya dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 2025, setelah adanya surat resmi yang dimasukkan ke Pengadilan oleh pihak Polres.
Alasan utama yang dikemukakan dalam surat tersebut adalah terkait adanya persiapan dan pelaksanaan Operasi Lilinoperasi pengamanan menjelang Natal dan Tahun Baru yang membuat pengerahan personel keamanan untuk eksekusi tidak memungkinkan.
Namun, kejanggalan muncul tak lama setelah penundaan di Amahussu. Laporan yang diterima bahwa eksekusi atas putusan pengadilan lainnya justru dapat berjalan dengan lancar pada tanggal 8 dan 9 Desember 2025 di Desa Wayame, Kecamatan Teluk Ambon, Kota Ambon yang notabene masih berada dalam yurisdiksi keamanan yang sama.
“Yang menjadi pertanyaan besar bagi kami adalah, mengapa eksekusi bisa berjalan di Desa Wayame pada tanggal 8 dan 9? Jika Operasi Lilin menjadi alasan penundaan kami di tanggal 4, seharusnya eksekusi di tempat lain pun tidak bisa dilaksanakan,” terang ahli waris Waas
