Dua Warga Belanda Keturunan Maluku Taklukan Puncak Binaiya

by
01/01/2020
Willem Pentury dan Bea Saija, dua Warga Belanda Keturunan Maluku Taklukan Puncak Binaiya. Foto : Bea Saija

TitaStory, Nusa Ina– Pesawat Maskapai  Penerbangan Garuda Boeing 737-800   rute Jakarta-Ambon landing dengan mulus di Bandara Internasional Pattimura Ambon,  pukul 07.00 Wit,  19 Oktober 2019 . Diantara puluhan penumpang yang bergegas turun, terlihat pasangan suami isteri warga negara Belanda keturunan Maluku, Willem Pentury dan Bea Saija.  Meskipun mengalami kelelahan karena menempuh perjalanan panjang dari negaranya, wajah keduanya  menyiratkan senyum bahagia,  karena  telah  kembali menginjakkan kaki ditanah leluhur.

Lahir dan hidup berkecukupan di Belanda,   tidak membuat keduanya melupakan sanak saudaranya di Maluku. Mereka merupakan generasi kedua dari sekian ribu  warga keturunan Maluku  yang masih tetap setia mengunjungi  tempat asal leluhurnya.

Agenda kunjungan  kali ini  selain melepas kangen dengan keluarga, keduanya  juga sudah menjadwalkan sejak tahun 2018 lalu,  ingin menaklukan gunung Binaiya yang merupakan gunung  tertinggi di Maluku. Bukan sekedar menjajaki tingginya Binaiya, aksi ini dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap deforestasi  sejumlah hutan di Maluku, illegal fishing dan dukungan terhadap pengungsi gempa di Maluku.

Mendengar Maluku masih dilanda gempa susulan pasca gempa berkekuatan 6,5 SR yang mengguncang  Ambon, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB)  dan Kabupaten Maluku Tengah (Malteng),  tidak menyurutkan niat keduanya.

Agenda  awal  untuk mendaki Gunung Binaiya sebagai bentuk minta perhatian dari pemerintah atas praktek penebangan hutan dan pencurian ikan di Laut Maluku,   kini ditambahkan dengan  agenda menyalurkan bantuan kepada korban pengungsi di Maluku.

“Saya Senang, sudah tiba dengan selamat di Ambon. Banyak yang bilang kalau masih gempa, tapi kami tetap mau datang untuk melihat basudarakami, sekaligus ada bantuan yang diserahkan yang berasal  dari warga keturunan Maluku kepedulian basudara di Belanda,”ungkap bung Willem saat bincang-bincang santai di restoran Baguala Resor, tempat mereka menginap, Selasa (12/11/2019).

Ditemani sang isteri, pria berusia 53 tahun  yang  saat ditemui megenakan kaos hitam, berikat kepala  ini antusias saat mengisahkan berbagai agenda perjalanannya selama di Maluku.

Segelas minuman dingin lemon tea untuk mengobati haus, Wilem menuturkan,   sejak  tahun 2018  telah merencanakan pendakian  gunung Binaiya  yang memiliki ketinggian 3027 mlp .

Pendakian yang dilakukan bersama sang isteri  bertujuan untuk meminta perhatian pemerintah terhadap praktek deforestasi besar-besaran di Pulau Seram, dan illegal fishing di laut Maluku, serta penanganan terhadap pengungsi gempa di Maluku.

“Beta hanya minta agar hutan dijaga untuk anak cucu, jangan terus dirusak, karena bencana alam yang akan mengancam kehidupan kedepan,”ucapnya.

Penebangan hutan ini  kata dia memicu terjadinya kerusakan lingkungan, yang mengancam keberadaan masyarakat adat.  Meskipun sudah ada aksi demo, dan upaya pemerintah daerah untuk melakukan moratorium terhadap sejumlah perusahaan, namun hal tersebut menurut Willem tidak berhasil.

Pemda melalui Gubernur telah kembali memberikan ijin dan membiarkan perusahaan melanjutkan penebangan hutan. Demikian juga dengan praktek pencurian ikan . Sumber daya alam yang melimpah ini  belum dikelola secara baik untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat Maluku, karena masih sering dicuri. Ada harapan yang disampaikan Willem, yang menginginkan suatu saat, masyarakat Maluku bisa sejahtera, dan sebaliknya mengunjungi saudara-saudaranya yang berada di Belanda dan Eropa.

“Beta  berharap, suatu saat basudara di Maluku sejahtera, dan dapat mengunjungi katorang (Kami) di Belanda atau Eropa,”ungkapnya  sambil matanya menerawang jauh.

Untuk  mendorong kepentingan pendakian Gunung Binaiya, Willem mengaku jauh-jauh hari telah mengurus sejumlah surat ijin melalui saudaranya. Diantaranya surat ijin dari Balai Taman Nasional Manusela, ijin dari Polda Maluku dan BIN, termasuk pemeriksaan  kesehatan.  Untuk bisa mendaki, mereka harus membayar 150 ribu per orang   setiap hari. Pasangan suami isteri ini harus merogoh kocek cukup dalam hingga  Rp 1,2 juta, karena melakukan pendakian selama empat hari.

“Kalau untuk orang lokal yang mau mendaki, hanya membayar Rp. 10 ribu, tapi kalau WNA, kita harus bayar lebih mahal yaitu 150 ribu tiap hari per orang,”ungkapnya.

Pendakian ini kata dia mengusung dua tema, yaitu minta  perhatian terhadap pembangunan sosial society  sipil di Maluku dan menunjukan solidaritas, serta menyalurkan bantuan kepada korban gempa, melalui dua organisasi setempat.

Meskipun baru pertama kali  melakukan pendakian, Willem bersama Bea mengaku bisa mencapai puncak.  Mereka menggunakan tiga porter untuk mengangkut barang.  Sebelum melakukan pendakian, keduanya menjalani prosesi adat oleh raja negeri Piliana, dan didoakan oleh Pendeta Titahena, agar perjalanan berjalan lancar.

Saat pendakian, mereka harus melewati empat posko, dan bermalam di kamp.  Bahkan perjalanan dilakukan dalam kegelapan malam. Dalam kondisi lelah, ada kepuasan tersendiri saat mencapai puncak, dan sempat melihat gunung Murkele yang menjadi legenda di Pulau Seram.   Sangat jarang pendaki maupun masyarakat setempat bisa melihat  gunung tersebut, karena selalu ditutupi awan. Keberuntungan berpihak,  gunung Murkele terpampang jelas dan berhasil diabadikan.

“Kata bapa raja, tidak sembarang orang bisa liat puncak gunung Murkele, tapi katong bisa liat, dan sangat luar biasa,”ucapnya antusias.

Mengaku sempat mengalami kekurangan stok air minum,  Willem berkisah  mendapat bantuan pasokan air minum dari pendaki lainnya.

“Akhirnya di puncak gunung Binaiya pada hari keempat. Bersama Mateos, Jeffrey dan Gatot. Mulai pukul 05.00 dari shelter 4.  Tiba di atas pukul 15.00 Wit. Kemudian kembali ke shelter 4 tempat kami tiba pukul 23.00. Berjalan 4 jam dalam gelap. Cukup panas, cukup minum. Terima kasih atas dukungan kalian,”cetusnya puas.

Pengalaman lainnya yang diakuinya menarik adalah saat bermalam di Pastori Desa Piliana.  Willem mengaku menikmati malam tanpa penerangan. Warga setempat mengatakan, sering terjadi pemadaman listrik di malam hari, dan siang hari hanya beberapa jam listrik  dinyalakan.

“Kalau malam itu, di pastori dorang pake genset. Jadi katong bisa charger HP,”jelasnya.

Usai menjalankan misinya mendaki gubung Binaiya, Willem juga menyempatkan diri mengujungi keluarganya di Negeri Sariawan, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), dan Aboru, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah (Malteng). Dia melihat warga masih mengungsi di dataran tinggi untuk menghindari gempa dan tsunami.

“Kondisi ini memang sangat memprihatinkan, dan kami ikut merasakan apa yang dialami oleh basudara samua di Maluku. Beberapa kali gempa juga kami rasakan, jadi sangat wajar kalau masyarakat Maluku masih takut karena trauma,”ucapnya.

Menyikapi kondisi itu, Willem telah menyerahkan bantuan berupa uang, yang merupakan hasil sumbangan dari sejumlah warga Belanda Keturunan Maluku, yang peduli atas bencana yang terjadi.

“Kami sudah salurkan bantuan dalam bentuk uang, untuk dua organisasi yang kami kenal, yaitu organisasi Gandong, dan Komunitas Kalesang Maluku. Mereka yang punya kegiatan untuk pengungsi,”jelasnya.

Bantuan itu diserahkan,  Selasa (12/11/2019)  langsung kepada ketua Komunitas Kalesang Maluku, Vigel Fakaubun dan ketua organisasi Gandong, atas nama Atta.

Willem mengucapkan terima kasih  kepada sejumlah pihak yang ikut membantu aksi keduanya, lewat donasi bantuan yang telah dikumpulkan, dan  telah diteruskannya kepada dua organisasi sosial di Maluku, untuk kepentingan pengungsi korban gempa.

Dia juga mengajak warga keturunan Maluku lainnya untuk ikut peduli dengan kondisi yang terjadi, dengan  menyumbangkan bantuan dan bergabung lewat aksi yang dilakukan.

Donasi bantuan dari warga keturunan Maluku lainnya masih sangat dibutuhkan,  mengingat masih dibutuhkan dana untuk  kebutuhan lainnya.

“Katong berharap bahwa bapa, ibu, basudara lain akan mendukung aksi katong, karena masih ada bidang-bidang lain yang harus diperhatikan. Saya melihat banyak bantuan yang juga sudah disalurkan oleh banyak pihak, tapi ada banyak kebutuhan dibidang lain yang dibutuhkan korban gempa di Maluku. Mari katong bergabung untuk bantu pengungsi di Maluku,”ajaknya.

Willem dan Bea Kamis, 14 November telah kembali ke Belanda, Kenangan indah yang selalu akan terekam manis di memori keduanya. Solidaritas telah  ditunjukkan oleh sesama warga keturunan Maluku di Belanda terhadap korban pengungsi.

“Katong akan selalu ada bersama-sama basudara samua. Ale rasa beta juga rasa, katong samua adalah satu,  Save Maluku”. (TS-01)

 

 

 

 

 

 

error: Content is protected !!