Dua Pejuang Lingkungan Haya Divonis Berat, Massa Geruduk Pengadilan Negeri Ambon

15/10/2025
Keterangan gambar: Sidang pembacaan putusan di PN Ambon dengan terdakwa Husain, Foto: titastory.id

Ambon, — Suasana di depan Pengadilan Negeri Ambon, Selasa, 14 Oktober 2025, berubah tegang dan penuh emosi. Puluhan mahasiswa dan warga Negeri Haya memadati halaman gedung peradilan sambil membentangkan spanduk bertuliskan “Bebaskan Pejuang Lingkungan”. Mereka tergabung dalam Aliansi Baku Jaga Tanah, datang untuk menuntut keadilan bagi dua pemuda Haya, Ardi Tuahaan dan Husain Mahulauw, yang mereka sebut sebagai korban kriminalisasi oleh perusahaan tambang PT Waragonda Minerals Pratama.

Aksi yang semula berjalan tertib berubah panas ketika massa mendengar kabar bahwa sidang pembacaan putusan akan segera dimulai. Mereka menuntut majelis hakim membebaskan kedua terdakwa yang dituduh melakukan pengrusakan, pembakaran, dan penghasutan terkait penolakan tambang di wilayah adat mereka di Kecamatan Tehoru, Maluku Tengah.

Keterangan: Puluhan mahasiswa dan warga Negeri Haya memadati halaman gedung peradilan sambil membentangkan spanduk bertuliskan “Bebaskan Pejuang Lingkungan,Foto:Chr/titastory.id

Vonis Berat Picu Ledakan Amarah

Namun harapan akan keadilan runtuh seketika saat majelis hakim membacakan putusan. Husain Mahulauw divonis delapan tahun penjara karena dinilai terbukti melakukan pengrusakan dan pembakaran, sedangkan Ardi Tuahaan dijatuhi hukuman tiga tahun enam bulan atas dakwaan penghasutan.

Sekejap, suasana di depan pengadilan berubah menjadi ledakan amarah. Teriakan “Hukum tajam ke rakyat, tumpul ke korporasi!” menggema dari pengeras suara. Beberapa massa histeris menangis, sementara yang lain mencoba menerobos barikade aparat.

“Keadilan macam apa ini? Bukti lemah, tapi dua anak muda ini dijebloskan ke penjara hanya karena melawan tambang!” teriak salah satu orator.

Massa menilai putusan hakim tidak berdasar dan sarat keberpihakan. Mereka menyoroti lemahnya pembuktian dari jaksa, termasuk penggunaan saksi dari pihak perusahaan sebagai dasar vonis. “Setidaknya harus ada dua alat bukti yang sah, bukan hanya keterangan dari orang perusahaan,” lanjut seorang mahasiswa yang ikut berorasi.

Kritik juga mengarah pada proses persidangan yang dinilai janggal. Saksi kunci yang mestinya dihadirkan justru hanya dibacakan lewat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). “Ini bukti bahwa negara berpihak pada korporasi, sementara anak adat dikriminalisasi,” seru massa dengan nada geram.

Keterangan: Mahasiswa dan masyarakat Haya menggelar unjuk rasa di Kantor PN Ambon, Foto: Chr/titastory.id

Kuasa Hukum Ajukan Banding

Menanggapi putusan itu, Dendi Yulianto, kuasa hukum kedua terdakwa, menyatakan kekecewaannya. Ia menilai hakim mengabaikan banyak fakta persidangan yang menunjukkan lemahnya dakwaan jaksa. “Pertimbangan hukum dalam putusan ini sangat merugikan klien kami. Kami akan mengajukan banding,” tegas Dendy di depan wartawan usai sidang.

Menurutnya, vonis ini memperlihatkan pola kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan masyarakat adat yang menolak tambang. “Ardi dan Husain bukan pelaku kriminal, mereka adalah anak negeri yang memperjuangkan tanahnya dari perampasan,” ujarnya.

Keterangan: Aksi solidaritas PN Ambon, menuntut pembebasan dua pemuda Negeri Haya yang dihukum karena membela ruang hidup di Negeri Haya,Foto: Chr/titastory.id

Aksi solidaritas di depan Pengadilan Negeri Ambon hari itu menjadi saksi nyata perlawanan masyarakat Haya terhadap kekuasaan modal. Meski dua pejuang lingkungan mereka telah divonis, semangat perlawanan tak padam.

Aliansi Baku Jaga Tanah menegaskan akan terus mengawal proses hukum dan memperluas dukungan publik. “Kami tidak akan diam. Ini bukan sekadar perjuangan Ardi dan Husain, ini perjuangan seluruh rakyat yang tanahnya dirampas atas nama investasi,” ujar salah satu koordinator aksi.

Sidang di Ambon itu menandai babak baru dalam perjuangan panjang warga Haya antara harapan atas keadilan dan kenyataan pahit tentang hukum yang kerap berpihak pada pemodal.

error: Content is protected !!