titastory, Seram Selatan – Di Negeri Yaputih, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, bentang alam yang tenang tak lagi sejalan dengan kondisi sosial warganya. Sejak 2021, negeri adat ini terbelah ke dalam dua kutub yang tak kunjung berdamai: faksi pro-pemerintah dan faksi adat. Konflik yang bermula dari persoalan keabsahan kepala pemerintahan negeri, telah berubah menjadi segregasi sosial yang merobek-robek tenun kebersamaan warga.
Tradisi gotong royong, hajatan, bahkan takziyah yang dulunya menjadi sarana silaturahmi, kini dijalani dalam lingkaran sempit masing-masing faksi. Hari Raya Idul Adha yang biasanya menjadi ruang rekonsiliasi dan syukur bersama, sejak 2022 justru dirayakan secara terpisah. Faksi pemerintah menggelar hadrat dan kurban di hari pertama, sementara faksi adat melakukannya di hari kedua. Daging kurban dibagi tertutup, hanya untuk kelompok masing-masing.

Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarkan perbedaan bukan sebagai kekayaan, melainkan batas. “Kita” dan “mereka” menjadi narasi sehari-hari. Sebuah luka sosial yang diam-diam diwariskan.
Akar Konflik: Peraturan yang Cacat, Legitimasi yang Timpang
Konflik bermula dari terbitnya Peraturan Negeri Yaputih Nomor 02 Tahun 2008 yang menjadi dasar pengangkatan Yurisman Tehuayo sebagai kepala pemerintahan pada Februari 2022. Namun, peraturan ini dituding cacat karena tidak melibatkan Lembaga Saniri Negeri periode 2007–2013.
Delapan marga adat—Tehuayo Putih, Walalayo, Hatapayo, Hayoto, Selumena, Lilihata, Silawane, dan Lesnussa—bersama tokoh agama dan lembaga adat menolak pengangkatan itu. Mereka membentuk faksi adat, menolak mengukuhkan Yurisman secara adat dan melarangnya menggunakan Masjid Nurul Yaqin, simbol spiritual dan legitimasi keagamaan Yaputih.
Negeri Terpecah, Pemerintah Daerah Diam
Sujud Walalayo, Kepala Adat Negeri Yaputih, mengatakan bahwa sejak 2021 mereka telah berkali-kali menyurati Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah untuk menyampaikan keberatan. Namun, di bawah kepemimpinan Bupati Abua Tuasikal, semua surat itu tak pernah dijawab.
“Kami sudah sampaikan secara resmi, tidak pernah dibalas. Ini menyakitkan bagi masyarakat adat yang hanya ingin menjaga negeri ini tetap utuh,” kata Sujud.
Kini, harapan tertuju kepada Bupati Zulkarnain Awath Amir dan Wakil Bupati Mario Lawalata. Menurut Sujud, kepemimpinan baru harus menjadi jembatan rekonsiliasi, bukan hanya penengah administratif. “Konflik ini tak bisa selesai hanya dengan surat keputusan. Dibutuhkan kehadiran budaya, agama, dan pemerintah sebagai satu kesatuan.”
Menghindari Runtuhnya Tatanan Sosial
Sujud memperingatkan bahwa jika konflik ini terus dibiarkan, yang runtuh bukan hanya struktur pemerintahan, tetapi juga otoritas adat dan nilai-nilai keagamaan yang menjadi fondasi negeri Yaputih.
“Ini bukan sekadar soal siapa yang jadi kepala negeri. Ini tentang hancurnya tatanan sosial, dan masa depan generasi muda kami,” tutupnya.
Di Yaputih, negeri yang dulu dikenal dengan solidaritasnya, kini tradisi dan keyakinan hidup dalam sekat-sekat. Negeri yang dulu satu, kini terbelah. Dan pertanyaan terbesar yang menggantung adalah: siapa yang akan menjahit kembali robekan ini?
Penulis: Sofyan Hattapayo