titastory, Jakarta – Usulan perubahan menyeluruh terhadap Undang-Undang (UU) Kehutanan ditolak oleh DPR RI dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama koalisi masyarakat sipil di Jakarta, Selasa (15/7/2025). Koalisi menilai respons anggota dewan minim dan tidak menyentuh persoalan mendasar kehutanan yang selama ini terjadi di lapangan.
Dalam siaran pers resmi yang diterima pada Rabu (16/7/2025), Juru Bicara Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga mengatakan, waktu diskusi yang hanya tujuh menit per organisasi tidak cukup untuk membahas kompleksitas isu kehutanan di Indonesia.
“Kami di kejar waktu. Respon DPR juga tidak mendalam. Mereka tidak memahami mengapa masyarakat sipil menuntut perubahan total,” kata Anggi.

Koalisi menekankan bahwa UU Kehutanan yang berlaku saat ini sudah mengalami banyak perubahan melalui Perpu, putusan Mahkamah Konstitusi, dan revisi parsial, namun belum menyelesaikan persoalan mendasar seperti konflik tenurial, eksploitasi hutan, dan pengabaian hak masyarakat adat.
Koalisi terdiri dari perwakilan Walhi, AMAN, Auriga, Greenpeace Indonesia, WWF, HuMa, Working Group ICCAs Indonesia, dan Forum Dialog Konservasi Indonesia. Mereka menuntut UU Kehutanan baru yang inklusif, adil, dan mengakui hak masyarakat adat serta komunitas lokal.
Politisi PAN Ahmad Yohan yang membuka RDPU mengakui perlunya revisi UU Kehutanan karena meningkatnya angka deforestasi dan kemunduran tata kelola hutan. Namun, usulan pembahasan menyeluruh dari masyarakat sipil tidak diakomodasi.
Juru bicara WALHI menyebutkan bahwa cara negara mengelola hutan selama ini hanya berpijak pada logika ekonomi dan eksploitasi, bukan perlindungan atau akses kelola masyarakat.
Refki Saputra dari Greenpeace menambahkan, terdapat lebih dari 42 juta hektare hutan alam yang terancam akibat pembiaran izin eksploitasi di berbagai kawasan hutan produksi. Ia mendesak agar UU baru memihak pada perlindungan iklim, biodiversitas, dan hak masyarakat adat.
“Sudah saatnya menghentikan monetisasi hutan. UU baru harus memihak pada masyarakat, bukan industri semata,” kata Refki.
Muhamad Arman dari AMAN menekankan pentingnya memasukkan pengetahuan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam kerangka pengelolaan sumber daya alam. Hal senada disampaikan Muhamad Ihsan Maulana dari Working Group ICCAs Indonesia, yang menyoroti peran masyarakat dalam menjaga kawasan konservasi secara turun-temurun.
Koalisi masyarakat sipil secara tegas menyerukan perombakan total terhadap UU Kehutanan sebagai solusi menyeluruh untuk menghentikan kerusakan hutan yang kian meluas.
“Kalau DPR bilang membuat UU baru itu sulit, lebih sulit lagi kalau kita terus gagal membuat regulasi yang benar,” kata Mohamad Burhanudin dari FDKI.
Penulis : Johan Djamanmona Editor : Christ Belseran