DPR dan Janji Palsu di Atas Kuburan Basah Sumatera

13/12/2025
Keterangan gambar: Bencana tanah logsor di Kabupaten Sumatera Utara, Foto: BMKG

Jakarta, — Ketika lumpur masih menutup rumah-rumah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat; ketika keluarga masih mencari kerabat yang hilang; dan ketika angka kematian sudah melewati ratusan jiwa, Komisi IV DPR tiba-tiba muncul membawa bendera penyelamat. Ketua Komisi IV, Siti Hediati Soeharto, mengumumkan pembentukan Panja Alih Fungsi Lahan sebuah reaksi tergesa yang seolah hendak mengatakan bahwa mereka hadir untuk membenahi kekacauan ekologis yang melanda Sumatera.

Namun di lapangan, ratusan ribu hektare hutan telah hilang sebelum banjir besar menghantam. Hilangnya bukan akibat badai, bukan pula karena ketidaktahuan masyarakat, melainkan karena kebijakan negara yang selama bertahun-tahun menempatkan hutan sebagai komoditas pertama yang harus dikorbankan demi investasi. Karena itu, pembentukan Panja ini bukan diterima sebagai upaya penyelamatan, melainkan sebagai ironi politik. “DPR tidak mungkin datang sebagai penyelamat ketika mereka adalah bagian dari persoalan,” kata Melky Nahar, Koordinator JATAM Nasional. “Panja ini lebih mirip kosmetika daripada solusi.”

Keterangan gambar: Ilustrasi Panjah Alih, Foto: AI

Dari Aceh hingga Sumatera Barat, pola kerusakan terlihat serupa: industri sawit menggurita, jalan tambang membelah bukit, izin HTI menyelimuti hutan primer, dan tambang emas atau batu bara menggali tanah yang semestinya menjadi benteng alam. Deforestasi menjadi ritme tetap yang tak pernah dipertanyakan serius. Banyak dari izin tersebut tidak berdiri sendiri; mereka lahir dari perangkat hukum yang dirancang pemerintah bersama DPR melalui UU Minerba, UU Kehutanan, UU Cipta Kerja hingga skema Hak Guna Usaha atau pinjam-pakai kawasan hutan untuk industri.

Di Aceh, deforestasi mencapai 177 ribu hektare dalam tujuh tahun. Sumatera Utara kehilangan 1,6 juta hektare hutan dalam dua dekade terakhir. Sumatera Barat dikepung lebih dari 200 izin tambang dan hampir setengah juta hektare kebun sawit. Angka-angka ini bukan hitungan dingin belaka; mereka adalah rekam jejak penurunan daya dukung ekologis yang kini terlihat dalam bentuk banjir bandang, longsor, dan hilangnya ribuan rumah dalam semalam.

Yang membuat publik semakin ragu adalah fakta bahwa banyak izin konsesi bersinggungan langsung dengan kepentingan elite politik. Ada perusahaan yang izinnya tetap utuh ketika perusahaan lain dicabut. Ada raksasa industri yang terus memperluas konsesi meski melanggar prinsip kehati-hatian. Ada perusahaan tambang yang laporannya menimbulkan tanda tanya, tetapi tetap mendapat perlindungan regulasi. “Apa yang disebut alih fungsi lahan itu sendiri terjadi melalui jalur resmi dan legal,” ujar Alfarhat Kasman dari JATAM. “Negara bukan hanya membiarkan, tetapi menyediakan perangkat hukumnya.”

Dalam situasi seperti ini, pembentukan Panja lebih terasa sebagai upaya menyelamatkan reputasi politik daripada menyelamatkan lingkungan. DPR, yang separuh anggotanya memiliki afiliasi dengan bisnis ekstraktif, kini ingin berdiri di garis depan sebagai pengawas alih fungsi lahan. Suatu peran yang mustahil dilakukan tanpa benturan kepentingan. Selama ini mereka ikut menetapkan anggaran, menetapkan regulasi, dan memberikan prioritas pada proyek-proyek yang memfasilitasi akses korporasi ke kawasan hutan, termasuk pembangunan jalan, dermaga, dan jaringan infrastruktur lain yang mempercepat aliran komoditas ekstraktif keluar dari pedalaman.

Di hadapan tragedi sebesar ini, apa yang dibutuhkan bukan Panja yang bergerak di atas kerangka hukum yang mereka buat sendiri, melainkan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin konsesi, audit terhadap pelanggaran, dan pencabutan izin perusahaan yang terbukti menyebabkan kerusakan ekologis. Negara tidak bisa terus menempatkan diri sebagai penengah ketika kenyataannya ia telah lama bekerja sama dengan korporasi dalam merancang skema perizinan yang meminggirkan hak-hak warga dan keberlanjutan lingkungan.

“Bencana ini adalah bukti bahwa alam telah kehilangan batas resiliensinya,” kata Melky Nahar. “Negara harus berhenti menjadi broker bagi industri ekstraktif sebelum lebih banyak warga yang menjadi korban.”

Tragedi Sumatera bukan kejadian tunggal, bukan pula sekadar bencana alam, tetapi rangkaian panjang dari keputusan politik yang berubah menjadi bencana kemanusiaan. Ratusan nyawa telah melayang, ribuan keluarga kehilangan rumah, dan jutaan orang kini hidup dalam ketidakpastian. Jika pemerintah dan DPR memilih kembali kepada rutinitas lama—mengobral izin, mengabaikan kajian lingkungan, memprioritaskan investasi di atas keselamatan—maka bencana berikutnya hanya soal waktu.

Dan ketika itu terjadi, rakyat sudah tahu siapa yang paling layak dimintai pertanggungjawaban.

error: Content is protected !!