Jakarta, — Ketika Sumatera masih diguncang duka ratusan jenazah belum seluruhnya ditemukan, keluarga menunggu di antara tumpukan puing rumah, dan tiga provinsi berjibaku dengan lumpur serta sungai yang berubah menjadi kuburan massal Komisi IV DPR RI tiba-tiba tampil dengan janji menemukan solusi. Ketua Komisi IV DPR, Siti Hediati Soeharto, mengumumkan pembentukan Panja Alih Fungsi Lahan sebagai upaya mengusut penyebab banjir dan longsor yang merenggut lebih dari 836 korban jiwa dan membuat 518 warga masih dinyatakan hilang per 5 Desember 2025. Namun langkah ini justru dianggap sebagai upaya “pahlawan kesiangan”, sebab akar bencana bukan pada sekadar alih fungsi lahan, tetapi pada kebijakan negara dan DPR sendiri yang selama bertahun-tahun membuka karpet merah bagi ekspansi industri ekstraktif.

Alih fungsi lahan justru terjadi paling masif melalui jalur resmi yang dilegalkan oleh negara. Undang-undang sektoral seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba, izin HGU, izin HTI, PBPH, izin pinjam-pakai kawasan hutan hingga perubahan status kawasan menjadi Area Penggunaan Lain (APL) hanyalah sebagian kecil instrumen legal yang memfasilitasi perampasan ruang hidup. Karena itu, menurut Koordinator JATAM Nasional, Melky Nahar, gagasan DPR membentuk Panja untuk mengusut alih fungsi lahan terdengar seperti ironi. “DPR tidak dapat memosisikan diri sebagai penyelamat ketika bencana yang terjadi hari ini lahir dari kebijakan yang mereka buat sendiri. Panja ini hanya kosmetika politik,” ujarnya. Ia menilai bahwa tragedi ekologis di Sumatera adalah bukti paling terang dari sistem perizinan yang dikendalikan oligarki, bukan semata kelalaian teknis.
Di Aceh, deforestasi selama tujuh tahun terakhir mencapai 177 ribu hektare, setara 2,5 kali luas Singapura. Provinsi ini dikepung empat industri ekstraktif sekaligus: sawit, tambang, HPH, dan HTI. Konsesi kehutanan yang masih berlaku mencapai lebih dari 207 ribu hektare, sementara pertambangan menguasai 156 ribu hektare lagi. Luas sawit mencapai lebih dari 512 ribu hektare. Belum termasuk pertambangan tanpa izin yang bekerja merusak kawasan esensial seperti Ekosistem Leuser. “Tidak ada yang bisa menyebut ini sekadar bencana alam. Ini tragedi struktural lahir dari politik perizinan,” kata Melky.
Kondisi Sumatera Utara tidak jauh berbeda. Provinsi ini menanggung 537 ribu hektare konsesi kehutanan, didominasi oleh PT Toba Pulp Lestari—perusahaan raksasa milik Sukanto Tanoto yang rekam jejaknya pernah disebut dalam skandal pajak dan Paradise Papers. Selain itu, ada 170 izin tambang aktif dengan total luas konsesi mencapai lebih dari 208 ribu hektare. Deforestasi sejak 2001 mencapai 1,6 juta hektare dengan emisi karbon raksasa yang kini membebani iklim global. Industri sawit menutup hampir 1,2 juta hektare, menciptakan pulau-pulau tekanan ekologis yang semakin mengerdilkan ruang hidup masyarakat adat. Menurut Divisi Kampanye JATAM, Alfarhat Kasman, situasi di Sumut menggambarkan bagaimana negara bekerja sama dengan korporasi besar untuk menempatkan hutan sebagai ladang eksploitasi, bukan ruang hidup rakyat.
Sumatera Barat pun tak lepas dari cengkeraman ekstraktif. Lebih dari 200 izin tambang tersebar di provinsi ini, termasuk tambang batu bara yang meninggalkan jejak kecelakaan dan pencemaran. Enam konsesi PBPH menguasai lebih dari 191 ribu hektare hutan, sementara industri sawit mengambil lebih dari 443 ribu hektare lahan. Setahun terakhir, banjir dan longsor menghancurkan puluhan nagari. Menurut BNPN, kerugian ekonomi mencapai Rp 2,07 triliun jumlah yang berkali lipat dari PNBP sektor kehutanan yang hanya ratusan juta rupiah per bulan. “Inilah bentuk investasi ekstraktif yang dijual negara. Rakyat membayar dengan nyawa, korporasi membayar dengan dividen,” ujar Melky.
Dalam lanskap seperti itu, pembentukan Panja DPR tampak sebagai upaya menutupi jejak. Alih-alih memperbaiki akar persoalan, Panja dikhawatirkan menjadi alat politisasi bencana. Apalagi hampir separuh anggota DPR memiliki afiliasi dengan perusahaan tambang, sawit, atau HTI. Konflik kepentingan bukan risiko, melainkan realitas. Selama bertahun-tahun, DPR meloloskan undang-undang yang memberi keleluasaan pada industri untuk membuka hutan, memperluas konsesi, mempermudah pinjam pakai kawasan hutan, hingga mendorong proyek strategis nasional yang menuntut pembukaan ruang skala besar. Dalam fungsi anggaran, DPR turut mempercepat proyek infrastruktur yang menjadi penopang logistik perusahaan ekstraktif, dari jalan hauling, jembatan, hingga dermaga khusus.
Dari sinilah kritik masyarakat sipil menguat: Panja hanyalah pertunjukan politik yang menyembunyikan jejak keterlibatan DPR dalam menciptakan bencana. Menurut JATAM, negara dan DPR harus dihentikan dari praktik memproduksi regulasi yang memfasilitasi eksploitasi tanpa batas. Audit menyeluruh terhadap seluruh izin konsesi di Sumatera harus dilakukan, moratorium permanen diberlakukan, dan izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan harus dicabut. “Bencana ini adalah peringatan keras bahwa alam telah kehabisan daya tahan. Negara harus berhenti menjadi broker bagi industri ekstraktif,” tutup Melky.
Jika negara tidak berubah, bencana serupa bukan hanya mungkin terulang—melainkan pasti. Karena yang sedang berlangsung di Sumatera bukan sekadar bencana hidrometeorologi, tetapi bencana politik yang lahir dari keputusan negara.
