Pelanggaran HAM, Militerisasi, dan Krisis Lingkungan di Papua, Aceh, dan Maluku Selatan
titastory, Indonesia – Hak menentukan nasib sendiri adalah hak fundamental setiap bangsa. Hak ini bukan hanya bagian dari prinsip hak asasi manusia, tetapi juga tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan hukum internasional. Dalam perspektif global, penegakan hak tersebut menjadi kunci mencegah ketidakstabilan, mengikis penolakan identitas, dan membuka jalan menuju perdamaian berkelanjutan.
Namun, laporan terbaru The UNPO Academy menyoroti paradoks mencolok yang diperlihatkan Indonesia. Di panggung internasional, Jakarta tampil sebagai negara demokrasi stabil, anggota G20, dan sejak Januari 2025 resmi bergabung dengan kelompok BRICS+. Tetapi di dalam negeri, suara-suara penentuan nasib sendiri di Papua Barat, Aceh, dan Maluku Selatan masih dibungkam dengan cara yang disebut UNPO sebagai “pendudukan senyap.”

Hak yang Tertunda, Luka yang Tak Kunjung Pulih
Menurut UNPO, masalah penentuan nasib sendiri di dunia pasca kolonial bukan hanya soal keadilan masa lalu. Perbatasan yang ditarik tanpa persetujuan rakyat, warisan kolonialisme, dan konflik yang tak pernah diselesaikan menjadi sumber kerentanan baru.
Negara-negara yang menutup ruang dialog justru menuai ketidakpercayaan, instabilitas, dan gelombang protes.
Indonesia masuk dalam kategori ini. Papua Barat, Aceh, dan Maluku Selatan disebut sebagai contoh wilayah yang mengalami marginalisasi sistematis. Dari pembatasan ruang politik, kehadiran militer yang masif, hingga perampasan ruang hidup akibat proyek ekstraktif – semua menjadi catatan serius dalam laporan UNPO.
Citra Global vs Realitas Lokal
Di mata dunia, Indonesia sedang membangun citra sebagai kekuatan ekonomi baru. Visi Indonesia Emas 2045 ditopang ambisi modernisasi industri, transformasi digital, dan eksploitasi sumber daya alam strategis seperti nikel serta mineral penting lainnya. Narasi besar ini memperlihatkan Indonesia sebagai pusat penting dalam ekonomi hijau dan digital global.
Tetapi, menurut UNPO, narasi tersebut kerap menutupi wajah lain Indonesia:
* Militerisasi di wilayah konflik yang mengubah sekolah dan gereja menjadi pos militer.
* Pelanggaran HAM berupa intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan bersenjata terhadap masyarakat lokal.
* Krisis lingkungan akibat tambang nikel, sawit, dan proyek infrastruktur yang merusak hutan, sungai, serta wilayah adat.
“Kontradiksi ini bukan sekadar retorika, tetapi berisiko mengganggu stabilitas Asia Tenggara, melemahkan perdagangan global, dan merusak kepercayaan internasional,” tulis laporan UNPO.
Stabilitas Global Dipertaruhkan
UNPO menegaskan, mengabaikan tuntutan penentuan nasib sendiri justru memperdalam ketidakstabilan. Hak ini, bila diakui melalui otonomi bermakna, pembagian kekuasaan, atau perlindungan budaya, dapat menjadi katalisator rekonsiliasi dan fondasi perdamaian.
Di sisi lain, menutup ruang demokrasi hanya menajamkan kontradiksi antara proyeksi internasional Indonesia dan kenyataan di dalam negeri. Situasi ini, kata UNPO, ibarat bara dalam sekam yang bisa mengganggu strategi besar Indonesia sebagai kekuatan regional dan global.
“Melindungi hak menentukan nasib sendiri bukan hanya kewajiban moral dan hukum, tetapi syarat mutlak membangun tatanan dunia yang stabil dan adil,” demikian bunyi laporan tersebut.