TITASTORY.ID, – Disinyalir sejumlah kuitansi bodong beredar di Pasar Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon. Kuitansi bodong ini diduga dijadikan sebagai bukti penagihan pembayaran sejumlah kios alias menjadi bukti transaksi antara pedagang dan oknum penagih.
Belum diketahui asal muasal dari kuitansi tersebut, namun dari fisik kuitansi diduga merupakan kuitansi bodong dan liar yang tidak mencantumkan lembaga atau instansi resmi yang memiliki legitimasi untuk melakukan penagihan dari pedagang kios yang berjualan di pasar Waiheru, bahkan tidak dibubuhi dengan stempel.
Dari sejumlah sumber yang berhasil dimintai keterangan beberapa waktu lalu, kuitansi ini diduga diberikan oleh oknum masyarakat inisial IM.
“Ketika kuitansi di sodorkan kami pun membayar, kami tidak mau ambil pusing agar kami bisa berdagang dengan aman tanpa gangguan,” terang salah satu pedagang inisial I.
Sementara sejumlah pedagang menerangkan, pembayaran sewa kios kami lakukan ke Pemerintah Desa Waiheru, karena lapak yang kami tempati dibangun oleh Pemerintah desa, dan pengelolaan diduga dilakukan oleh Bumdes Waiheru.
Dilain sisi, Kepala Desa Waiheru, Usman Elly saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu menerangkan, pemerintah desa tidak melakukan penagihan terhadap pedagang, karena lahan atau areal pasar merupakan aset milik Pemerintah Kota.
“ Pemerintah desa tidak pernah menagih, baik untuk lapak atau meja pedagang, karena areal tersebut adalah milik pemerintah kota, dan belum ada MoU dengan pemerintah kota untuk penagihan serta bagi hasil,” terang Usman Elly.
Sementara itu, Perkumpulan Pemantau Keuangan Negara (PKN) Maluku diduga sementara melakukan pengusutan atas adanya pungutan liar terhadap pedagang di Pasar Waiheru.
Informasi praktik ilegal ini juga diduga melibatkan salah satu petinggi di lingkup Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Ambon.
Sesuai rilis data milik Perkumpulan Pemantau Keuangan Negara yang berdiri atas SK Menhukam AHU 014646.AH.01.07 Th 2015 jalan Caman Raya No 7 Jatibeningbekasi.17412 mengungkapkan khusus untuk penagihan retribusi di pasar Waiheru sejak April 2019 sampai tahun 2021 dilakukan penagihan terhadap 210 penjual menggunakan meja (wadah untuk meletakan barang dagangan-red) dengan harga penagihan bervariasi yakni Rp4000 sampai Rp5000 yang di tahun 2021 menjadi Rp2000.
Penagihan sejenis juga dilakukan untuk 37 lapak yang diduga milik Bumdes Waiheru, dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Ambon, tiap lapak ditagih nilai nominal sebesar Rp174.000.
Ironisnya di antara 37 lapak, 10 di antaranya disinyalir milik Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kota Ambon, sedangkan 27 lapak lainnya adalah lapak milik Bumdes Waiheru.
Rinci terhadap 10 lapak yang diduga milik Disperindag Kota Ambon kurun waktu satu tahun pihak penagihan lapak yang diduga milik Disperindag menerima hasil pungutan sebesar Rp, 20.880.000 sementara waktu penagihan sudah memakan waktu 36 bulan yakni sejak tahun 2019 -2021 sehingga nilai nominal yang diterima pihak Disperindag Kota Ambon mencapai nilai Rp751.680.000.
Begitu juga penagihan oleh pihak Bumdes Waiheru untuk 27 lapak kurun waktu 1 tahun sebesar Rp56.367.000, sedangkan proses penagihan sudah sejak tahun 2019-2021 atau 36 bulan sehingga nominal penagihan mencapai Rp56.376.000.
Mengutip pemberitaan harian Siswalima, 15 Juli 2021 silam, penagihan retribusi ke PKL di Pasar Waiheru tidak dibarengi pemberian karcis, dan memberikan keresahan untuk masyarakat. Selain tidak menggunakan karcis dalam proses penagihan per hari, sementara untuk pembayaran pajak tiap bulan menggunakan kuitansi tanpa cap.
Nama IM pun muncul sebagai aktor dalam proses penagihan retribusi untuk ratusan PKL di pasar Waiheru.
Bergam informasi pun juga bermunculan, dan penarikan biaya sewa lapak sesuai ukuran, yakni untuk lapak berukuran 2,2.5 meter dibebankan pembayaran sebesar Rp155.000 dan ukuran 2×2 meter sebesar Rp102.000.
Bahkan, dimuat harian siwalima, Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima, Sutan Marsida pun juga angkat bicara yang menurutnya cikal bakal hadirnya pasar Waiheru karena untuk mengurangi kemacetan di pasar Cokro. Tetapi ketika digeser pada persoalan retribusi ending permasalahannya karena belum ada surat keputusan resmi terkait PKL untuk melakukan pembayaran retribusi namun ada oknum pemerintah yang bekerja sama dengan oknum tertentu untuk melakukan penagihan dari PKL.
“ Secara normatif belum diketahui pasar Waiheru ini pasar tipe berapa?, tipe satu, tipe dua atau tipa tiga, dan dari angka itu baru kita bisa tahu besar restribusi yang ditarik dari PKL” tanda Sutan yang dirilis siwalima yang dikutip media ini.
Sutan kepada siwalima kala itu juga menerangkan dalam praktik di lapangan dengan menggunakan identitas atas nama IM dan atas perintah Kepala UPTD Passo dan Halong, sementara IM bukan seorang ASN dan bukan rekanan Disperindag dalam melakukan penagihan, kalau pun ada di mana MoU sebagai bukti ikatan hukum, sehingga dia menegaskan ini adalah kejahatan yang terstruktur. (*TS 02)
Discussion about this post