-
Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia (MPKPI) Paman Nurlette, S.H., M.H mendesak Penjabat Bupati SBB, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin, untuk segara mengesahkan atau menetapkan Ranperda tersebut. Pasalnya Ranperda penetapan desa adat di kabupaten SBB , telah di garap selama bertahun-tahun. Namun fakta empiris membuktikan di lapangan, hingga sekarang masih terkatung-katung dan belum disahkan menjadi sebuah produk hukum Peraturan Daerah (Perda).
-
Ranperda penetapan desa Adat sangat urgensi dan penting, bagi kesatuan masyarakat hukum adat di kabupaten SBB. Oleh karena itu, penjabat Bupati SBB harus punya andil dan kontribusi nyata, mengesahkan Ranperda penetapan desa Adat menjadi Perda.
TITASTORY.ID, – Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) penetapan desa Adat di Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), sepertinya mengalami jalan buntu, pasalnya hingga kini para para pengambil keputusan di Kabupaten Seram Bagian Barat belum rela untuk mengesahkan rancangan ini produk hukum Peraturan Daerah.
Menanggapi persoalan tersebut, Direktur Eksekutif Masyarakat Pemantau Kebijakan Publik Indonesia (MPKPI) Paman Nurlette, S.H., M.H mendesak Penjabat Bupati SBB, Brigjen TNI Andi Chandra As’aduddin, untuk segara mengesahkan atau menetapkan Ranperda tersebut. Pasalnya Ranperda penetapan desa adat di kabupaten SBB , telah di garap selama bertahun-tahun. Namun fakta empiris membuktikan di lapangan, hingga sekarang masih terkatung-katung dan belum disahkan menjadi sebuah produk hukum Peraturan Daerah (Perda).
Masyarakat hukum adat, kata Nurlette, selama beberapa rezim pemerintahan mengharapkan Ranperda penetapan desa Adat segera disahkan atau ditetapkan yang akan menjadi payung hukum. Ini dilakukan agar menjadi aturan Desa adat dalam menjalankan urusan pemerintahan adat. Namun, hingga saat ini pemerintah daerah, belum serius untuk menjawab kebutuhan masyarakat terkait Ranperda tersebut.
Penjabat Kepala Daerah, menurutnya harus patuhi dan mentaati aturan hukum yang berlaku, untuk mengesahkan dan menetapkan Ranperda penetapan desa Adat menjadi Perda. Hal ini, berdasarkan wewenang yang di miliki oleh penjabat kepala daerah.
Dijelaskan, sebagaimana termaktub secara eksplisit, dalam rumusan norma Pasal 65 Ayat (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, meliputi, Mengajukan rancangan Perda, menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD, menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah, mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan atau masyarakat, melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Mengacu kepada wewenang yang di miliki oleh penjabat Bupati dalam Undang-undang. Maka, seyogianya Penjabat Bupati Seram bagian barat, mengajukan Ranperda penetapan desa Adat kepada DPRD. Agar di bahas bersama, apabila belum ada persetujuan bersama. Dan berikutnya, penjabat dapat menetapkan Ranperda tersebut menjadi sebuah Perda, jika telah mendapat persetujuan bersama DPRD.” terangnya.
Dikatakan, alasan normatif Ranperda penetapan desa Adat sangat penting menjadi Perda bagi kesatuan masyarakat hukum adat di kabupaten SBB karena sesuai perubahan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengakuan terhadap eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas sebagaimana termaktub secara eksplisit dalam rumusan norma Pasal 18B ayat 2 yang berbunyi, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
“Ketika Ranperda penetapan desa adat sudah di tetapkan menjadi Perda. Maka, otomatis ke depan pilkades serentak gelombang ketiga dapat dilaksanakan secara demokratis, hanya diikuti di desa dinas atau desa administratif. Sedangkan, bagi desa adat/Negeri dalam memilih kepala pemerintahannya, menggunakan mekanisme lokal sesuai eksistensi nilai-nilai tradisional, hak asal usul, budaya dan adat istiadat masyarakat setempat yang diatur dalam Perda nanti,” tegasnya Nurlete.
Dia menandaskan hal ini perlu untuk menghindari konflik sosial di masyarakat hukum adat, sebagaimana terjadi pada saat menjelang dan pasca pilkades serentak gelombang kedua.
“Terjadi berbagai konflik sosial di masyarakat. Disebabkan, karena masyarakat hukum adat di Kabupaten Seram Bagian Barat, dipaksakan mengikuti Pilkades serentak secara demokratis. Tetapi di sisi lain, Ranperda penetapan desa Adat belum di sahkan, sebagai legal matriks bagi masyarakat hukum adat dalam menggunakan mekanisme lokal,” jelasnya.
Untuk itu, dia meminta Penjabat Bupati SBB harus punya peran dan kiprah nyata, menjawab kebutuhan Pemerintahan masyarakat hukum adat, yang berkaitan dengan Ranperda penetapan desa Adat. Setidaknya, selama kepemimpinan dua tahun ke depan, Penjabat Bupati SBB harus punya prestasi dan kerja nyata, bukan hanya sekedar mengurus urusan pemerintahan secara umum.
Jika, tegasnya, Penjabat Bupati SBB selama kepemimpinan, juga tidak mampu mengesahkan Ranperda tersebut menjadi Perda. Maka, tentu sangat mengecewakan masyarakat hukum adat, atas ketidakpastian sikap pemerintah daerah selama ini. Sehingga, berimplikasi lahirnya mosi tidak percaya, terhadap dua organ di tubuh pemerintahan, yaitu pemerintah daerah dan DPRD.
“Sebab, mayoritas kesatuan masyarakat hukum adat di SBB, tidak ingin di bohongi terus-menerus dengan janji-janji manis politik, seperti para Bupati sebelumnya selama beberapa rezim pemerintahan di SBB,” ungkap Nurlete.
Diungkapkan, Bupati SBB Timotius Akerina, pernah berjanji menjelang pelaksanaan pilkades serentak kemarin bahwa, dia akan segera sahkan Ranperda tersebut, pasca perhelatan pilkades serentak. Tetapi faktanya, lagi-lagi janji tersebut hanya omong kosong. Bahkan disinyalir yang bersangkutan hanya manfaat kan pilkades serentak, sebagai investasi politik jangka panjang demi bursa pencalonan 2024 nanti.
Terangnya pula, terjadinya konflik sosial menjelang dan pasca pilkades serentak, tidak terlepas dari kelalaian Pemerintah daerah dan DPRD. Sebagaimana diketahui, mantan Bupati SBB Timotius Akerina yang saat itu, memiliki libido politik yang kuat. Sehingga, memaksakan kehendak masyarakat hukum adat, agar mengikuti pilkades serentak. Tetapi yang bersangkutan tidak mampu sahkan Ranperda penetapan desa adat, sebagai payung hukum bagi masyarakat hukum adat untuk menggunakan mekanisme lokal.
Alhasil dari pelacuran kebijakan yang di ambil oleh mantan bupati tersebut, dengan memaksa kehendak masyarakat hukum adat mengikuti Pilkades serentak. Muncul berbagai kegaduhan dan hambatan terkait urusan pemerintahan adat di masyarakat, terutama di masyarakat hukum adat. Sebagai contoh misalnya, di negeri Buano Utara, hingga saat ini berbagai agenda besar pelaksanaan pemerintahan adat masih tertunda.
Hal ini disebabkan, karena kebijakan mantan Bupati tersebut, tidak hanya merusak ekosistem hukum adat dan demokrasi di Buano Utara. Tetapi juga, terjadi dikotomi antara kesatuan masyarakat hukum adat. Sehingga berimplikasi pada tertundanya, pelaksanaan agenda-agenda besar adat yang bersifat sakral.
Ditegaskan, masyarakat hukum adat sejauh ini, belum dapat menikmati buah andil dan kontribusi nyata dari Pemda dan DPRD SBB, yang berkaitan dengan pengesahan Ranperda penetapan desa adat. Atas dasar itulah, penjabat Bupati SBB di desak menunjukkan prestasi dan karya nyata, guna percepat pengesahan Ranperda tersebut menjadi Perda.
Dengan pengesahan Ranperda penetapan desa Adat menjadi Perda. Merupakan bentuk manifestasi kepedulian dan pertanggungjawaban penjabat Bupati kabupaten SBB, terhadap kesatuan masyarakat hukum adat.
Implementasi dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut telah ada dan hidup di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti Negeri di Maluku, Gampong di Aceh, Hutanagori di Sumatera Utara, marga di Sumatera bagian selatan, nagari di Minangkabau, Tiuh atau pekon di Lampung, Desa Pakraman atau desa adat di Bali, Lembang di Toraja, dan Banua dan Wanua di Kalimantan.
Secara realisme historis, Desa-desa adat di atas, merupakan sebuah kesatuan masyarakat hukum adat, yang mempunyai batas wilayah, dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar teritorial. Selain itu, berwenang mengatur dan mengurus, kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.
Oleh karenanya, desa adat/Negeri di kabupaten SBB secara De Facto adalah desa adat dan eksistensi hukum adatnya telah ada sebelum Indonesia merdeka. Tetapi secara De jure dapat diakui, setelah Ranperda tersebut disahkan menjadi Perda.
Dengan demikian, sebagai solusi supaya Ranperda tersebut tidak bermasalah secara substantif dan prosedural-formal serta memahami kriterianya. Maka, setidaknya ada tiga langkah kongkrit, yang harus di tempuh oleh tim ahli terkait Ranperda penetapan desa adat di kabupaten SBB, yakni di antaranya adalah: Pertama, Pembentukan tim persiapan penetapan Negeri sebagai desa adat yaitu, dengan melakukan sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat hukum adat, membantu negeri mempersiapkan diri sebagai desa adat terutama inventarisasi hak asal usul dalam penyelenggaraan Negeri sebagai desa adat.
Selanjutnya, mendampingi Negeri dalam Musyawarah Negeri untuk mencapai kesepakatan Perubahan status Negeri sebagai Desa Adat, Mendampingi Bamus Negeri dalam penyelenggaraan Musyawarah Negeri, sehingga adanya kesepakatan masyarakat sebagai Desa Adat. Yang akan dituangkan dalam berita acara atau notulen musyawarah Negeri. Membantu negeri untuk dokumentasikan proses musyawarah Negeri menjadi Desa Adat, sebagai dasar penyusunan Perda.
Kedua, Penyelenggaraan musyawarah Negeri untuk adanya kesepakatan Musyawarah Negeri menjadi Desa Adat yang dituangkan dalam berita acara. Ketiga, Pembuatan Perda Kabupaten tentang penetapan negeri sebagai desa adat, sebelum Perda ditetapkan terlebih dahulu disampaikan ke Pemerintah Pusat, melalui Gubernur untuk menetapkan perubahan status Negeri menjadi Desa adat.
Dengan demikian, persyaratan desa adat/Negeri, yang digunakan oleh tim identifikasi harus sesuai dengan ketentuan Undang-undang desa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bukan sebaliknya, menggunakan kriteria lain selain itu.
Syarat pembentukan desa adat menurut rumusan norma Pasal 97 ayat 1 huruf a, b dan c di bab 13 terkait ketentuan khusus desa adat dalam Undang-undang Desa. Pertama, Kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, baik bersifat territorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional.
Kedua, kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat. dan ketiga kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jadi, saya sarankan kriteria yang di dapat gunakan dalam materi Ranperda penetapan desa adat nanti di SBB, harus sesuai dengan ciri – ciri desa adat yakni, mempunyai rumpun masyarakat adat dan wilayah yang dihuni, mempunyai hubungan genealogis, emiliki kesatuan teritorial dan atau kesatuan genealogis teritorial, sebagian atau seluruh masyarakat adat masih menggunakan bahasa local/bahasa ibu, masih berlaku adat istiadat dan hukum adat bagi masyarakat adat setempat. 6. Memiliki pola kepemimpinan tradisional yang masih hidup berdasarkan adat istiadat setempat. 7. Memiliki hak – hak Ulayat tradisional yang di wariskan secara turun temurun dan 8. Memiliki peradilan adat (TS-02)
Discussion about this post